Ulang Tahun: Sebuah Perayaan Kesepian
Dalam submisi column ini, Muhammad Muslim memaparkan rasa kesepian yang ia dan orang-orang kerap alami ketika hendak menjejak usia baru.
Words by Whiteboard Journal
Kita tahu, sulit rasanya menjalani sisa-sisa hari, seperti hari yang membawa kita pada hari ini. Kau meraba jauh dengan matamu menuju langit luas, sembari menyeka peluh yang membuat kepalamu seolah dibasahi oleh sesuatu yang lain, seperti angin atau embun pagi ketika hujan sedang sering-seringnya. Kau mengernyitkan dahi kemudian membatin, “Dengan apa Tuhan menciptakan bulan Maret ini?”
Bulan ini, katamu, adalah bulan yang akan kau hindari untuk bercakap-cakap. Bukan karena ketidakberdayaanmu untuk menggapai banyak waktu. Hanya saja, kau perlu beberapa hari dari banyak kesempatan untuk melakukan hal yang sempat kau tahan atau bahkan tak sama sekali kau lakukan. Kau membuat semacam garis besar antara kau dan dunia luar. Untuk merealisasikan itu semua, biasanya kau akan membuat catatan kecil tentang hal-hal apa yang harus kau lakukan—paling tidak untuk satu minggu awal—meski kau tahu, semua yang kau usahakan ini akan luruh sendiri.
Mengingat seringnya hujan pada waktu-waktu lalu, menurutmu, Maret tahun ini akan menjadi bulan yang panjang dan panas. Tak pernah ada orang bajik yang bilang, ini semua keluar dari perenunganmu yang spontan dan terburu-buru karena teror sakit dada dan asam lambung yang sering kambuh. Tiba-tiba, kau berjanji untuk berhenti merokok, tidak akan menyeduh kopi tengah malam, mulai tidur tepat waktu, berolahraga dan hal menyebalkan lainnya.
Beberapa bulan lagi kau menginjak umur 23. Tak banyak yang kau lakukan pada hari-hari yang lalu meski kau sudah mengusahakannya. Kau tinggal dalam rumah yang tiap dindingnya terdapat coret-coretanmu, adik dan keponakan-keponakan semasa kecil. Kau pernah menulis cita-cita di sana sekaligus gambar seorang dengan bentuk kepala seperti sukro berdiri sambil bertolak pinggang. Di depannya, terdapat kotak besar dan titik-garis dengan bentuk tak karuan di atasnya, pada punggungnya tertulis namamu dan angka yang kau gemari. Kau melihatnya lagi. Namun, dengan perasaan dan cara pandang yang lain. Pada umurmu yang sekarang, kau hampir sulit berpikir jernih, mengingat kerutan-kerutan pada wajah ibu yang kian bertambah, ditambah tanggungan sekolah adik, uang air dan listrik, sekaligus biaya makan sehari-hari. Kau menanggung itu semua dengan ketabahan dan rasa sakit yang tak tertahan.
Bapakmu adalah pemabuk dan ia meninggal dengan cara yang biasa-biasa saja. Orang-orang melihat kau menangis dengan sedu, tapi katamu itu hanya spontanitas atas kehilangan pertamamu. Kami tahu kau bahkan sama sekali tak merasa kehilangan apapun. Seperti kata yang sering kali kau ucapkan jika sewaktu-waktu ditanya tentang bagaimana rasanya ditinggal oleh salah satu anggota keluarga: bahwa selain beban, kepergiannya tak meninggalkan apapun termasuk rasa kehilangan.
Pernah di suatu sore, kau mendengar Ibu bercerita kepada kakakmu yang paling besar, bahwa jendolan jembar pada kepalanya yang persis seperti buah jamblang itu disebabkan karena ketika sepulang Bapak dari aktivitas mabuk-mabukannya, ia meminta disediakan makanan ini itu. Ibu yang sedang kerepotan mencuci pakaianmu dan adik tentu tak mendengarnya. Dengan kebuasan binatang ia mengambil botol, mencengkramnya, menghantam kepala Ibu dengan sekonyong-konyong.
Mendengar semua itu, seketika kepalamu mendidih panas, membayangkan skenario soal dengan apa kau menusuk perut Bapakmu malam nanti. Barangkal,i saat itulah waktu yang tepat untuk membenarkan teori Freud dalam cerita Oedipus bahwa setiap pria memendam keinginan untuk membunuh ayahnya. Mengira-ngira akan seberapa tersiksanya Bapakmu akan mati jika kau menusuk lehernya dengan gerakan yang lamban. Dengan cara seperti itulah engkau tumbuh.
Sudah jatuh tertimpa banyak hal, bukan hanya hidup yang kadung menyerangmu dengan nasib buruk yang bahkan rasanya tak henti-henti, kau kerap kali kesepian. Katamu, kesepian justru hadir karena kau sendiri yang menggapainya, kau sering tersiksa karena hal tersebut. Kau sering kali bertanya-tanya, bagaimana rasa sepi itu tercipta? Kau mengambil gawai untuk menuntaskan rasa penasaran, dengan rasa ingin tahu yang membuncah, akses internet lelet yang kau gunakan itu adalah hasil tindakan ilegal dari salah satu rumah, kau mendaptkannya dengan menyuap salah satu anak pemilik rumah tersebut dengan satu-dua cerita silat dan horor.
Laman Wikipedia mendefinisikan kesepian emosi kompleks dan biasanya tidak menyenangkan, yang merupakan respon isolasi. Kesepian biasanya mencakup perasaan cemas terhadap kurangnya koneksi atau komunikasi dengan makhluk lain, baik di masa sekarang dan berkembang ke masa depan. Meski bersifat normal, kesepian sering kali diidentifikasi sebagai konotasi yang buruk dan negatif. Kesepian acapkali dikait-kaitkan dengan stereotip tertentu, anggaplah sebagai orang yang anti-sosial, tak memiliki kepekaan lingkungan sosial. Dan anggapan paling radikalnya adalah bahwa kesepian biasanya hanya menyerang orang-orang yang tak memiliki bekal keimanan yang cukup.
Untuk mengerucutkan kembali konteks tentang kesepian ini, mari kita gali lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang mengalami kesepian menahun ini secara terperinci. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh University of California San Diego School of Medicine yang juga melibatkan 2.843 partisipan dalam rentan umur 20 hingga 69 tahun, diketahui bahwa puncak rasa kesepian malah cenderung menyerang orang dengan usia muda. Penelitian tersebut menjabarkan bahwa rasa kesepian sering kali hinggap pada orang dengan kurangnya empati dan rasa kasih sayang, terbatasnya lingkaran sosial dan tidak memiliki pasangan. Lalu, apakah benar bahwa rasa sepi tak akan berhasil menaklukan orang-orang yang penuh kasih sayang, jaringan lingkaran sosial yang luas dan orang-orang yang memiliki pasangan?
Fulan berumur 23 tahun, lulus dari jurusan Hubungan Internasional tahun lalu dengan nilai yang cukup baik, seperti kebanyakan orang-orang yang aktif pada kegiatan apapun, di kampusnya ia adalah orang yang periang, memilki banyak teman dan cukup saleh. Setelah lulus dari studinya dan akhirnya bekerja pada salah satu agensi digital marketing yang mengharuskan kepala dan wajahnya mesti selalu terlihat segar untuk mengeluarkan ide-ide yang juga segar, ia sering kali menghabiskan waktunya di depan layar laptop dan gawai untuk mencari sebanyak mungkin informasi yang sedang ramai dan segar pula. Kegiatannya tak cuma ia lakukan di waktu-waktu senggang pada sebuah kedai kopi, ia juga sering melakukannya di rumah, di depan meja makan dan di atas kasur.
Dalam waktu-waktu tertentu, puncak kesibukannya tersebut mengantarkannya pada sebuah keadaan sepi dan bosan yang mengharuskannya untuk bertemu teman-teman yang barangkali sudah tak ia ajak bicara beberpa bulan lamanya. Fulan mulai mengirimkan beberapa pesan kepada beberapa temannya untuk ia ajak nimbrung, namun seperti yang sudah kita ketahui, kesibukan yang menjangkitnya beberapa waktu lalu tidak cuma menyerangnya, kesibukan juga dialami oleh teman-temannya. Keadaan tersebut akhirnya melahirkan kebosanan dan kesepian panjang yang mengahruskannya mencari alternatif aktifitas reflektif lain. Fulan akhirnya nongkrong di tempat ia biasa mengerjakan pekerjaannya yang tertunda, sendirian.
Dari elaborasi sederhana tersebut, kita bisa simpulkan bahwa kesepian tak hanya milik orang-orang yang tak memiliki koneksi pertemanan yang luas, kesepian terkadang lahir dari faktor-faktor lain, faktor ini disebut faktor sistematik. Faktor ini tumbuh karena kekang rutinitas dan kungkungan hal-hal lain. Contohnya, alienasi individu dalam masyarakat sosial karena jerat pekerjaan. Tapi, bukan berarti kami akan menyarankan kalian untuk keluar dari pekerjaan atau merebut kembali segala hal yang telah dirampas oleh pekerjaanmu.
Sebagai seorang yang ikut merasakan pula bagaimana rasanya di dera oleh pekerjaan berulang kali, tentu kami memahami bagaimana arus pekerjaan sering kali menyita banyak waktu kita untuk menjaga hubungan baik. Karena konteks tulisan ini adalah menyitir tentang faktor-faktor yang akhirnya melahirkan kesepian dan siapa saja yang berhak mengalami rasa kesepian, tentu kami tidak akan membahas tentang kiat-kiat bagaimana cara menjaga hubungan sosial di tengah tekanan pekerjaan yang hampir tak memberi siapapun waktu untuk bernapas.
Beberapa bulan lagi kau akan genap berumur 23 tahun, sebagian orang bilang tak akan ada lagi hal jenaka yang datang ketika laki-laki telah sampai pada angka tersebut. Mungkin ungkapan semacam itu akan masuk akal jika diganti dengan “Kenelangsaan akan lebih terasa jika kau semakin tua dan tetap dalam kungkungan hidup yang serba tak pasti.” Tapi kau tahu itu omong kosong belaka. Buktinya kau masih bisa melihat salah satu temanmu makan nasi uduk dengan sarung tangan proyek.