Aku Tak Benci Bandung, Hanya Kecewa
Dalam submisi Open Column kali ini, Raffyanda Indrajaya membuktikan bagaimana Bandung tidak seasri ingatan publik akan si Kota Kembang, sekaligus menguliti segala yang tidak tampak dalam berbagai nestapa yang hinggap di berbagai sudut kotanya—meski semua dijabarkan dengan adanya sedikit harapan, dan bukan atas kebencian.
Words by Whiteboard Journal
Beberapa bulan lalu, saya yang menemukan diri harus tinggal di Jakarta selama beberapa waktu, berkesempatan untuk berbincang dengan seorang kenalan. Panggil saja namanya Jo. Kami mengobrol akan berbagai hal, keadaan kami sekarang, dan anekdot-anekdot yang mengisi hari-hari kita. Namun, percakapan ini lambat laun mengantarkan kami pada satu topik yang dipenuhi persetujuan dan anggukan.
“Ada yang gersang di Bandung.”
Dari banyaknya hal yang membedakan kami berdua, satu kesamaan yang kami miliki adalah, kami sama-sama lahir dan besar di Bandung—dipeluk dan dibentuk olehnya. Maka pertemuan ini ibaratnya reuni, dua manusia yang pernah dan selalu mengalami “Bandung”.
Opininya akan kota ini terbilang lebih brutal dibanding saya. Menurutnya, Bandung ialah manifestasi dari “godforsaken place” itu. Segala hal yang sebagian orang bilang positif akan kota ini, dapat kita kuliti untuk menunjukkan borok di baliknya: Pusat perbelanjaan menarik, ada penggusuran dan izin AMDAL yang dilewati untuk mewujudkannya; kehidupan yang serba slow living, coping mechanism untuk minimnya pekerjaan bergaji layak; hadirnya berbagai macam café, minimnya imajinasi akan apa yang harus dilakukan; keasrian kota yang dipenuhi pepohonan dan hunian nyaman, konsekuensi gentrifikasi dan peninggalan masa kolonial.
Masih banyak lagi tentunya, pandangan yang kami bagi juga tidaklah unik. Bahkan bukan hanya di Bandung, mereka yang hidup di tempat lain juga mungkin punya pandangan serupa akan suka duka dari tempat mereka besar. Namun bagi pribadi, ada yang buat saya “sakit” jika terlalu lama di Bandung, sesuatu yang sulit dijelaskan, sebuah je ne sais quoi yang menyerap energi dan bahkan, gairah hidup.
Bandung sebagai Kota Resort para Penguasa
Bandung adalah glamor, manifestasi kemewahan dan kemajuan budaya Eropa pada masanya. Meski didirikan sebagai pusat administratif kolonial bagi Kabupaten Bandung, sejarah panjang Bandung lekat dengan identitasnya sebagai tempat peristirahatan para pemilik perkebunan teh di bumi Priangan. Gunakan mesin waktu dan berjalan saja di Bragaweg (pribumi dilarang masuk), hampir semua toko pakaian mewah di sana menyajikan fashion terbaru yang tidak kalah up-to-date dengan Paris. Pemerintah kolonial membangun berbagai restoran, hotel, dan klub eksklusif yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsa Eropa atau kaum pribumi dari golongan menak.
Pergantian kekuasaan dari pemerintahan Hindia Belanda menjadi NKRI dan periode-periode kepemimpinan yang mengikuti tidak banyak mengubah hal tersebut. Ini yang membuat Bandung identik sebagai lokasi wisata hingga hari ini. Kini resort-resort Belanda diganti ratusan cafe, bar, dan taman rekreasi dengan konsep yang nyeleneh untuk konsumsi turis luar Bandung, atau setidaknya, warga lokal yang memiliki uang untuk mendatanginya.
Apakah Bandung Seburuk Itu?
Saya bias, dan saya akan jadi orang pertama yang mengakuinya. Setiap orang memiliki pengalaman berbeda soal Bandung. Namun, pengalaman pribadi tidak mengubah realita yang ada. Mari kita mulai saja dari kondisi politik Bandung yang stagnan dan pesimistik. Saya sendiri besar di era kepemimpinan walikota yang ketika masa jabatannya usai, ia langsung ditahan oleh KPK atas gugatan korupsi. Ia memberikan ratusan izin bagi developer perumahan dan kawasan perbelanjaan yang tidak mematuhi amdal. Ia juga yang, hingga akhir jabatannya, meninggalkan infrastruktur kota dengan keadaan tak terurus.
Awalnya, pesimisme saya akan politik kota ini belum terlalu matang—masih ada naif yang menempel. Pesimisme ini semakin pudar ketika penerusnya menunjukan sikap yang lebih peduli pada infrastruktur kota dan aktivitas para pemuda yang mendiaminya. Berbekal serangkaian program “Bread and Circuses”—atau yang secara bebas saya lokalisasikan sebagai “beras dan lenong”—ia merevitalisasi berbagai taman kota yang sudah sekarat, memberikan dukungan pada komunitas kreatif, dan “membuka” ruang dialog antara masyarakat dan pemerintah. Namun, masa kepemimpinannya tetap dipenuhi konflik agraria tak berujung, infrastruktur yang tak terurus, dan kebijakan yang tak berkelanjutan. Pemimpin selanjutnya juga tidak memberikan banyak perubahan, ataupun pemimpin selanjutnya lagi yang ditangkap KPK sebelum masa jabatannya tuntas.
Selain itu, kurang lebih 2 juta populasi Bandung hanya difasilitasi segelintir koridor bus dengan armada yang minim. Kemacetan jadi merajalela ketika tidak banyak alternatif untuk bepergian. Semua orang didorong untuk memiliki kendaraan pribadi. Berjalan kaki juga sulit dilakukan ketika sebagian besar trotoar rusak. Jatuhnya malam memperparah kondisi Bandung yang minim penerangan jalan, bahkan jalan-jalan utama beberapa kali mengalami kematian lampu.
Menyentuh masalah ekonomi, BPS Bandung mencatat per tahun 2023, masih ada lebih dari 102 ribu jiwa yang masuk pada golongan miskin, dengan garis kemiskinan berada pada angka Rp591.124,00. Angka statistik ini tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan para pekerja yang harus menghadapi upah kurang layak dan eksploitasi, baik mereka yang bekerja secara formal maupun informal.
Keadaan ini memperdalam jurang ketimpangan yang ada. Kawasan pemukiman kumuh di Bandung juga masih di angka yang signifikan, per 2022 tercatat masih ada sekitar 468,031 hektare. Mereka yang mengunjungi Bandung dapat melihatnya dengan jelas ketika melewati Jembatan Layang Pasupati (sekarang berganti nama menjadi Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja), lihat kiri dan kanan jalan saja, di antara pegunungan yang mengelilingi kota ini banyak pemukiman tak layak yang terpampang.
Belum lagi berbagai konflik agraria yang tersebar di penjuru kota. Antaranya adalah konflik di kawasan Dago Elos, di mana Muller bersaudara mengklaim 6,3 hektare tanah di daerah Dago sebagai milik mereka. Klaim ini didasarkan surat verponding dari era kolonial. Mereka sempat menang di pengadilan, sebelum warga Dago Elos dan LBH berhasil melaporkan indikasi pemalsuan surat dari pihak Muller bersaudara. Terdapat juga konflik di kawasan Tamansari yang telah terjadi sejak 2017, pemerintah dianggap tidak transparan dalam menjalankan penggusuran di kawasan tersebut. Hal ini menghadirkan kondisi keruh antara warga dan pemerintah yang sempat meletus beberapa kali menjadi konflik fisik. Ironisnya, pembangunan rumah deret (rudet) yang jadi akar penggusuran, hingga kini belum benar-benar rampung konstruksinya.
Yang saya jabarkan ini sekiranya masih segelintir dari problematika yang ada, yang telah dijabarkan juga belum benar-benar dibahas secara satu persatu.
Kembali pada meja di mana saya berbincang dengan Jo. Saya jujur pada dirinya kalau saya rasanya selalu lebih hidup jika sedang tinggal di luar Bandung, dan dia pun sama. Tentu ini semua dengan kesadaran penuh bahwa saya tidak sedang meromantisasi Jakarta atau kota-kota lainnya, layaknya para pendatang yang tiba di Bandung dengan kacamata romantis. Tidak pernah ada tempat yang benar-benar layak, saya tahu itu. Namun apa salahnya untuk selalu ingin hal yang lebih baik?
Sebagai seseorang yang telah menghabiskan sebagian hidupnya di kota ini, ada ikatan spesial yang membuat saya tidak bisa lepas darinya. Mau diakui atau tidak, Bandung sudah jadi bagian dari saya. Dan citra Bandung yang asri, telah lama saya pahami sebagai asap dan cermin.
Maafkan saya jika terlalu dramatis. Ada kesedihan yang menempel saat saya mengetik semua ini. Karena pada akhirnya, sebanyak apapun saya menguliti Bandung, kebencian bukanlah niat saya. Kini, hanya kekecewaan yang menyisa, dan mungkin, sedikit harapan.