Apa Nggak Capek Meributkan Generational Gap Melulu?
Dalam submisi Open Column ini, Julia Prabarani mengobservasi sentimen antargenerasi yang terus tereproduksi sejak 624 SM, di mana generasi yang lebih tua selalu memandang negatif generasi yang lebih muda.
Words by Whiteboard Journal
Pernahkah kamu mengalami momen dibanding-bandingkan oleh orang yang lebih tua hanya karena dilahirkan jauh setelah mereka? Entah oleh orang tua sendiri, guru, atau senior di tempat kerja. Entah luring atau daring, perang stigma antargenerasi kini marak terjadi. Parahnya, perdebatan tersebut kerap berkutat pada hal-hal personal seperti keuangan, prestasi, bahkan kesehatan mental.
Orang-orang tua dari generasi Baby Boomer acap menilai bahwa anak muda zaman sekarang memiliki ketahanan mental yang lemah dan perilaku yang tidak sopan. Sebaliknya, Generasi Z menganggap bahwa Boomer terlalu konservatif dan kurang aware mengenai hal-hal tertentu seperti kesehatan mental. Kenapa hal yang demikian bisa terjadi?
Sebuah studi yang dilakukan oleh John Protzko dan Jonathan W. Schooler untuk mengidentifikasi fenomena itu, berhasil melahirkan sebuah istilah yang mereka sebut “Kids These Day Effect”. Penelitian mereka menemukan bahwa fenomena generasi tua menganggap ada “kemunduran” pada generasi muda sudah terjadi bahkan sejak 624 SM, ribuan tahun sebelum Boomer atau Milenial mengeluhkan perilaku Gen Z.
Istilah Kids These Days Effect digunakan untuk menjelaskan persepsi negatif generasi yang lebih tua terhadap generasi yang lebih muda, berdasarkan generalisasi pengalaman diri mereka saat berusia masih muda. Padahal perbandingan ini menjadi tidak objektif, karena adanya bias memori ketika generasi yang lebih tua memproyeksikan diri mereka ke masa lalu. Akhirnya, muncul kesimpulan bahwa anak-anak saat ini lebih buruk daripada anak-anak ketika mereka masih muda.
“Kalo di zaman gue dulu nih ya…”
Dalam penelitian ini Protzko dan Schooler menggunakan tiga komponen sebagai indikator, yakni: sifat hormat kepada yang lebih tua, kecerdasan, dan kegemaran membaca. Hasilnya, orang dengan usia 33-51 tahun menganggap bahwa kaum muda saat ini kurang hormat terhadap yang lebih tua, kurang cerdas, dan juga kurang menikmati kegiatan membaca dibandingkan dengan generasi mereka.
Persepsi negatif yang timbul dari generasi Baby Boomer atau Milenial terhadap Gen Z bersifat relatif, artinya persepsi tersebut bergantung pada field of experience dan frame of reference. Boomer cenderung menilai diri mereka lebih tinggi dalam tiga sifat yang diujikan, dan menilai Gen Z lebih rendah. Menariknya, kecenderungan orang dewasa menganggap bahwa anak-anak saat ini kurang cerdas berlawanan dengan fakta bahwa skor IQ atau taraf kecerdasan intelektual rata-rata telah meningkat selama beberapa dekade terakhir.
Perbedaan penetrasi informasi melalui media
Perbedaan pendapat terkait kesehatan mental juga dapat dilihat melalui Kids These Day Effect karena sama-sama terjadi bias dalam penilaian antar generasi. Salah satu masalah yang terjadi saat ini adalah tingkat kesadaran Boomer dan Gen Z akan kesehatan mental berada pada level yang berbeda. Perbedaan ini sedikit banyak disebabkan oleh perbedaan informasi yang dikonsumsi kedua generasi tersebut. Hal yang dikonsumsi sehari-hari oleh kedua generasi ini ketika mereka muda tentunya memiliki perbedaan yang signifikan, salah satu contohnya internet dan media sosial. Dilansir dari survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet tertinggi di Indonesia pada 2021-2022 ditempati oleh anak di kelompok usia 13-18 tahun dengan persentase mencapai 99,16%. Pada usia yang sama, Boomer tidak mendapat paparan internet dan media sosial semasif Generasi Z.
Media sosial menjadi sumber informasi yang sangat digemari anak muda karena dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Selain itu, akses media sosial dan internet melalui smartphone dianggap sangat praktis. Media sosial dan internet bak portal ajaib yang memudahkan mereka untuk mengakses berbagai informasi, salah satunya adalah informasi tentang kesehatan mental.
Instagram, sebagai salah satu media yang digunakan untuk berbagi informasi, telah mencatat bahwa terdapat 43,5 juta unggahan dengan tagar mental health. Dengan informasi mengenai kesehatan mental sebanyak itu, tidak heran apabila generasi Z memiliki kesadaran yang terbilang tinggi mengenai hal tersebut, sehingga mempengaruhi perilaku mereka di keseharian. Hal ini mungkin bertolak belakang dengan Boomer yang tumbuh dengan minimnya paparan informasi tentang kesehatan mental, karena internet belum berkembang secanggih saat ini ketika mereka muda.
Namun, kecanggihan tersebut bisa menghadirkan dampak negatif bagi Gen Z karena informasi yang diterima secara berlebihan dapat membawa mereka kepada kondisi depresi. Permasalahan hubungan di media sosial dan kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain di media sosial dapat memunculkan persepsi negatif terhadap diri sendiri, sehingga menimbulkan perasaan insecure dan menyalahkan diri.
Terbukanya akses akan kehidupan orang lain melalui media sosial membuat anak-anak muda sering kali membanding-bandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari capaian belajar, karir, ekonomi, hingga penampilan fisik. Meskipun perbandingan diri dapat mengarah kepada hal yang positif, hal ini kerap memiliki tendensi untuk membawa mereka kepada perasaan dan persepsi negatif, yang menempatkan kondisi psikis pada keadaan vulnerable.
Perbedaan stimulus akan kesehatan mental di antara generasi ini akan menghasilkan output yang berbeda pula, khususnya mengenai bagaimana mereka menghadapi stress. Gen Z cenderung lebih vokal menyuarakan isu kesehatan mental daripada Boomer atau Milenial. Akan tetapi, kevokalan ini justru seperti pisau bermata dua karena mulai bermunculan tren self diagnose yang menjangkiti anak-anak muda.
Tentunya tidak semua orang dari generasi Z melakukan hal ini, tapi fenomena self-diagnose ini sering kali dilakukan dan mengundang berbagai respons, salah satunya dari Boomer. Mungkin tren inilah yang menimbulkan persepsi negatif bahwa Gen Z memiliki mental yang lemah. Dan Gen Z menganggap Boomer terlalu konservatif sebagai respons terhadapnya.
Setiap generasi memiliki coping mechanism masing-masing dalam menghadapi hal ini. Perbedaan perilaku ini disebabkan karena terdapat perbedaan culture, environment, dan perkembangan IPTEK ketika kedua generasi ini tumbuh. Perbedaan ini juga berujung pada bagaimana cara mereka bertindak untuk menghadapi suatu masalah.
Tidak ada yang salah dan benar karena penilaian antargenerasi selalu memiliki bias di dalamnya, begitu pun tulisan ini. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana individu-individu tersebut dapat saling meng-embrace perbedaan yang ada di antara generasi mereka dan merekognisi proses panjang untuk mewujudkan masyarakat yang saling memahami.