Teks: Amelia Vindy
Foto: Archipelago Festival
Kehadiran salah satu kolektif muda yang memperkenalkan diri sebagai Studiorama di awal dekade tahun 2000-an, membawa sebongkah harapan besar untuk keberlangsungan skena musik independen di Indonesia. Pasalnya apa yang coba ditawarkan oleh mereka adalah bibit-bibit peleburan berbagai bidang kreatif untuk bisa menghadirkan penampilan-penampilan baru yang segar. Dengan merangkul para pelaku musik itu sendiri, seniman dan sosok-sosok kreatif lainnya, Studiorama secara pasti memperlihatkan seperti apa konsistensi yang mereka miliki.
Kali ini menggandeng salah satu platform alternatif yang memberikan pengalaman lain untuk menyaksikan pertunjukan musik secara digital, yakni Sound From The Corner (SFTC), mereka menginisiasi sebuah konferensi musik tahun ini, bernama Archipelago Festival. Konferensi ini akan mengundang berbagai narasumber untuk panel diskusi dan musisi lintas genre untuk tampil guna memberikan berbagai insight menarik, dengan harapan mampu mendorong perkembangan musik Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Kami berkesempatan untuk menanyakan konsep dan harapan dari diselenggarakannya acara ini dengan mereka.
Sebelumnya, perwakilan SFTC dan Studiorama mendapat kesempatan untuk ke Inggris dan mengikuti Brighton Festival. Apakah Archipelago Festival terinspirasi dari dinamika skena musik di sana?
Walaupun benar SFTC dan Studiorama mengunjungi Inggris untuk The Great Escape di Brighton bulan Mei kemarin, Archipelago Festival tidak secara khusus terinspirasi hanya oleh kunjungan tersebut. Konferensi musik ada di berbagai negara (Music Matters – Singapura, SXSW – Amerika Serikat, TGE – Inggris, MIDEM – Perancis, MUCON – Korsel, dst) dan kami berpikir ini saatnya Indonesia juga punya konferensi yang serupa; yang mengajak pelaku, penikmat, maupun pemula untuk berdiskusi dan kemudian siapa tahu berujung kepada aksi nyata yang berdampak signifikan.
Mengapa menggunakan kata “archipelago” dan memakai visual kultural, tepatnya bagian Timur Indonesia? Apa yang mau ditekankan lewat identitas ini?
Cambridge dictionary: a group of small islands or an area of sea in which there are many small islands.
Bila berdiri sendiri, Archipelago sebagai sebuah kata memiliki arti “kepulauan.” Pendekatan dan identitas visual yang kami terapkan tidak ada kaitannya dengan pandangan Indonesia sebagai negara kepulauan, apalagi mengadopsi semangat nasionalisme.
Kami memandang dinamika/isu/masalah yang ada di musik lokal seperti layaknya pulau-pulau kecil yang berdiri sendiri dipisahkan lautan, tapi berada di dalam satu teritori. Niatannya adalah membawa dinamika-dinamika yang berbeda ini untuk dibahas dalam satu wadah, yakni Archipelago Festival.
Archipelago dibuat berdasarkan misi untuk mendukung penggerak skena lokal dan memberikan exposure maupun saran guna perkembangan mereka. Exposure seperti apa yang ingin kalian tekankan pada emerging artist lokal lewat festival ini?
Salah satu tema besar yang kami ingin bawa adalah “talent diversity.” Ada supply dan demand yang tidak seimbang di dalam musik lokal di Indonesia. Penampil yang itu-itu saja merajai acara-acara musik lokal, di saat yang sama talenta baru yang kualitasnya bagus semakin banyak. Kami ingin menggeser pola pikir tersebut dan mencoba untuk berani memberikan panggung utama bagi musik-musik baru yang (bagi kami) layak mendapatkan perhatian lebih.
Sebagai festival yang terbuka untuk umum, bagaimana Archipelago Festival memposisikan diri untuk audiens yang sebelumnya tidak terlibat atau tidak mengikuti perkembangan musik lokal?
Salah satu tujuan utama Archipelago Festival adalah untuk mengajak audiens yang lebih umum untuk melihat industri musik sebagai sebuah ekosistem: musik tidak hanya tentang musisi semata, tapi di balik layar adalah sejumlah peran-peran yang sama pentingnya. Dari kacamata penonton umum, Archipelago ideal bagi mereka yang ingin tahu band-band baru yang seru untuk dicek, dan melihat musik tidak hanya sebagai sesuatu yang dinikmati (sebagai penampilan musik) tapi juga sebagai sebuah industri, komunitas dan ekosistem yang berkesinambungan.
Berangkat dari manakah penentuan panel diskusi dan mengapa tema-tema tersebut dianggap penting dan layak dibicarakan?
Tidak ada metode empirik atau riset mendalam untuk menentukan topik panel diskusi, namun kami percaya diri topik-topik yang diusung punya relevansi besar terhadap kodisi riil di lapangan. SFTC dan Studiorama sebagai kolektif musik, juga sering berhadapan dengan isu-isu yang diangkat jadi campuran antara pengamatan sosial dan pengalaman sendiri.
Ada salah satu panel diskusi archipelago yang cukup berbeda dibandingkan tema-tema lokal lainnya yakni “Breaking the UK.” Apa yang ingin disampaikan lewat panel diskusi ini?
Kami bermitra dengan British Council untuk panel ini. Tema besarnya tentang bagaimana band Indonesia bisa memulai membangun presence di Inggris. Industri di Inggris termasuk yang tersulit di dunia – sangat kompetitif dan kami kira ini bisa jadi insight yang menarik untuk audiens Archipelago Festival.
Hasil atau dampak seperti apa yang diharapkan akan terjadi seusai acara?
Dampak jangka panjangnya, kami berharap Archipelago Festival bisa dijadikan ajang silaturahmi dan networking semua orang yang suka dan peduli terhadap musik di Indonesia. Kami juga berharap emerging artist lokal yang ditampilkan di sini, juga yang ada di luar sana, bisa mendapat sorotan layak. Sehingga acara yang bertebaran tidak hanya akan diisi oleh penampil yang berulang, tetapi juga nama-nama segar dengan cakupan musik luas. Keberagaman talenta tentunya memperkaya musik Indonesia.
–
Archipelago Festival
14-15 Oktober 2017
Soehanna Hall
The Energy Building
SCBD, Lot 11A
Jl. Jend. Sudirman Kav 52-53