Apakah Kita Memang Alergi terhadap Budaya Kritik?
Dalam submisi Open Column ini, Fitri Ika Pradyasti mengamati hampir nihilnya budaya kritik di Indonesia, menelaah akarnya, serta menengok bermacam petaka yang disebabkannya.
Words by Whiteboard Journal
Kritik adalah barang mahal di Indonesia. Mulai dari pejabat publik hingga rakyat jelata sepakat untuk tidak acuh, bahkan bahu-membahu mengabaikan keberadaannya. Lantas, budaya anti-kritik berkembang biak dengan subur dan jadi santapan wajar dalam keseharian penduduknya.
Pada level ekstrem, kebiasaan ini menjelma menjadi bibit-bibit fasisme. Hal ini dibuktikan dengan dilaporkannya sang kritikus oleh objek yang dikritik, seperti Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang dilaporkan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dengan tuduhan pencemaran nama baik atas video siniar yang membahas relasi ekonomi dalam operasi militer di Intan Jaya.
Di akar rumput, badai air mata melanda media sosial TikTok pasca Debat Calon Presiden (Capres) Kedua bertema pertahanan dan keamanan, di mana Capres 01, Anies Baswedan, di-demonisasi akibat dinilai terlalu ofensif kepada Capres 02 sekaligus petahana Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto (dalam forum debat resmi).
Saya jengkel sekali melihat ucapan John F. Kennedy yang berbunyi, “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu,” dikutip secara sembarangan dan digunakan untuk mendiskreditkan kritik masyarakat kepada negara atau pejabat publik.
Akibat doktrin semacam itu, kritis terhadap pemerintah berikut kebijakan-kebijakannya hampir selalu dituduh “ditunggangi” kepentingan politis alih-alih dimaknai sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat sipil. Salah satunya komentar Darwis Triadi yang menuduh Maria Sumarsih, ibunda korban Tragedi Semanggi I dan aktivis hak asasi manusia, diperintahkan pihak tertentu untuk terlibat dalam Aksi Kamisan ke-805.
Sekilas persoalan ini berakar pada sesuatu yang oleh orang Jawa disebut sebagai unggah-ungguh, nilai yang erat dengan sikap hormat dan menghargai hierarki. Selain itu, sebagian besar masyarakat masih terjangkit personalismo, salah satunya dengan memaknai presiden sebagai sosok personal alih-alih pemimpin negara yang bertanggung jawab kepada rakyat. Akibatnya, mengkritik seseorang, sekali pun dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sopan dan tidak menghormati.
Namun, di sisi lain, negara juga berperan secara terstruktur atas matinya sikap kritis masyarakat, baik melalui instrumen hukum, tindakan represif, maupun pengebirian akses informasi alternatif. Pertama, keterbukaan negara dalam menanggapi kritik hanyalah omong kosong selama pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih bebas ditarik semaunya. Berdasarkan catatan Amnesty International, terdapat sekitar 332 individu yang dijerat Pasal 27 Ayat 1 dan 3 serta Pasal 28 UU ITE sejak Januari 2019 sampai dengan Mei 2022. Mirisnya, mayoritas pelapor adalah pejabat publik dan pihak yang mewakili institusi, sedangkan terlapor paling banyak datang dari kalangan masyarakat sipil, diikuti aktivis, akademisi, bahkan ASN.
Lebih lanjut, sikap represif aktor negara kepada pihak-pihak yang menyampaikan kritik secara terbuka dan konstitusional turut andil dalam penyempitan ruang kebebasan sipil. Mulai dari tindakan represif aparat kepolisian saat Aksi #ReformasiDikorupsi pada 23-30 September 2019, hingga penangkapan paksa yang dialami oleh Ananda Badudu dan Ravio Patra. Kondisi-kondisi tersebut masih bertahan hingga saat ini, sehingga bukanlah sebuah kejutan ketika rilisan Freedom on the Net 2023 dari Freedom House, mengklasifikasikan Indonesia dalam kategori Semi-Bebas atau Partly Free dengan skor 47 dari 100–hanya delapan poin lebih tinggi dari ambang batas kategori Tidak Bebas atau Not Free.
Minimnya budaya kritik juga tidak terlepas dari sikap anti-intelektualisme negara dan penyelenggaranya melalui pelarangan, penyitaan, dan pembakaran buku-buku yang dianggap menyimpang. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kejaksaan Agung melarang peredaran 13 judul buku pelajaran sejarah dan sejumlah buku sejarah-politik yang dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan. Saat Presiden Joko Widodo menjabat, razia buku berhaluan kiri juga menjadi hal yang lazim. Padahal, meminjam ucapan Usman Hamid, pembakaran buku (dan larangan buku-buku dalam bentuk apapun), atas alasan apapun, adalah pembodohan. Penghambatan akses terhadap informasi dan upaya pengendalian narasi dapat menyempitkan ruang diskusi terbuka dan menghambat berkembangnya budaya kritik yang sehat di masyarakat.
Dengan segala konsekuensi yang menyeramkan atas sikap kritis, terlebih perihal kebijakan dan pejabat publik, dapat dipahami mengapa sebagian orang merasa perlu menahan diri untuk menyampaikan kritik. Anggapan bahwa rakyat wajib mendukung pemerintah yang berdaulat sehingga kritik dipandang sebagai upaya memecah-belah turut mengipasi keengganan masyarakat dalam partisipasi politik non-elektoral. Padahal, kritik merupakan elemen yang menghidupi demokrasi.
Kritik dibutuhkan untuk menjaga dan menuntut akuntabilitas serta transparansi pemerintah. Tanpa kritik, penguasa yang korup tidak merasa tertekan untuk menghentikan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menengok ke belakang, praktek KKN Presiden Soeharto, salah satu pemimpin paling korup di dunia menurut Transparency International, misalnya, menghancurkan nasib petani cengkeh akibat kebijakan monopolistik BPPC yang dipimpin oleh Tommy Soeharto dan membebani Indonesia dengan utang luar negeri sebesar USD 74 miliar oleh swasta, yang sebagian besar dimiliki oleh kroni-kroni Soeharto.
Hal-hal tersebut barangkali tidak diketahui oleh orang-orang di balik akun TikTok yang beberapa waktu lalu mengglorifikasi pemerintahan Orde Baru dan mengaku merindukan Soeharto. Rasa-rasanya tidak ada orang waras yang menginginkan pemerintah korup, kecuali mereka golongan yang diuntungkan atau mereka yang kekurangan informasi. Saya lebih percaya populasi golongan yang kedua lebih banyak di Indonesia.
Lebih dari itu, kritik penting untuk memastikan pemerintah menghasilkan kebijakan yang tepat guna, terutama di masa krisis. Kritik dari ahli membantu memastikan kebijakan yang diambil didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, sedangkan kritik dari masyarakat berperan untuk mengidentifikasi celah dalam implementasi kebijakan agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Bukti nyata penangkisan kritik yang luar biasa berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat—secara harfiah dan figuratif—tercermin pada cara pemerintah menangani COVID-19. Selang tiga tahun dan lima bulan setelah mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa COVID-19 bisa sembuh sendiri, Indonesia menjadi negara dengan total kematian akibat COVID-19 tertinggi kedua di Asia.
Sebagai tambahan, eksistensi kritik juga dibutuhkan untuk menjaga kebebasan demokrasi dan mencegah terkikisnya hak-hak konstitusional warga. Apabila negara membiarkan pihak-pihak yang merasa berhak untuk melarang acara pemutaran film, membubarkan pengajian, melaporkan penulis buku, tanpa ada yang mengecam, maka sangat mungkin pembatasan-pembatasan tersebut akan terus dilakukan. Lagi-lagi, sewajarnya orang normal, saya tidak ingin merasakan otoritarianisme khas Orde Baru, dalam bentuk apapun.
Idealnya, negaralah yang berkewajiban menciptakan ruang aman bagi warganya untuk menyampaikan kritik dan berekspresi. Namun, dalam kondisi yang tidak ideal, kemalasan berpikir tidak akan mengantar bangsa ini pada kemajuan. Setali tiga uang dengan apa yang disebut Tan Malaka sebagai Logika Mistika (cara berpikir klenik) yang menjadi tantangan memerdekakan Indonesia, kini, demokrasi dan integritas pejabat publik berada dalam ancaman fabrikasi sejarah dan berita palsu yang dibungkus dalam video berdurasi pendek dengan musik latar dan dikonsumsi tanpa riset lebih lanjut.
Pada akhirnya, asingnya masyarakat Indonesia terhadap sikap kritis merupakan kemunduran yang ironis. Sebab, konsep berperangai ilmiah telah dikenalkan dua tahun sebelum kemerdekaan oleh Tan Malaka melalui Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog). Dalam magnum opus tersebut, Tan menegaskan pentingnya berpikir rasional, pemahaman yang mendalam, analisis yang akurat, dan bersandar pada logika pasti–hal-hal yang terdengar lumrah namun dalam prakteknya tidak populer, terutama dalam hal partisipasi politik publik.
Sebuah pekerjaan rumah yang amat besar untuk mempopulerkan kembali budaya kritik dan merajut keterputusan informasi, terlebih mengenai sejarah politik dan sosial, yang kian hari kian renggang. Sebab, saya percaya, masyarakat yang teredukasi dan tercerahkan adalah senjata ampuh melawan tiran.