Bagaimana Kita Menyikapi Kementerian Kebudayaan?
Dalam submisi Open Column kali ini, Chabib Duta Hapsoro memakai kacamata kritisnya untuk membantu kita berkenalan dengan Kementerian Kebudayaan, serta memperingatkan apa yang bisa diharapkan oleh para pelaku seni dalam berdinamika dengan Kementerian baru ini.
Words by Whiteboard Journal
Pada Minggu 20 Oktober lalu, selain menyaksikan pelantikan presiden dan wakil presiden yang baru, kita melihat Prabowo Subianto, sang presiden terpilih, melantik jajaran Menteri dan para wakilnya. Satu hal yang menarik perhatian adalah kemunculan Kementerian Kebudayaan. Kementerian ini menjadi salah satu institusi yang kini terpisah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Ini seharusnya menjadi kabar menggembirakan bagi para pelaku seni, karena kini nomenklatur kebudayaan menjadi otonom dalam satu kementerian. Ia tidak lagi tergabung dalam organisasi yang gemuk sehingga dapat memiliki otonomi kebijakan dan mengelola anggaran secara lebih efektif. Selain itu kebudayaan menjadi entitas tersendiri yang tidak lagi melekat dengan ekonomi kreatif. Ini merupakan kemajuan yang berarti karena sejatinya kebudayaan dan ekonomi kreatif memiliki objektif yang berbeda. Mencampuradukkan keduanya membatasi tujuan pengembangan kebudayaan yang menyasar kepada pembangunan manusia dengan dampak yang bersifat takbenda dan dicapai dalam proyeksi jangka panjang. Ekonomi kreatif, di sisi lain, memang terlihat mendorong pemajuan kebudayaan. Namun ia dilandasi tujuan untuk mencapai dampak ekonomi dalam waktu cepat.
Adalah Fadli Zon yang ditunjuk sebagai Menteri Kebudayaan itu. Sosok ini memang punya rekam jejak aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kebudayaan, selain dalam beberapa periode ia menjadi politisi di parlemen. Beberapa saat setelah ia dilantik ia berpidato dan menyampaikan beberapa visinya tentang kebudayaan Indonesia. Menurutnya, Republik Indonesia dianugerahi kekayaan budaya yang luar biasa besar. Ia misalnya menyebut penemuan-penemuan manusia purba di Indonesia dan lukisan purba di Goa Leang-leang, Maros. Dalam pidatonya, ia menyatakan sudah saatnya kita memberi perhatian pada produksi pengetahuan pada peninggalan-peninggalan itu. Lantas ia menegaskan proyeksinya, bahwa Indonesia akan menjadi “ibu kota kebudayaan dunia.” Berdasarkan pernyataan Fadli Zon, kita dapat memprediksi bahwa fokus besar pembangunan kebudayaan Indonesia ke depan adalah “menoleh” pada kebesaran bangsa di masa lalu. Proyeksi ini mungkin terlihat bagus, namun sebenarnya bukanlah hal baru. Rezim Orde Baru telah mengimplementasikan proyeksi serupa dengan menginvestasikan banyak dana untuk proyek-proyek arkeologi dan restorasi-restorasi candi.
Hal menarik lain adalah ditunjuknya Giring Ganesha sebagai Wakil Menteri Kebudayaan. Meskipun ia punya latar belakang sebagai penyanyi, yang mungkin membuatnya punya wawasan terhadap seni populer, kita perlu tetap sangsi dan skeptis karena penunjukannya sarat akan politik transaksional.
Apakah keduanya berikut visi dan proyeksi mereka cukup tepat sasaran dalam memayungi seluruh spektrum pengembangan kebudayaan di Indonesia? Bagaimana visi itu dapat diselaraskan dengan capaian-capaian pengembangan kebudayaan pada rezim sebelumnya? Dan apakah sang Menteri telah memiliki cukup wawasan dalam melihat problem-problem kebudayaan di Indonesia?
Progresifnya UU Pemajuan Kebudayaan
Atas banyak dampak buruk yang diakibatkan oleh rezim Joko Widodo, seperti makin lebarnya ketimpangan ekonomi, kehancuran lingkungan, tertindasnya kelas pekerja dan lain-lain, ada satu hal positif yang perlu diapresiasi. Ia adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini secara konstitusional memberi mandat kepada negara untuk berperan aktif dalam kebudayaan. Koalisi Seni Indonesia adalah organisasi non-pemerintah yang getol mengadvokasi disahkannya UU ini sejak 2014 setelah sangat lama hanya menjadi wacana. Koalisi Seni, yang bermitra dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, aktif dalam mengadakan sejumlah kajian untuk melahirkan naskah akademik, menyelenggarakan diskusi publik untuk menampung tanggapan dari para pelaku seni dan pemangku kebudayaan. Rancangan UU ini pun berhasil masuk sebagai agenda pembahasaan di DPR dan akhirnya disahkan pada 27 April 2017.
Dengan dinamai Pemajuan Kebudayaan, ada dimensi progresif dari UU ini yang cukup ekstrem menandai perbedaan peran negara dalam kebudayaan sebelum dan sesudah UU ini disahkan. Yang pertama adalah kewajiban negara untuk melindungi segala bentuk ekspresi seni. Hal ini diharapkan tidak mengulangi sensor terhadap ekspresi seni, baik dari negara maupun kelompok-kelompok masyarakat. Sebelum disahkannya UU ini, seniman berada pada posisi yang rentan karena tidak memiliki payung hukum untuk membela ekspresi seninya. UU ini juga mengatur bagaimana aparat penegak hukum harus bersikap dengan turut melindungi ekspresi seni, tidak seperti sebelum-sebelumnya yang cenderung membela para penyensor dan represor seniman dengan dalih “menertibkan situasi.”
Yang kedua adalah negara tidak hanya berkewajiban melindungi ekspresi seni, melainkan juga memajukannya. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan Dana Abadi Kebudayaan yang mewajibkan negara untuk menghimpun dana publik, di luar APBN dan APBD, untuk disalurkan kepada beberapa jalur pemanfaatan yang dapat diakses oleh para pemangku kepentingan dan pelaku seni secara luas. Implementasi Dana Abadi Kebudayaan ini hadir melalui Dana Indonesiana, portal satu pintu bagi siapa saja yang ingin mengakses dana untuk beberapa macam pemanfaatan, seperti restorasi cagar budaya, pengkajian-dokumentasi objek kebudayaan, inovasi seni, dan peningkatan kapasitas pelaku seni.
Pasca diresmikannya akses publik pada Dana Abadi Kebudayaan, kita melihat banyaknya festival, pameran, karya seni yang telah terselenggara dan tercipta selama lima tahun terakhir. Dengan mendistribusikan dana publik, negara pada akhirnya memfasilitasi produksi seni secara lebih nyata dibandingkan rezim-rezim sebelumnya. Produksi seni pun tidak hanya terpusat di Pulau Jawa, melainkan mulai merata di daerah-daerah dan pulau-pulau lain, dengan otonomi penuh dari para pelaku seni dan para pemangku kebijakan di setiap daerah itu. Dengan UU ini dan implementasinya, negara berarti tidak lagi menjadi pihak yang menguasai aspek kebijakan, produksi, dan apresiasi seni. Penguasa pun, dengan berlindung di balik institusi negara, tidak lagi berwenang penuh pada distribusi sumber daya untuk produksi seni demi melindungi dan mengekspansi kekuasaan mereka.
Untuk lebih menandai besarnya dampak kebijakan ini kita perlu membandingkannya dengan bagaimana produksi seni dikelola pada masa Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru yang memuja kestabilan, memanfaatkan kebijakan kebudayaan sebagai alat untuk membuat warga patuh dan submisif. Kebijakan kebudayaan lantas dipakai oleh penguasa, yang menempatkan diri sebagai sosok “bapak” yang memiliki panggilan moral untuk memberi tahu warganya secara paternalistik tentang bagaimana cara menjadi warga negara yang baik dan berguna untuk Pembangunan.
Pendanaan seni pada masa ini sangat sedikit yang kebanyakan terwujud sebagai dana untuk mengkomisi seniman untuk menciptakan karya-karya elemen estetik dan monumen di ruang publik demi mempropagandakan identitas nasional. Dengan ini, dana kebudayaan dibatasi dan dikontrol sehingga hanya mengalir kepada lingkaran-lingkaran seniman yang terbatas. Dengan ini pula ekspresi seni dapat dikontrol. Yang mendapat dukungan dari negara adalah seni-seni yang baik dan “resmi” menurut definisi kekuasaan. Berdasarkan hal itu pula kekuasaan pun bisa mengabaikan, menyensor seni-seni yang tidak sesuai dengan definisi itu, dan merepresi seniman-senimannya.
Dalam konteks seni tradisi, rezim Orde Baru nampak seolah mendukung seni-seni tradisi. Namun kenyataannya tidak. Seni-seni pertunjukan tradisi hanya menjadi seremonial acara-acara kenegaraan dan harus menyesuaikan norma-norma kepantasan yang ditetapkan penguasa. Selain itu, ada banyak prosedur birokrasi dan perizinan yang mencekik kebebasan berekspresi para pelaku seni pertunjukan tradisional. Maka dari itu, seni tradisional hanya hidup sebagai token identitas nasional, tapi tercerabut dari fungsi emansipasi dan politisnya.
Emansipasi memang sengaja dihalangi oleh penguasa dalam paradigma depolitisasi kebudayaan.
UU Pemajuan Kebudayaan memiliki wawasan yang sangat bertolak belakang dengan implementasi-implementasi kebijakan kebudayaan pada masa Orde Baru itu. UU Pemajuan Kebudayaan berlandaskan pada sebuah kepercayaan bahwa kebudayaan dapat mengemansipasi warga tanpa ada lagi paternalisasi dari penguasa. Maka dari itu, sudah sepantasnya jika pelaksanaan dan capaian-capaiannya dipertahankan oleh Kementerian Kebudayaan. Selain itu, bagaimanapun masih banyak hal yang perlu dievaluasi dari pelaksanaan UU ini. Misalnya, Koalisi Seni telah mencatat bagaimana ekspresi seni masih acapkali kena sensor atau represi. Di samping itu, penerima-penerima manfaat dari Dana Indonesiana masih dibelit dengan kerumitan birokrasi.
Stop berharap pada sosok, fokus pada pengawasan kebijakan
Dalam setidaknya dua tahun terakhir, banyak intelektual dan pelaku seni telah belajar banyak untuk bersikap skeptis dan sangat kritis kepada kebijakan pemerintah. Ini terjadi karena kekuasaan rezim Joko Widodo telah menyelewengkan harapan dan amanat kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjaga marwah hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. Kita telah belajar bagaimana pengkultusan pada sosok berpotensi besar pada kekecewaan. Meskipun kita melihat ada beberapa sosok progresif dalam elit kebudayaan yang mampu melaksanakan amanat UU Pemajuan Kebudayaan selama sepuluh tahun terakhir, marilah kita percaya bahwa mereka tidak akan lagi dilibatkan pada posisi-posisi strategis dalam Kementerian Kebudayaan hingga lima tahun ke depan.
Maka dari itu, para pelaku seni dan pemangku kebudayaan sudah seharusnya bersiap dan berkonsolidasi untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan pemajuan kebudayaan di bawah kementerian yang baru. Kita harus mengingat bahwa “bulan madu” kebudayaan yang dinikmati oleh para pelaku seni selama lima tahun terakhir bukanlah rezeki cuma-cuma yang jatuh dari langit.