
Anak Muda Terancam Tambah Sengsara di Hari Tua
Dalam submisi Open Column ini, Daffa Batubara membahas sekaligus menyinyalir bagaimana salah kelola politik membuat ancaman sengsara dan nestapa untuk kita semua di hari tua menjadi lebih nyata.
Words by Whiteboard Journal
Kira-kira dua Pemilihan Presiden (Pilpres) terakhir, anak muda selalu menjadi bahan atau target kampanye. Di Pilpres 2024 lalu, salah seorang Wakil Presiden (Wapres) pun berusia muda dan berhasil menang. Namun rasa-rasanya semakin sering anak muda disebut, malapetaka kian merintang. Bahkan hari ini malapetaka itu tambah menumpuk di pundak dan kepala anak muda.
Karena sebagian besar angkatan kerja muda berprofesi sebagai buruh atau pekerja, tulisan ini akan menggambarkan keadaan anak muda dengan mengacu pada data tersebut. Lebih rincinya lagi, di awal-awal kita akan membahas pendapatan para pekerja muda yang kita kenal sebagai upah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018–2024 menunjukan rata-rata upah pekerja usia 15–19 dan 20–24 tahun selalu di bawah rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Demikian juga rata-rata upah pekerja usia 25–29 tahun pada dua tahun terakhir, atau tahun 2023 serta 2024. Padahal besaran upah mestinya melihat kebutuhan hidup, bukan usia pekerja.
Persentase pertumbuhan upah dari kurun yang waktu sama pun cenderung kecil. Rata-rata pertumbuhan upah kelompok usia 15–19, 20–24, dan 25–29 tahun hanya di kisaran 3,9 hingga 4,5 persen. Sedangkan menurut WTW lewat laporannya yang berjudul “Global Medical Trends 2024”, inflasi biaya kesehatan Indonesia tahun 2022–2024 mencapai 10–12,74 persen.
Kalau urusan pangan, suburnya tanah Indonesia hanya indah di lagu Koes Plus, tapi buruk pada realita. Tahun lalu, Bank Dunia menyebut harga beras kita paling mahal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Di samping itu, berdasarkan data BPS tahun 2021, pendapatan petani kecil kurang dari 500 ribu setiap bulannya.
Bonus demografi yang sekarang diglorifikasi ternyata tak berbuah apa-apa. Padahal jika dikelola dengan baik, harusnya menarik manfaat yang baik pula. Namun akibat buruknya pengelolaan negara, bonus demografi hanya diisi oleh fenomena pekerja yang dibayar murah, serta bekerja di bawah kondisi yang tidak layak lainnya.
Pendapatan yang tidak sebanding dengan biaya kebutuhan pokok menjadi momok anak muda belakangan. Dampak dari itu anak adalah muda terjerat Pinjaman Online (Pinjol), menunda pernikahan, hingga memutuskan untuk tidak memiliki keturunan. Tidak hanya itu, kabar tentang anak muda yang memilih mengakhiri hidup kian berseliweran.
Di antara dampak yang sudah disebutkan tadi, setidaknya terdapat satu yang kemungkinan menimbulkan efek domino, yakni keputusan untuk tidak memiliki keturunan. Kalau kita mengikuti pola pikir pemerintah yang salah satu tumpuan ekonomi berada pada investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI), jumlah masyarakat begitu penting.
United Nation on Conference Trade and Development (UNCTAD) tahun 1998 pernah merilis laporan yang isinya berupa faktor-faktor yang dapat menarik FDI. Satu dari banyak faktor merupakan ukuran pasar (market size). Maksud dari market size tersebut adalah jumlah masyarakat yang berperan sebagai konsumen.
Jika anak muda hari ini menunda pernikahan sampai memutuskan tidak memiliki keturunan, artinya kedepan jumlah masyarakat Indonesia akan menurun. Efek dominonya investor malas untuk masuk, kecuali pemodal yang ingin merampok sumber daya alam kita. Lalu apa dampak selanjutnya?
Pertama ialah lapangan pekerjaan yang akan tambah berkurang. Walau sebenarnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa saja berinvestasi untuk membuka lapangan kerja, akan tetapi ia lebih memilih memberikan bonus kepada para dewan komisaris dan direktur, yang besarannya mencapai belasan hingga puluhan miliar rupiah setiap tahun.
Apalagi persoalan sekarang ditambah dengan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang membuat tentara merambat ke lapangan pekerjaan sipil. Padahal di beberapa tahun terakhir, kita masih punya pengangguran yang berpendidikan tinggi dan jumlahnya mencapai ratusan ribu orang.
Efek domino kedua berupa menurunnya pendapatan negara. Apabila tidak ada pabrik yang beroperasi, artinya tidak ada pula Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang bisa terserap, begitu juga PPh Perorangan yang dipungut kebanyakan dari pekerja. Perlu diketahui, pendapatan negara terbesar berasal dari PPh Badan maupun Perorangan.
Kalau begitu, pemerintah pun juga terancam tidak memiliki daya untuk mengurus masyarakat. Sebab ia tidak punya dana untuk merenovasi jalan yang rusak, membangun sekolah, dan menambal dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang keuangannya sering kali negatif.
Sedangkan jika anak muda hari ini kelak akan mengandalkan pendapatan dari upah di masa yang akan datang, sepertinya akan tetap kurang. Karena menurut pertumbuhan rata-rata upah pekerja usia 50–54 dan 55–59 tahun pada tahun 2017–2024, trennya hanya tumbuh 1,1–1,5 persen.
Maksudnya adalah pendapatannya nanti tidak akan jauh berbeda dengan kelompok usia yang sama tahun ini. Ditambah lagi kesempatan menabung yang kecil, atau mungkin perlahan kita sudah menguras tabungan. Tak usah menyebut dana darurat untuk hari tua, saat muda pun kita dikurung oleh perekonomian yang nestapa.
Cara tata kelola negara yang tidak efisien dan produktif seperti sekarang memang sangat patut dikritik. Beberapa waktu lalu muncul tagar #KaburAjaDulu yang digaungkan oleh banyak pengguna media sosial berusia muda. Namun tidak semua anak muda bisa kabur, karena terbentur biaya, pendidikan, serta keterampilan yang luput dari perhatian pemerintah selama ini.
Maka dari itu, perlunya kita akumulasi amarah kita yang mulai memuncak belakangan ini dengan berupaya menyusun taktik politik maupun ekonomi yang selalu dikooptasi oleh politisi tua yang mengacau. Silakan kita lihat secara bersama-sama bahwa sejak lama kursi-kursi vital diisi oleh orang yang itu-itu saja dan menghasilkan sebuah produk yang begitu buruk.
Ancaman kesengsaraan anak muda di hari tua nanti tidak terlepas dari keputusan politik yang kotor, hitam, serta tak adil. Cara paling ideal untuk menghindari atau menyudahi ancaman kesengsaraan di hari tua tidak lain dari melucuti segala daya politisi koboi yang merugikan dan sudah pasti membosankan.