Melihat Bintaro Design District 2024 Dari Kacamata Mahasiswa Arsitektur
Menelaah Bintaro Design District 2024: Analog Reality melalui kacamata Tara Ghaisani, seorang mahasiswi arsitektur yang juga merupakan seorang intern editorial di Whiteboard Journal.
Words by Whiteboard Journal
Words: Tara Ghaisani
Photo: Bintaro Design District
Bermula sebagai sebuah percikan kecil, kini Bintaro Design District (BDD) sudah tumbuh besar dan luas menjadi salah satu acara tahunan yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Gaungnya kini melampaui Bintaro dan Indonesia, memberi ruang bagi desainer lintas disiplin untuk berkumpul dan menampilkan karya dalam satu tema besar yang berubah tiap tahun. Diinisiasi oleh arsitek Andra Matin, Budi Pradono, Danny Wicaksono, dan desainer grafis Hermawan Tanzil, BDD pada awalnya terfokus pada desain spasial namun kini ranah kreatif film dan musik pun turut serta menjadi bagian penting, berkat kurator tamu seperti Riri Riza, Sir Dandy, dan Arie “Dagienkz”.
Tema besar dari Bintaro Design District selalu terasa seperti sebuah brief studio perancangan—konsep yang mungkin familiar untuk orang-orang yang sudah pernah atau sedang menempuh sekolah arsitektur. Seringkali brief studio terasa berskala besar, ambigu, dan multifaceted, persis seperti tema besar BDD di setiap tahunnya. Tema-tema tersebut memberi ruang bagi para partisipan maupun pengunjung untuk menafsirkan secara bebas. Walaupun tidak ada satu jawaban mutlak, kita tetap mempertanyakan definisi yang tepat dari tema tersebut. Kebebasan dalam menginterpretasikan tema ini mungkin dirancang secara sengaja untuk melahirkan karya-karya baru, yang memunculkan pemikiran yang segar, dan menumbuhkan rasa keingintahuan yang lebih.
Tahun ini, BDD membawakan tema “Analog Reality”—tema yang cukup relevan untuk diangkat di zaman yang marak akan penggunaan artificial intelligence dan obsesi berlebih terhadap segala sesuatu yang compact, efektif, dan instan. Secara harfiah, kehidupan yang analog dapat diartikan sebagai pendekatan yang retrospektif, upaya mereka ulang langkah-langkah yang dipijak dalam mendesain jauh sebelum segala hal telah mengalami digitalisasi, dan pekerjaan yang manual, konvensional, juga ‘terbelakang’. Namun, perspektif yang ingin para kurator bawa melalui BDD 2024 adalah kehidupan yang analog sebagai sesuatu yang naluriah dan dekat dengan manusia. Tujuannya bukan untuk mengesampingkan kemajuan teknologi, tetapi untuk kembali mengasah kepekaan dalam berkreasi dengan tangan kita sendiri, melawan realitas manusia yang kian diperbudak oleh teknologi. Ultimately, it aims to broaden our perspectives in perceiving design and to appreciate the versatility that it holds, with all its limitations considered.
Sebagai seorang mahasiswa arsitektur, proses manual dalam mendesain memang merupakan proses yang paling melelahkan. Tetapi, proses ini juga merupakan proses yang paling jujur. Adanya penghapus mungkin dapat menghilangkan kesalahan yang dimuat di dalam karya kita, namun seluruh alur berpikir dan goresan yang tidak serupa antara satu garis dengan garis lainnya dapat terlihat dengan jelas. Beberapa realisasi tersebut membuat perjalanan mengunjungi instalasi-instalasi di BDD menjadi menyenangkan, dengan harapan dapat mempelajari perspektif maupun pengetahuan baru yang bisa membuka pikiran. In fact, the journey has been nothing short of fascinating for me.
Setelah mengunjungi berbagai titik yang menyajikan instalasi maupun eksibisi, beberapa mampu memberikan pemahaman yang unik mengenai “Analog Reality”, di antaranya adalah Half Made, Flickering Spirit, instalasi bambu karya Budi Pradono, dan Dapur Hidup.
Kopi Manyar yang menjadi destinasi pertama dari perjalanan mengitari Bintaro Design District menghadirkan dua pameran dengan pemahaman mengenai “Analog Reality” yang berbeda. Pada pameran Bandung & Schoemakers kita dapat mempelajari sejarah Bandung melalui karya arsitek Schoemaker bersaudara di zaman Hindia Belanda yang hingga saat ini masih menjadi simbol perkembangan arsitektur Indonesia.
View this post on Instagram
Di lantai yang berbeda, terdapat pameran bertajuk Half Made yang mengajak kita untuk mempertanyakan batasan dari sesuatu yang “analog” dan “digital”. Pameran yang dibawakan oleh Studio Hendro Hadinata dan Threadapeutic ini sekilas terlihat sederhana tetapi pameran ini mempertanyakan hilangnya koneksi emosional dan makna kepemilikan manusia dengan objek-objek di sekitarnya. Ketika segala sesuatu di sekitar kita terkesan seragam dan terstandarisasi, Half Made ingin mengembalikan ikatan personal antara manusia dengan objek-objek yang dimilikinya. Sesuai namanya, Half Made menampilkan furnitur IKEA—untuk menekankan poin “produksi massal” dari argumen mereka—yang dibalut oleh tekstil yang terdiri dari ragam kain perca dengan kondisi setengah jadi. Kita diajak untuk berpartisipasi dalam membuat furnitur ini menjadi furnitur yang rampung dan utuh dengan menyikat kain perca tersebut hingga membentuk serabut kecil dan menciptakan pola melingkar yang sebelumnya tidak ada.
View this post on Instagram
Argumen yang Half Made bawa melalui eksibisinya menjadi menarik karena pada kenyataannya, rasa kepemilikan dan koneksi personal manusia dengan barang-barang yang kita miliki secara perlahan menghilang dengan maraknya standarisasi. Kegiatan sederhana seperti menyikat—menjadi bagian dari sebuah proses—dapat mengembalikan ikatan emosional tersebut, menunjukkan bahwa manusia sejatinya hanya bisa merasakan keterhubungan emosional yang tumbuh ketika ada keterlibatan mendalam dalam proses itu sendiri, sesuatu yang menuntut mereka untuk menggunakan tangan mereka sendiri, sesuatu yang bersifat sensorik.
Miles Films yang turut menjadi partisipan di Bintaro Design District 2024 juga membuka studio-nya, menghadirkan eksibisi yang menceritakan sejarah produksi film sejak prosesnya masih dilakukan secara analog hingga sekarang, juga menghadirkan berbagai program sebagai rangkaian perjalanan menuju 30 tahun dari rumah produksi tersebut. Melalui “Flickering Spirit”, Miles membawa kita melalui perjalanan kreatif di ranah film yang diceritakan secara runtut melalui sebuah pameran yang naratif. Program acara yang dibawakan oleh Miles Films terdiri dari talkshow dan screening 3 film yang berkaitan dengan tema besar dari BDD 2024, yaitu Memoria (dir. Apichatpong Weerasethakul, 2021), Humba Dreams (dir. Riri Riza, 2019), dan Perfect Days (dir. Wim Wenders, 2023). Perfect Days, sebagai film yang baru saja dirilis satu tahun yang lalu, memiliki nilai yang selaras dengan tema dan kontemplasi yang ingin dihadirkan oleh BDD tahun ini.
View this post on Instagram
Film ini menceritakan kisah Hirayama, seorang paruh baya yang bekerja sebagai petugas kebersihan toilet publik di Tokyo dan kesehariannya. Kita diajak mengikuti keseharian Hirayama dalam membersihkan toilet dan kita, sebagai penonton, dapat melihat ragam desain toilet umum di Tokyo—yang, jika dibandingkan, cukup kontras dengan kondisi di Indonesia. Setiap toilet dirancang sebagai entitas mandiri dengan kepribadian yang unik; masing-masing memberikan dampak yang berbeda pada konteks dimana toilet tersebut dibangun. Perspektif tersebut tertangkap melalui film tersebut dengan sangat baik, menunjukkan interaksi antara arsitektur, konteks, dan penggunanya—sebuah sudut pandang yang seringkali terlupakan dalam merancang sebuah ruang jika aspek yang dikejar hanya fungsionalitas bangunan.
Titik lain yang memamerkan berbagai karya partisipan adalah The Mawi. Tepat di depan rerumputan di area tersebut, terletak instalasi kolaborasi antara Dhanie & Sal, Lunch for my Husband, dan FORMAT yang bertajuk “Dapur Hidup”.
View this post on Instagram
Berbeda dengan instalasi lainnya, instalasi yang dibangun di Dapur Hidup bukanlah sesuatu yang dapat dimengerti dengan sekadar dipandang. Pemaknaan analog yang dibawa oleh Dapur Hidup dapat lebih mudah dimengerti jika dialami secara langsung; sebuah ruang berinteraksi secara tatap mata, berbagi kehangatan dengan ditemani sajian yang dapat dinikmati bersama-sama, sebuah realita analog yang sederhana namun lambat laun menjadi langka.
Memasuki BDD Center yang saat ini masih berupa lahan kosong dengan rerumputan tinggi, terdapat sebuah instalasi bambu yang dirancang oleh Budi Pradono dan dibangun secara langsung oleh masyarakat tradisional Suku Badui.
View this post on Instagram
Instalasi ini merupakan sebuah spectacle dan pengalaman yang, secara personal, sangat menarik. Banyak yang bisa dipelajari dari instalasi ini, baik dari sambungan antar komponen struktural maupun konstruksi dan desainnya secara keseluruhan; semuanya dilakukan secara manual dengan metode tradisional. Setelah melewati proyek yang memaksa saya untuk memahami bambu secara mendalam—kemampuannya sebagai elemen konstruksi dan sifatnya sebagai sebuah material—melihat ini secara langsung, sebuah instalasi dalam skala 1:1, memberikan pemahaman yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan mempelajarinya melalui buku atau internet. Dari sudut pandang analog, instalasi ini juga memberikan perspektif baru akan craftsmanship, dimana kemampuan tersebut membutuhkan waktu, kesabaran, dan eksperimen yang berulang-ulang. Struktur tersebut tidak mungkin dapat berdiri dengan kokoh dengan bantuan pemahaman struktural yang telah mereka pelajari melalui proses eksplorasi panjang. Sebuah pengingat bahwa walaupun kita sering tergesa-gesa mengejar hasil akhir, kesabaran dan kedalaman dalam bereksplorasi merupakan kunci dari karya yang bermakna.
Luasnya ruang untuk menginterpretasikan tema “Analog Reality” dapat dilihat sebagai keunggulan juga kelemahan dari penyelenggaraan BDD tahun ini; memberikan pengalaman yang unik dan membuat narasi secara utuh tidak terasa koheren maupun konsisten di saat yang bersamaan.
Beberapa instalasi yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan seluas apa tema “Analog Reality” dapat diartikan oleh para partisipan. Ambiguitas pemaknaan tema ini membuka ruang bagi beragam perspektif desain, tetapi juga menciptakan kesan disconnected antar instalasi. Begitu pula dengan pemilihan penampil di opening dan closing. Acara dibuka dengan Lair dan Motherbank yang benar-benar mencerminkan kehidupan yang analog dengan musiknya yang kental akan nuansa tradisional. Deretan penampil yang memegang erat tema analog ini seketika goyah di acara closing; walaupun Lorjhu’ masih erat dengan tema analog, penampilan Duo MobySade dan DJ Adimas terasa out of place dan menimbulkan pertanyaan. Ketidaksesuaian antara penampil dengan tema sebenarnya dapat dimaklumi, tetapi mengingat tema “Analog Reality” merupakan narasi yang telah ditekankan dalam pemilihan penampil sejak awal acara membuat pilihan-pilihan setelahnya terkesan inkonsisten.
Keluhan lain yang kerap muncul di setiap tahunnya juga berkaitan dengan aksesibilitas pengunjung. Tahun ini, layaknya tahun-tahun sebelumnya, acara ini masih terasa sangat car-centric. Tanpa kendaraan pribadi, sulit untuk menjelajahi berbagai lokasi di satu hari yang sama. Mungkin ini adalah cara BDD mencerminkan watak asli Bintaro, namun apakah seharusnya watak tersebut tidak mengalami perubahan? Bukan hanya untuk kemudahan pengunjung belaka, tetapi juga untuk menjaring lebih banyak pengunjung di seluruh instalasi dan eksibisi yang dimiliki BDD secara merata—tidak hanya menarik bagi sesama desainer maupun arsitek, tetapi khalayak umum.
Melalui Bintaro Design District 2024, kita diajak memahami kompleksitas dari kehidupan yang analog di tengah realitas yang diperbudak teknologi. Kontemplasi ini bertujuan untuk menaikkan kesadaran kita, baik sebagai pelaku kreatif maupun penikmat, untuk menghargai proses analog dan memberikannya nilai yang setara dengan proses digital. Banyak pelajaran dan wawasan baru yang didapat melalui instalasi-instalasi yang dihadirkan, menjadikan perjalanan ini sebuah pengalaman yang memperluas perspektif. Hadirnya BDD mengingatkan kembali alasan mengapa saya menyukai bidang arsitektur dan mengembalikan semangat untuk terus mengejarnya. Keinginan untuk bertahan memang rawan hilang terbawa tekanan dan ekspektasi, namun BDD kembali mengingatkan mengapa seluruh perjalanan ini layak diperjuangkan.