Apakah Kita Bekerja Terlalu Keras?
Pada open column kali ini, Mochammad Naufal Rizki mengajak kita untuk berkaca pada Charles Bukowski dan bagaimana ia mengakali kebuntuan dalam hidup.
Words by Whiteboard Journal
Ketika orang membayangkan Los Angeles, citra kemegahan dan hingar bingar hampir pasti muncul: real-estate mewah, markas para miliarder, hollywood, pusat budaya populer, kehidupan yang menyenangkan. Itu benar, namun di balik gemerlap kemegahan itu, hidup pula para gembel yang kehidupannya tiada lain mengerikan: rumah bordil usang, sudut gang yang kotor, orang-orang miskin, para pecandu dan pesakitan. Tapi di antara dua sisi itu, jika suatu saat diberi kesempatan untuk menginjak LA, dengan yakin saya akan lebih tertarik mengorek sisi ‘gembel’-nya, sebab di sudut jalanan LA dan kos murahan tempat para gembel berada, pernah hidup seorang pesakitan yang mengajari saya untuk kembali memaknai kekacauan bernama hidup.
Ia adalah lelaki yang kini tinggal 6 kaki di bawah tanah pemakaman Green Hills Memorial Park. Di makamnya tertulis Henry Charles Bukowski Jr. Hank (1920 – 1994), dan tentu saja sebuah frasa legendaris yang terukir di atas nisannya: Don’t try. Jika saya pergi ke LA, barangkali ziarah ke tempat Bukowski adalah hal yang akan pertama kali saya lakukan.
Don’t try, wejangan itu begitu canggih hingga membuat saya mesti berlama-lama merenung memikirkannya. Frasa itu terdengar pesimistik, dan Bukowski sendiri memang selalu diidentikkan dengan kehidupan yang tanpa harapan: kehidupan yang ikhlas menerima bahwa dunia memperkosa kita setiap detik. Masa hidupnya dihabiskan dengan mabuk, kerja serabutan, melacur, mabuk lagi dan menulis tak habis-habis. Tapi, saya ingin memaknainya sedikit lebih netral. Untuk membahasnya, kita perlu melihat secara ringkas riwayat Bukowski.
Bukowski adalah imigran dari Jerman, keluarganya pindah ke Amerika Serikat pada 1930 ketika Bukowski berumur 10 tahun. Ketika sekolah, Bukowski sering dirisak teman-temannya karena memiliki aksen Jerman yang sangat kental. Ia juga mengalami penyakit fisik, jerawat meradang di seluruh wajahnya, yang membuatnya semakin terisolasi. Di rumah, Bukowski disiksa dan dipukuli habis-habisan oleh ayahnya. Ia kemudian tumbuh sebagai pria pemabuk—ia peminum yang sangat keras—yang kurang akrab dengan orang lain; ia senang sendiri. Bukowski sempat kuliah, tapi memutuskan keluar dan pindah ke New York. Di sana, ia mulai jadi kuli di banyak tempat, sebelum berakhir di kantor pos selama hampir separuh hidupnya.
Sejak itu pula, Bukowski akrab dengan mesin tiknya. Ia sangat rajin menulis: puisi, cerpen dan novel. Karyanya tidak pernah betul-betul dibaca dan diperhatikan orang, kecuali sekelompok gembel lain: kaum hippies, hobos, pemuda-pemudi pelarian. Menginjak usia 30-an, Bukowski memutuskan keluar dari kantor pos dan mulai fokus menulis, lagi-lagi karya-karyanya boleh dibilang tidak berhasil. Dengan kegagalan itu, Bukowski terpaksa kembali ke kantor pos untuk sekadar bertahan hidup. Di sela-sela waktu bekerja, Bukowski tetap menulis dan menulis. Meskipun tulisannya tidak menghasilkan apa-apa kecuali kegagalan, Bukowski masih menulis; bertahun-tahun dan beratus-ratus tulisan. Baru ketika usianya menginjak 50-an, karya Bukowski ‘ditemukan’ oleh penerbit besar, dan sejak saat itu karya-karyanya mulai dikenal, sampai sekarang Bukowski dikenal sebagai salah satu penulis terbaik di Amerika, bahkan dunia.
Kisah hidupnya merangkum pelajaran yang terukir di atas nisannya: Don’t try. Apa maksudnya? Bisa dibilang, kehidupan Bukowski—juga hidup kita semua—adalah rentetan episode kebuntuan yang tiada habis. Orang-orang berusaha keras melampaui kebuntuan itu, bahkan terlalu keras. Tapi, Bukowski lain. Ia memilih untuk menerima dan menunggu. Tapi bukankah semua yang dilakukan Bukowski saat menulis adalah kerja keras? Tidak, Bukowski sama sekali tidak bekerja keras, ia hanya senang menulis, ia tidak mencoba dan berusaha untuk menulis. Orang yang bekerja keras menjadi penulis atau apa pun biasanya dibuai dengan tujuan dan pencapaian: terkenal, uang, prestise. Bukowski tidak, ia hanya senang menulis, dan menunggu sesuatu untuk datang mengetuk pintu kamarnya yang kumuh. Ia menunggu sambil mabuk, meracau dan tetap menulis. Hari ke hari, malam ke malam, ia menulis. Ia pernah bilang: jika esok malam saya tidak menulis, maka saya mati.
Seperti yang saya bilang di awal, orang mengartikan hidup dan karya Bukowski secara pesimistik, tapi di sini saya mencoba mengambil posisi yang lebih netral. Dalam banyak hal, Bukowski memang bicara tentang keputusasaan, silakan baca puisinya yang fenomenal itu, The Crunch, tidak ada sedikit pun harapan di sana. Tapi, dalam banyak hal pula, Bukowski menawarkan cara untuk mengakali kebuntuan hidup. Ketika ia menyebut Don’t try, ia bermaksud bahwa kita tidak seharusnya bekerja keras melampaui kebuntuan-kebuntuan. Terimalah bahwa hidup memang buntu, maka lakukan apa-apa saja yang ingin kita lakukan; yang ketika kita melakukan itu, kita tidak merasa mengeluarkan tenaga dan kerja keras; yang ketika kita melakukan itu, kita tidak sedang berusaha meraih sesuatu; yang ketika kita melakukan itu, kita merasa lebih dari sekadar senang dan bahagia.
Bukowski menerima bahwa dunia memang ampas dan menyedihkan, dan ia tidak berjuang untuk mengubah itu. Bayangkan, jika di usia 30-an, Bukowski memilih untuk berhenti menjalankan ‘hidup’-nya, dan memilih bekerja keras meraih pencapaian-pencapaian untuk membobol tembok kebuntuan hidupnya. Jika beruntung, ia akan naik jabatan di kantor pos, atau kerja kantoran di tempat lain, begitu sampai ia meninggal dengan nisan biasa-biasa saja. Tidak akan ada sesuatu yang sekarang kita kenal dengan realisme lusuh itu.
Alih-alih seperti itu, Bukowski malah akrab dengan kebuntuan, ia tidak ingin melampauinya. Ia lebih memilih untuk melakukan apa-apa saja yang ia inginkan di sela jerat kebuntuan itu. Kebuntuan selalu ada, tapi kebuntuan bukan berarti kita tidak dapat berbuat sesuatu, kebuntuan bukan berarti mengambil puluhan pil dalam sekali tenggak, kebuntuan bukan berarti meledakkan revolver di dalam mulut. Kebuntuan dapat kita akali dengan tidak mencoba sama sekali, setidaknya begitulah kata Bukowski.
“We work too hard. We try too hard. Don’t try. Don’t work. It’s there. It’s been looking right at us, aching to kick out of the closed womb. There’s been too much direction. It’s all free, we needn’t be told. Classes? Classes are for asses. Writing a poem is as easy as beating your meat or drinking a bottle of beer.”
-Charles Bukowski