212: The Power of Love, Rekonstruksi Wajah Islam yang Damai
Tuduhan radikal Islam yang direkaulang menjadi positif dengan bersikap anti terhadap kritik dan memihak pada sebagian fakta.
Words by Whiteboard Journal
Sedari awal, 212: The Power of Love memang dengan tegas menghindar dari segala konteks politik yang bersirkulasi saat Aksi Bela Islam III dilangsungkan pada tanggal 2 Desember 2016 (Aksi 212) lalu. Tuduhan politisasi agama yang menenggarai rangkaian Aksi Bela Islam samar-samar diceritakan melalui penggalan berita di televisi, tanpa pernah menyebut politisi mana yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aksi tersebut. Kasus penistaan agama yang melibatkan seorang pejabat politik yang menjadi pemicu dilangsungkannya aksi ini juga hanya muncul sekilas dalam siaran berita, tanpa pernah diperjelas siapa yang dituduhkan sebagai penista agama.
Melalui sikap apolitis ini, 212: The Power of Love rupanya menjelma menjadi konflik bapak dan anak yang hubungannya tak lagi harmonis akibat perbedaan prinsip dalam menilai agama. Oleh film ini, perjalanan sekelompok massa dari Ciamis yang mengikuti Aksi 212 dengan berjalan kaki dijadikan latar untuk mengulang premis Le Grand Voyage atau versi Indonesia yang mendahuluinya, Mencari Hilal. Masih dalam dualisme yang sama, Sang Ayah, Kiai Zainal (Humaidi Abbas) , adalah seorang pemuka agama yang ultra-konservatif, sedangkan Si Anak Laki-laki, Rahmat (Fauzi Baadila), adalah jurnalis yang telah lama skeptis dengan ajaran Islam dan kini menjadi seorang ateis.
Berbeda dari lakon antitesis pada dua film pendahulunya yang tampil begitu dinamis dan penuh kemistri, debat-debat kusir antara Rahmat dan Kiai Zainal berlangsung begitu monoton dan kering. Tidak cukup membuat penonton peduli dengan motif apa yang menyebabkan keduanya berakhir saling memusuhi atau terjerat untuk menyaksikan proses rekonsiliasi yang terjadi diantara keduanya kelak. 212: The Power of Love tak lebih dari sebuah eksekusi pasif yang sekedar menyampaikan apa yang tertuang di skenario, tanpa pernah benar-benar menghidupkannya.
Harvard vs Al-Azhar
Dalam perjalanan ini, Rahmat menjadi satu-satunya orang yang memiliki pandangan berbeda soal Islam. Ia dipandang sebagai muslim yang memiliki rapor merah oleh para santri di Ciamis karena tulisannya di majalah Republik, tempat ia bekerja, mencurigai bahwa Aksi Bela Islam tengah dipolitisi oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini membuat Rahmat tak hanya harus bersitegang dengan ayahnya saja, ia juga harus turut menandingkan ideologi non-agamisnya dengan beberapa santri yang ia temui. Santri-santri yang memiliki orientasi untuk menimba ilmu Islam setinggi-tingginya sampai ke Al-Azhar Kairo.
Rahmat adalah tafsiran klise dari segala sesuatu yang dipandang sebagai ‘bukan ajaran Islam’. Ia jurnalis lulusan Harvard, perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat, yang suka mencemooh kegiatan rohis dan meluhurkan kajian-kajian ideologi. Oleh karenanya, salah satu santri, yakni Abrar (Hamas Hasyid), menganggap ia sebagai antek liberal yang mengkhianati agamanya sendiri. Namun, sebelum label lulusan Havard ini disebut berulang kali dalam film, Rahmat sudah terlebih dahulu mengumbar mental radikalisnya di hadapan foto Karl Max yang bertengger di layar komputernya.
Sudut pandang film ini bertujuan untuk menanggalkan satu per satu entitas anti-Islam yang tersemat pada Rahmat. Mencoba mengartikulasikan bahwa pandangan Rahmat soal Aksi Bela Islam merupakan gerakan konyol yang tak lebih dari sebuah tipu daya politik adalah sebuah kekeliruan besar. Sayangnya, cara yang ditempuh adalah dengan mendelegitimasi pandangan Rahmat secara sepihak. Yang pertama adalah dengan menggunakan logika dalam semesta film religi bahwa sebagai seorang keturunan muslim tak selayaknya ia mengkritik agamanya sendiri. Kedua, karena Rahmat tak lagi sembayang dan bukan lulusan Al-Azhar, oleh Kiai Zainal dan beberapa karakter lainnya kritik Rahmat terhadap Islam dianggap bukan lagi sebuah gagasan yang valid.
Posisi Rahmat sebagai pengkritik ajaran Islam pun dibuat kian melemah ketika terungkap bahwa sikapnya yang memprovokasi Islam ternyata lebih didasari oleh luka personal ketimbang murni sebuah penentangan ideologis. Rahmat merasa agama Islam telah memenjarakannya saat Kiai Zainal mengirimnya ke sebuah pondok pesantren akibat kelakuan nakal yang ia lakukan di waktu kecil. Rahmat pun dibuat menyerah begitu saja di akhir film dengan menuliskan hasil liputan tentang betapa damai dan indahnya keberlangsungan Aksi 212. Tak seperti kritik pedas yang ia lontarkan di awal, tentu saja cover story yang terdengar manis ini mendapatkan sambutan baik dari semua pihak.
Alih-alih mengubah cara pandang Rahmat — atau siapapun penonton yang berpandangan serupa — proses negasi seperti ini bisa diartikan bahwa Islam dalam film ini tak mengindahkan kritik yang datang dari luar lingkup ideologinya dan menilai setiap kritik yang muncul hanyalah bentuk tudingan atau sinisme semata.
Apolitis yang Memihak
Bersikap apolitis nampaknya tak juga menguntungkan keberjalanan alur film ini. Pasalnya, tanpa pernah menyertakan dengan jelas apa yang menjadi pucuk perkara dari Aksi 212, dalam hal ini kasus penistaan agama, nada-nada kecintaan terhadap Al-Quran dan agama Islam yang selalu disenandungkan selama film ini berlangsung menjadi terlalu sulit untuk dipahami. Meskipun sebagian besar penonton tahu apa akar masalahnya, tapi saat film ini memilih melepaskan diri dari konteksnya, alur film ini tak lebih dari sebuah konstruksi penceritaan yang cacat.
Meski tegas bersikap apolitis, meski para peserta Aksi 212 juga tak berkenan gerakannya disangkut-pautkan dengan aksi politik, namun 212: The Power of Love sungguh menampilkan keberpihakan yang nyata. Visi film ini jelas, yaitu mengklarifikasi segala prasangka dan tuduhan bahwa Aksi 212 adalah aksi yang sarat dengan radikalisasi dan muatan kebencian. Berusaha merekonstruksi wajah Islam yang dirasa tercoreng dengan tuduhan tersebut menjadi Islam yang tenram dan toleran rupanya, dengan cara menolak menggambarkan peristiwa Aksi 212 secara utuh. Hanya menampilkan cuplikan-cuplikan Aksi 212 yang membantu meraih visi tersebut dan menyembunyikan fakta-fakta lainnya yang bertentangan.
Memang benar peserta Aksi 212 menjaga kebersihan rumput-rumput di Monas serta mengawal dengan aman sepasang pengantin yang akan menikah di Gereja Katedral Jakarta, namun juga benar ada seorang wartawan telivisi swasta yang diintimidasi oleh sekelompok peserta Aksi 212 karena menganggap media tersebut mendukung orang yang mereka anggap menista agama.
Memang terdengar gema takbir dan ajakan untuk tak mengkafir-kafirkan orang lain, namun juga terdengar ujaran-ujaran kebencian untuk mengganyang etnis minoritas. Memang benar beberapa kiai dari Ciamis diundang ke atas mimbar, sebagai bentuk apresiasi atas aksi jalan kaki yang dilakukan peserta aksi dari Ciamis, namun dalam kesempatan tersebut mereka dengan penuh semangat mendendangkan yel-yel “Tangkap, tangkap, tangkap Si Ahok” bukan mengutarakan pesan damai seperti yang dilakukan oleh Kiai Zainal.
Melaui jalan penceritaan yang hanya mengandalkan sebagian fakta dan mengabaikan fakta yang lain ini, 212: The Power of Love telah menentukan kepada siapa ia berpihak, yakni kepada orang-orang yang mendukung Aksi 212 semata. Namun, lagi-lagi sudut pandang film ini menelurkan sebuah paradoks. Jika memang film ini ditargetkan hanya untuk para simpatisan Aksi 212, lalu kepada siapa klarifikasi mengenai wajah islam yang damai ditujukan? Apa gunanya menjejali nilai-nilai yang sudah lama diyakini oleh para penganutnya kalau bukan untuk memuaskan diri sendiri.
–
“212: The Power of Love, Rekonstruksi Wajah Islam yang Damai” dari Fidhia Kemala disubmit melalui program Open Column. Jika ingin menjadi bagian dari program ini, klik tautan berikut: Whiteboard Journal Open Column Program.