Kau Kabut Tebal Nan Putih dan Upaya Pembunuhan Imajinasi Pascamusim Menjagal ‘65
Dalam submisi Open Column kali ini, Raffyanda Indrajaya merespons rilisan terbaru hara dan Frau, “Kabut Putih”, lagu yang pernah dinyanyikan oleh Paduan Suara Dialita dan ditulis oleh salah seorang penyintas 1965 ketika sedang di Kamp Plantungan, Zubaidah Nungtjik A.R., sekaligus mencerminkan pesan dan nilai dalam lagu penuh harap tersebut terhadap segala yang bisa kita lihat dan rasakan di negeri ini.
Words by Whiteboard Journal
Lima ratus ribu sampai satu juta jiwa, itu adalah estimasi umum dari korban jiwa pembantaian massal pascaperistiwa G30S. Secara tidak langsung, perubahan individu menjadi statistik yang melindungi kita dari serangan panik dan melankolia berkepanjangan, terlebih saat membayangkan bahwa tiap-tiap dari digit itu adalah manusia yang pernah hidup.
Mereka-mereka jadi sekedar angka, hal ini juga yang seringkali membuat pembahasan G30S di Indonesia acap kali berhenti hanya pada pembahasan korban jiwa. Diskursus yang bergulir menjadi perdebatan statistik ad infinitum akan perubahan angka populasi dan efeknya terhadap ekonomi. Hingga hari ini, berdekade-dekade kemudian, peneliti, akademisi, dan jurnalis belum juga ada yang sanggup memberikan konsensus bersama akan angka pasti dari korban yang ada.
Saya sekiranya tidak menyalahkan hal tersebut, kebenaran dan rekonsiliasi memerlukan pembahasan mendalam akan korban jiwa terdampak sebagai salah satu pendekatannya. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa angka tersebut diikuti oleh: penangkapan dan pengasingan paksa jutaan masyarakat Indonesia yang terafiliasi, atau sekedar dituduh, menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI); pembubaran ratusan organisasi masyarakat, komunitas seni, dan koperasi rakyat; dan secara tidak langsung, pembunuhan kebebasan “berimajinasi” yang mulai mengakar di Indonesia pra ‘65.
Ibu-Ibu Paduan Suara Dialita
Ada dua hal yang mendorong saya untuk menyusun tulisan ini. Pertama, kegiatan diskusi yang diadakan pada 30 September 2024 lalu oleh salah satu UKM di universitas saya dulu. Diskusi tersebut membahas genosida setelah 1965, serta perampasan lahan dan perubahan moda produksi yang terjadi pada tahun-tahun setelahnya. Kedua, rilisan digitalnya Kabut Putih yang dinyanyikan merdu oleh hara (Rara Sekar) dan Frau (Leilani Hermiasih) pada 25 Oktober 2024. Sebuah lagu yang ditulis Zubaidah Nungtjik A.R. yang disusunnya pada tahun 1971 ketika mendekam di dalam Kamp Tahanan Politik Plantungan.
Namun, ini bukan kali pertama saya mendengar Kabut Putih. Sebelumnya, saya sempat menonton dokumenter Lagu Untuk Anakku (2022), sebuah film yang mengangkat pengalaman pahit dan perjuangan para penyintas dan keluarga penyintas kamp tapol pascaperistiwa ‘65 yang di kemudian hari reuni untuk membangun Paduan Suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun). Mayoritas dari mereka memiliki anggota keluarga yang ditahan karena menjadi anggota dari berbagai organisasi dan komunitas seni yang terafiliasi dengan PKI, dengan sebagian merupakan penyintas langsung kamp-kamp tapol.
Mereka sekiranya tidak lahir dari keinginan para penyintas ‘65 untuk sekedar reuni. Para anggota sebelumnya juga tergolong aktif dalam penggalangan dana bagi kawan-kawan penyintas lainnya yang dalam kondisi kesusahan. Circa 2011, Dialita dibentuk sebagai salah satu upaya penggalangan dana tersebut. Awalnya mereka hanya menyanyikan lagu-lagu nasional dan daerah, tetapi kemudian mereka berinisiatif untuk menyanyikan karya-karya yang digubah para tapol ketika mereka mendekam di penjara.
Selama beberapa tahun berkarya, Dialita telah merilis album pertama mereka pada 2016 lalu, lewat kolaborasi dengan beberapa penyanyi dan seniman Indonesia. Mereka juga telah mendapatkan beberapa penghargaan, antara lain dari Akademi Jakarta dan Gwangju Prize for Human Rights.
Bagi saya, lagu-lagu Dialita memiliki rasa manis getir. “Kabut Putih” yang ditulis oleh Zubaidah Nungtijk mendudukkan kita di posisi para tapol yang harus dihadapi dengan kecemasan dan ketidakpastian dari nasib mereka. Merdu sunyi yang hadir seakan menenangkan kita kalau, meski kabut itu tebal dan semua terlihat percuma, “cahaya” akan datang pada waktunya.
Kau kabut tebal nan putih / Di lembah sunyi / Datang mencekam / Kau kabut putih dan dingin / Pagi ‘ni suram / Hujan rintik menambah sepi / Hati nan muram, dingin merana / Kabut kini kian menipis / Harap cahaya
Terdapat “Lagu Untuk Anakku” yang disusun oleh Mayor Djuwito dan Heryani Busono. Mereka tergerak untuk menyusun sebuah lagu bagi anak-anak yang harus kehilangan orang tua mereka secara tiba-tiba, dan kemudian harus hidup sebatang kara. Ada juga lagu-lagu lainnya, seperti “Salam Harapan”, “Taman Bunga Plantungan”, dan “Dunia Milik Kita”. Semua menyimpan harapan dan upaya membangun kebahagiaan dalam menghadapi masa paling suram dari para penulisnya.
Selain perasaan haru dan berduka, perkenalan saya dengan Paduan Suara Dialita juga membuat saya merenung. Sebagian besar lagu yang dinyanyikan Dialita merupakan hasil karya para penggiat seni yang ditangkap pada usia muda, mereka kehilangan kesempatan untuk berkarya tanpa persekusi rezim. Dan mereka-mereka ini hanya sebagian dari ribuan lainnya—orang-orang dengan latar belakang serupa. Sebut saja mereka yang terafiliasi dengan Lekra atau organisasi-organisasi kesenian serupa yang dibunuh, ditahan, dan diasingkan sewenang-wenang.
Ini semua belum termasuk para penyintas yang traumanya begitu dalam sehingga tidak dapat membicarakan apa-apa perihal masa sebelum dan saat penahanan mereka. Represi yang dihadapi pascakebebasan mereka juga menghentikan para seniman “eks-tapol” untuk kembali berkarya, semua karena bayang-bayang akan suatu waktu dapat ditangkap kembali.
Ada berapa ‘Dialita’ lainnya yang hilang sebelum dapat tampil untuk mengenalkan musik-musik mereka pada generasi mendatang? Ada berapa lagi ‘Pramoedya’ lainnya yang kehilangan kesempatan untuk menulis sebelum meregang nyawa?
Orde Baru sebagai Pendiktat dan Penerang
Jika berkarya adalah proses “berimajinasi” yang darinya muncul ruang-ruang diskusi inklusif, maka saya berani bilang bahwa apa yang terjadi pada masa awal transisi orde baru hingga seterusnya adalah upaya masif pembunuhan imajinasi masyarakat Indonesia.
Saya tidak hanya sekedar membicarakan matinya gerakan seni realisme sosialis Indonesia yang digembar-gemborkan oleh Lekra dalam menawarkan gagasan “alternatif” lewat karya seni yang “membumi”. Saya membicarakan proyek anti-intelektual masif dan terstruktur dari rezim Orde Baru dalam mendikte proses berpikir dan pengolahan imajinasi masyarakat Indonesia.
Mulai dari kumpulan pujangga yang hilang ditelan bumi, hingga pementasan seni—seperti tari Lengger dan Sandur—yang mendapatkan represi aparat karena dianggap menyebarkan ideologi komunis. Orde Baru tidak hanya menghilangkan kesempatan berjuta-juta masyarakat Indonesia dalam berkarya dan memberikan gagasan alternatif, namun juga secara aktif hanya mendorong karya-karya yang telah lulus sensor, atau bahkan, dibiayai langsung oleh rezim. Alhasil, era tersebut lebih banyak menghasilkan karya yang sifatnya memisahkan diri dari realitas sosial, atau berwujud layaknya komunikasi satu arah dari pemangku kekuasaan ke masyarakat.
Martin Suryajaya pernah menjelajahi fenomena ini dalam tulisannya yang berjudul Estetika Orde Baru. Martin melihat bahwa bubarnya Lekra dan karya bermuatan kritik sosial politik yang eksplisit, membuka jalan bagi karya-karya abstraksionis yang berfungsi untuk “mengubur setiap pewacanaan estetik tentangnya (menutup kemungkinan bagi pengambilan tema pembantaian ’65 sebagai subject matter karya seni)”. Seniman berubah menjadi sosok yang terpisah dari masyarakat luas, dan karya-karya mereka jadi sesuatu yang posisinya seakan lebih luhur dan sublime dari kemampuan “berpikir” masyarakat umum.
Adapun seniman yang mencoba keluar dari cordon sanitaire ini harus mendapatkan karya-karyanya tidak laku, serta minimnya tempat yang sudi menampilkan karya mereka. Meski begitu, tetap ada karya-karya seni kontroversial yang berhasil keluar, seperti karya lukis Semsar Siahaan berjudul Manubilis (Manusia-Siluman-Iblis) yang menggambarkan bobroknya rezim Orde Baru dalam perwujudan manusia buruk rupa. Semsar tidak lolos dari opresi begitu saja, ia juga pernah menjadi korban kekerasan fisik aparat ketika turut ikut berdemonstrasi menolak pembubaran serangkaian media pers yang mengkritik Orba pada 1994. Akibatnya, kakinya menjadi sedikit pincang.
Pun juga, rasanya tidak lengkap jika saya tidak menyebutkan pengejawantahan wujud kontrol pemikiran masyarakat era Orba pada tulisan ini. Masa kepemimpinan Soeharto juga diwarnai oleh sensor dan kontrol ketat pers. Lewat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan pengawasan langsung Departemen Penerangan, pers dan persebaran informasi di Indonesia ditodong habis-habisan untuk hanya menyoroti hal-hal “menyenangkan” saja soal pemerintah.
Ini juga semakin mengekang persebaran karya-karya kritis di masyarakat luas. Pun jika dapat menggelar pertunjukan atau pameran secara gelap-gelapan, gagasan yang hadir tidak dapat didiseminasikan ke khalayak luas.
Dampak dari dekade-dekade yang dipenuhi oleh gelapnya pertukaran gagasan secara terbuka dalam bentuk karya seni—atau bahkan di luar karya seni—dapat kita rasakan dampaknya hingga kini. Ada budaya anti-intelektual yang mengakar kuat di Indonesia. Pelembagaan institusi pendidikan dan kebudayaan yang terjadi di Era Orba berdampak pada evolusi sosial dan politik Indonesia. Reformasi tak semena-mena mengubah semua itu, institusi yang ada tetap mewariskan cara pikir yang lahir dan didikte di bawah rezim Soeharto.
Hal ini membuka pertanyaan, apakah reformasi dapat benar-benar dipenuhi di Indonesia?
Menanam dan Merawat Imajinasi
Sekiranya saya perlu mensyukuri bahwa kini sudah mulai banyak perkembangan perihal pendekatan yang ada dalam memahami dampak dan pelajaran yang dapat diambil dari pembantaian massal ‘65. Seperti kawan-kawan dari Agrarian Resource Center (ARC) yang menganalisa tragedi tersebut melalui dampaknya pada perubahan agraria yang terjadi di Padang Halaban (yang mana tulisan ini juga terinspirasi dari salah satu penelitinya), para penggiat seni tradisional yang mencoba mengedukasi generasi mendatang akan kearifan lokal yang nyaris hilang akibat intervensi pemerintah Orba, dan kawan-kawan lainnya yang menguliti genosida ini lebih dari kekerasan fisik. Tidak terkecuali, juga kehadiran berbagai komunitas, seperti Paduan Suara Dialita yang terus merawat memori kita akan kelamnya sejarah bangsa ini sambil terus menyuarakan harapan akan masa depan di mana “kabut putih nan tebal” akan menipis untuk menunjukan kita “cahaya”.
Meski begitu, sulit menghilangkan rasa pesimisme ketika kita harus dibentur realita politik Indonesia yang terlihat suram, atau menemukan banyaknya sentimen anti-intelektual yang hadir di media sosial. Ruang-ruang diskusi sehat semakin tergerus.
Saya kira saya lemah jika harus mengalah pada pesimisme. Bangsa ini memang punya trauma luar biasa yang dampaknya memengaruhi kehidupan kita hingga kini. Imajinasi kita juga memang sempat dibunuh selama berpuluh-puluh tahun. Sulit juga sebenarnya untuk bilang bahwa kemampuan kita berimajinasi di luar cengkraman hantu-hantu Orba sudah mulai tumbuh kembali. Namun, saya jadi tersenyum haru setiap melihat ibu-ibu Paduan Suara Dialita. Mungkin benar bahwa kita sudah kehilangan banyak—terlalu banyak malah. Tetapi dengan kehadiran mereka, Dialita seakan menegaskan kembali bahwa suara dan ide tidak dapat dibunuh begitu saja. Meski hilang dan dikubur, suatu waktu ia dapat muncul bagai gulma yang akarnya menyempil di tiap-tiap retak trotoar, menolak untuk mati meski dicabut berkali-kali.
Setidaknya akan saya jadikan mantra harian untuk menenangkan hati, “‘cahaya’ itu tetap ada selama kita masih bersuara.”
—
P.S. Tulisan ini didedikasikan untuk Paduan Suara Dialita dan “S” yang—selain membantu saya menyusun tulisan ini—keluarganya menjadi penyintas pembantaian di dekade 60-an, serta mereka-mereka yang terdampak pembantaian massal pasca G30S.