Dari Bernadya, Kita Tahu Negara Sedang Tidak Baik-Baik Saja (Tapi Sialnya, Kita Harus Tetap Berjalan?)
Dalam submisi Open Column kali ini, Daffa Batubara mengingatkan kembali bagaimana kita seperti tidak henti-hentinya diculasi oleh mereka yang berkuasa, dan kita juga diingatkan bahwa musik sendu pun bisa menjadi pelipur lara untuk hati yang sedang gamang di tengah segala kemuraman ini.
Words by Whiteboard Journal
Pergantian penguasa sudah berjalan lebih dari satu bulan. Di awal pergantian, kita disajikan sirkus calon menteri yang catwalk di Jalan Kertanegara. Kemudian beberapa hari setelahnya ada “Magelang Retreat”, perpeloncoan ala Presiden Prabowo selaku penguasa baru untuk para pembantunya.
Semua saluran berita isinya sirkus di Kertanegara dan Magelang tersebut. Mulai pesawat Hercules yang mengangkut para menteri, hingga tenda untuk pembantu presiden bermalam. Sebagian publik memandang ini sebagai harapan baru, yang sebenarnya kalau kita cermati tak ada bedanya dengan pertemuan kabinet di hotel bintang lima.
Sekali pun hingar-bingar pergantian penguasa terdengar sampai Antartika, masyarakat menengah ke bawah tidak merasakan dampaknya. Lihat saja, ukuran kabinet yang besar itu tak ubahnya seperti membayar budi dan melunasi logistik kala kampanye. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) meramal anggaran negara melonjak 39,55–158,21 triliun rupiah akibat kabinet jumbo.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 tentu bukan hanya untuk membiayai operasional kabinet. Tahun depan, negara juga perlu membayar utang beserta bunga utang yang jatuh tempo. Jumlahnya mencapai 800 triliun rupiah. Nominal itu setara harga 1,3 juta unit rumah kelas menengah.
Belum lagi anggaran untuk merealisasikan janji kampanye Presiden Prabowo soal makan bergizi gratis. Membaca berita-berita yang beredar, alokasi per porsi kian menyusut. Bulan Agustus lalu, para elit, terutama di lingkaran Istana masih menyebut anggaran per porsi di kisaran 25 ribu rupiah. Kemudian berubah menjadi 15 ribu rupiah, dan terakhir hanya di angka 10 ribu rupiah.
Bagi wilayah yang dekat dengan sumber pangan, anggaran 10 ribu rupiah barangkali masih cukup. Tapi bagi wilayah-wilayah yang jauh, rasanya angka tersebut tidak masuk akal. Apalagi di pengadaan barang dan jasa pemerintah, “jatah preman” makelar proyek masih bertebaran. Melansir CNN Indonesia (3/6/2024), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan korupsi pengadaan sebesar 5–15 persen.
Anggaran belanja yang besar membutuhkan pendapatan yang setimpal. Namun APBN kita setiap tahun mengalami defisit. Sejak tahun 2015 hingga 2023, rata-rata defisit terealisasi sebesar 454,04 triliun rupiah. Tahun depan pemerintah lewat Undang-Undang (UU) APBN 2025 menetapkan defisit sebesar 616,2 triliun rupiah. Akan tetapi angka tersebut baru tercantum dalam UU, bukan angka pasti atau realisasi yang terkadang meleset.
Untuk menutup lubang defisit, bukannya menggunakan cara yang pro kepada rakyat menengah ke bawah, pemerintah justru membebaninya. Melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah akan menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang tadinya 11 persen menjadi 12 persen.
UU HPP memang sudah disahkan sejak tahun 2021. Tapi langkah penguasa baru yang memilih kenaikan PPN tetap bergulir tahun depan adalah penindasan. Pasalnya kenaikan PPN akan mempengaruhi harga kebutuhan masyarakat. Contohnya adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diformulasi harganya terdapat PPN.
Sedangkan, orang-orang kaya diberikan karpet merah dalam urusan perpajakan. Rencana pemerintah menggulirkan tax amnesty jilid III tahun 2025 adalah upaya yang menjijikan. Padahal menurut riset Center of Economic and Law Studies (Celios) yang terbit September 2024 lalu, kalau pemerintah memajaki 2 persen saja untuk 50 orang terkaya, pendapatan negara berpotensi naik 81,6 triliun rupiah.
Kalau dari tadi kita membahas ekonomi, di sisi politik pun sama berantakannya. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang belum lewat dua pekan ini mengandung tindakan brutal dari penguasa. Presiden Prabowo, misalnya, berkali-kali melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pasang calon.
Di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta, Presiden Prabowo membuat surat edaran yang isinya mengajak siapa pun pembaca surat tersebut untuk memilih Ridwan Kamil yang merupakan salah satu peserta. Sebelumnya, Presiden Prabowo juga pernah mengunggah foto bersama peserta Pilkada tersebut. Walau tak ada keterangan ajakan memilih, foto tersebut tetap saja begitu kelihatan sebagai bentuk dukungan.
Selain Presiden, seorang menteri pun ikut cawe-cawe Pilkada. Temuan Lokataru Foundation menduga Menteri Desa, yakni Yandri Susanto, menyalahgunakan wewenangnya di Pemilihan Bupati (Pilbup) Serang. Mendes tersebut memobilisasi Kepala Desa untuk kegiatan pribadi. Terdapat alat peraga kampanye Ratu Zakiyah yang merupakan istri Menteri Yandri pada tempat kegiatan itu.
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah pengulangan dari apa yang terjadi saat Jokowi berkuasa. Soal ekonomi pastinya kita sudah tahu kalau di era Presiden Jokowi begitu kacau. Di soal politik juga demikian. Rasa-rasanya aroma busuk Pemilihan Presiden (Pilpres) akan ikut campurnya Jokowi masih belum juga hilang.
Dari sini mestinya kita sudah dapat menilai bahwa yang berubah dalam pergantian penguasa hanya tokohnya. Nelangsa akan selalu ada di keseharian kita, warga negara Indonesia.
Hari ini, kita melihat bagaimana Bernadya muncul di most played song teman-teman dekat kita yang mereka pamerkan di media sosial. Jurnal berjudul “On the Value of Sad Music“ buatan Joshua Knobe serta kawan-kawannya (2024) menerangkan bahwa musik sendu berpengaruh positif untuk hati yang sedang gamang. Mungkin, Bernadya adalah cara kita bersama untuk mencari cerah di antara keseharian kita yang belum terlihat ujungnya ini. Dan untuk itu, kita perlu berterima kasih kepadanya yang telah memberikan pelipur lara dari segala derita yang negara beri kepada kita. Semoga, di masa depan, kita bisa merayakan lagu Bernadya semata karena melodi atau liriknya, bukan karena kita perlu meredakan sendu yang dicipta negara.