Romansa Kemarau dan Kenangan Masa Kecil di Pulau Garam dalam Musik Lorjhu
Pada submisi column kali ini, Maulana Kautsar Rahmad mengulas keunikan dan unsur lokalitas yang dibawa oleh Lorjhu’, musisi asal Madura yang mengeksplorasi berbagai kekhasan asal tanah kelahirannya tersebut di dalam musiknya.
Words by Whiteboard Journal
Kebanyakan musisi indie sering kali mandek pada tema yang berkaitan dengan hujan. Badrus Zeman yang dikenal dengan nama panggungnya, Lorjhu’, justru terinspirasi fenomena kemarau panjang dalam karyanya. Kecenderungan itu dapat ditelusuri dengan menengok Pulau Garam, julukan bagi tanah kelahiran Lorjhu’, Pulau Madura.
Pulau yang dikenal sebagai penghasil garam terbesar di Indonesia sejak dulu ini terdiri dari 4 kabupaten yang pendapatan utamanya berasal dari produksi garam. Upaya menghasilkan garam itu tentunya membutuhkan sinar matahari yang konsisten, dan ini hanya dapat terjadi di musim kemarau.
Pemuda berusia 31 tahun itu menggambarkan musim kemarau sebagai masa bersuka cita. Waktu petani garam menggenjot produksi dan petani tembakau menanam.
“Kalau hujan, gagal (panen)” kata Badrus, saat ditemui di kompleks Taman Ismail Marzuki, Sabtu (27/8).
Terinspirasi kondisi alam dan cuaca di Madura, Badrus kemudian menulis lagu Nemor. Gaung bersambut. Karya ini mendapat perhatian gitaris dan vokalis Barasuara, Iga Massardi saat siaran langsung di Taste Test ++ di kanal Sounds From The Cornner awal Mei 2020.
“Ini namanya Lorjhu’. Lagunya judulnya Nemor. Featuring salah satu musisi Madura namanya Rifan. Ini bahasa Madura… Ini gila sih,” kata Iga.
Membawa bahasa ibu
Menggunakan nama panggung yang berarti kerang bambu, Badrus mengeksplorasi fenomena lingkungan dan geografis di Madura dan membuahkan sembilan lagu dalam album yang diberi nama Peseser (Pesisir).
Potret kehidupan pesisir tersebut bisa kalian dengar di lagu “Malem Pengghir Sareng” (Pesisir di Malam Hari). Di lagu ini, ia menceritakan pengalamannya saat menyaksikan keindahan malam bulan purnama di pinggir pantai.
Lihat saja betapa jelinya Badrus menggambarkan suasana pesisir laut: bau ikan asin yang menyengat; anak bangau terlelap; bulannya tampak jelas dan terang. Lirik itu berpadu dengan irama yang rancak, dengan petikan suara gitar berdistorsi.
Akasa’ denan tenjhang. E ghir sereng. Laon tambuna omba’. E ghir sereng.
(Berbisik daun-daun bakau. Di pesisir. Debur ombak yang tenang. Di pesisir)
Kamu bisa bergoyang mengikuti iramanya sembari membayangkan bagaimana kaki menapak di pasir pantai dan terkena pecikan air laut. Meski tentu harus membuka arti dari lirik tersebut.
Badrus juga merekam suasana mangrove di pesisir. Bagi sebagian masyarakat pesisir, mangrove tidak hanya tanaman penangkal ombak. Ekosistem mangrove kerap menghasilkan sumber makanan. Badrus menggambarkan keindahan mangrove tersebut dalam Kembang Koneng (Bunga Kuning). Badrus berkelakar, terlepas bunga mangrove yang meski tak telalu kuning, lagu ini dibuat secara acak.
“Aku nggak tahu pesannya apa. Kalimat itu artinya harus apa,” kata dia.
Justru dari ketidaktahuan makna inilah, kisah “Kembang Koneng” menjadi sangat spiritual.
Badrus berujar, “Kembang Koneng” menceritakan kesehariannya yang dekat dengan mangrove. Saat hendak ke laut, Badrus kecil harus menembus hutan bakau. Di sana, dia melihat ombak yang menghanyutkan bunga mangrove dan menggoyangkan akar dan pohonnya.
“Hati-hati nyawa hanya satu-satunya,” kata Badrus.
Selain kondisi alam, Badrus juga menyisipkan ingatan masa kecilnya di pesisir dan tinggal di lingkungan pesantren. Lihat saja nomor lagu “Lakonah Orang Manceng”, lagu mengenai aktivitas memancing. Meski kini aktivitas itu tak selalu bisa dia lakoni, karena berbagai kesibukan termasuk mengajar, Badrus membawa ingatan masa kecil itu dalam lagu tersebut.
Diawali dengan petikan gitar, lagu ini bercerita mengenai tarik ulur tali pancing dan kesialan yang dialami. Kejenakaan khas Madura, yang lekat dengan ironi itu dibawa Badrus.
Jhukok kakap mak te ponteh ( [Maunya] Ikan kakap malah [dapat] ikan buntal.
“Yang paling penting, memori itu tidak hilang. Kalau ada kesempatan, bersama paman dan saudara-saudara, memancing itu menjadi momen tersendiri yang keren,” kata dia.
Dari Musik Metal ke The Swallows
Pesantren dan sekolah Islam menjadi bagian yang lekat dengan masyarakat Madura–termasuk Badrus. Setelah bersekolah di tingkat dasar, Badrus belajar ke Pesantren Tahfidz Alquran Zainul Ibad Prenduan. Di tingkat sekolah menengah pertama inilah ia membentuk grup musik instrumental dengan gentong. Kegiatan seni gambar dan teatrikal juga mewarnai harinya. Idealisnya dalam bermusik, dengan ogah mengcover lagu orang lain saat tampil, mulai ditegakkan.
Di masa ini juga, Badrus mulai mengenal musik rock. Genre musik yang dia sukai. Dari sini, ia menjelajahi berbagai genre, metal, hingga musik khas Timur Tengah. Blues, rock ala Celtic, hingga metal Viking.
“Itu stimulus buat saya,” ucap dia.
Merantau dan berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membawa pengalamannya mendengar berbagai musik makin meluas. Termasuk mencetuskan ide membuat lagu dengan bahasa Madura.
Gagasan membuat musik dengan bahasa Madura dia akui terinspirasi oleh The Swallows. Band tahun 1960-an ini dikenal sebagai legenda di Singapura dan Malaysia. Uniknya, bahasa yang mereka gunakan untuk lirik lagu adalah bahasa Madura, khususnya dari Pulau Bawean, sebuah pulau di utara Gresik, Jawa Timur.
Akar musik pop dari Pulau Bawean ini berjalin dengan musim dengan irama Melayu. Proses jalinan ini muncul karena masyarakat Bawean kerap merantau ke Singapura pada era 1850-an. Salah satu hits yang paling dikenal dari band bervokalis Kassim Slamat ini yaitu La Aobe (Sudah Berubah).
Dari sinilah Badrus menemukan format yang cocok untuk proyek solonya: musik bergaya indie rock dengan balutan lirik berbahasa Madura. Dia mengakui inspirasi ini, tetapi juga memberi bantahan bahwa format yang terbentuk muncul karena perjalanan musik yang panjang.
“Lha mereka dengan indo rock di tahun segitu dengan bahasa Madura bisa kok, dan (jadi) legenda di Malaysia dan Singapura,” kata dia.
Akhirnya, sebelum pandemi Covid-19 melanda, Badrus memulai proyek pribadinya dalam bermusik. Pada akhir Agustus 2019 dia mulai bersiap, termasuk menggandeng Irfan Khoridi. Nemor meluncur pada Februari 2020.
Badrus mengatakan, penggunaan bahasa ibu yang dia pahami sebagai lirik menjadi pembeda. Dia mengibaratkan pemain musik Amerika Serikat (AS) yang memainkan blues dengan lirik berbahasa Inggris.
Penyimpangan antara musik barat dan lirik bernuansa lokal ini, baginya, menjadi bentuk baru. Ini pula yang menjadi alasan Badrus tak banyak menempelkan elemen alat musik lokal di dalam lagu-lagunya. “Musik etnik pakai (alat) musik tradisional ya ada. Tapi bagaimana caranya musik tradisional itu bukan sebagai anak bawang, aku mencoba menghindari itu,” kata dia.
Tak hanya bahasa tentu saja. Setiap tampil, bahkan dalam video klipnya, Badrus menggunakan peci panjang dan bersarung. Tak lupa, dia juga menggunakan jaket. Dengan cara ini, Badrus ingin membawa gagasan mengenai lokalitas di luar Pulau Garam.
Baginya, membawa musik semacam ini langsung di Pulau Madura terlalu berisiko. Dia harus berhadapan dengan genre musik berbahasa Madura lain yanglebih banyak memiliki penggemar (baca: dangdut). Tak salah kiranya jika Lorjhu’ mungkin lebih banyak dikenal di seantero skena musik indie Jabodetabek.
Nanti, pada Synchronize Fest 2022, Badrus dengan Lorjhu’ berharap bisa menggoyang penonton. Meski masih merahasiakan nomor apa saja yang ingin ditampilkan, Badrus berjanji akan membawa format yang berbeda. Tidak akustikan. Full band. Penampilan ini akan jadi pembuktian lain Badrus di kancah musik Tanah Air.