Pameran Virtual Sebagai Cara untuk Menyiasati Keterbatasan
Uji Hahan, Isha Hening, hingga Stereoflow, beberapa sosok yang menjelajahi pameran virtual sebagai cara untuk mengembangkan karya.
Teks: Daniet Dhaulagiri
Manusia bukanlah makhluk yang stagnan, perjalanannya tak melulu linier, selalu ada limit yang dilampaui dan berbuah inovasi. Beberapa hal tadi akhirnya mampu mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupannya; salah satunya adalah seni.
Seni akan selalu adaptif, para pelakunya tak mungkin berhenti pada praktik-praktik yang sudah ada, eksploratif merupakan sifat yang seharusnya tertanam pada akalnya agar sanggup menciptakan sebuah karya yang luar biasa dan memuaskan egonya sendiri. Ditambah pesatnya perkembangan teknologi selalu dimanfaatkan untuk menunjang hal baru serta keliaran konsep suatu karya dari hasil berkesenian.
Mungkin beberapa puluh tahun ke belakang tidak semua terpikirkan bahwa hari ini kita dapat menggelar dan menghadiri pameran secara virtual dengan konsep 3D, namun berkat teknologi, hal tadi mampu terealisasi. Kini menggelar pameran secara virtual banyak menjadi pilihan pihak galeri selaku penyelenggara, para pengunjung pun jika ditanya hal yang lebih praktis tentu saja akan sepakat dan memilih pameran virtual, karena untuk menikmati karya-karya bisa diakses tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu.
Belakangan format tersebut menjadi fenomena tersendiri di kancah seni lokal. Cukup banyak seniman lokal yang sudah mencicipi memamerkan karyanya dalam format virtual, beberapa di antaranya yakni Uji Hahan, Isha Hening, Abenk Alter, Bunga Yuridespita, Rebellionik, Stereoflow, Popomangun, Mangmoel, dan Agugn. Melalui karya dan penjelajahan mereka, kita bisa mendapat berbagai inspirasi dan gagasan baru dari bagaimana para seniman ini bisa menyiasati keterbatasan dan justru memancing inspirasi melalui karya di ruang virtual.