Refleksi 17-an dari Kelas Menengah
Dalam submisi Open Column kali ini, Aloysius Efraim Leonard merenungkan nasionalisme dari kacamata kelas menengah, sembari menyoroti pentingnya aksi kolektif untuk mengubah status quo dan memprotes kebijakan pemerintah yang merugikan.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan, sering ada kebanggaan yang hilang ketika mendengar ‘Indonesia’.
Teringat sembilan tahun yang lalu, ketika saya meninggalkan negara untuk waktu yang lama sekali, saya teringat kata-kata yang disampaikan sebelum berangkat: Indonesia tidak sempurna, tapi kita bisa berkontribusi untuk mengubahnya. Naif, saya merasa mudah dan mungkin untuk mengubah negara ini. Berpartisipasi, melakukan apa yang jadi tugas saya sebagai warga negara muda: belajar sebaik mungkin, dapatkan ilmu dari luar, gunakannya untuk membangun negeri, dan memilih saat diberi kesempatan.
Lima tahun yang lalu, saya sangat percaya pada perubahan. Demi meletakkan paku di foto beliau yang akan dipajang di semua kelas di penjuru negeri, saya rela menghabiskan puluhan Euro untuk berkunjung ke konsulat jenderal terdekat, menghabiskan waktu di perjalanan, mengantri kedinginan di tengah bulan April, bertemu dengan saudara sebangsa lainnya. Lalu kepercayaan itu runtuh dan berubah menjadi amarah.
Rasanya seperti dikhianati ketika tahu mereka yang awalnya bermusuhan, ternyata saling berkawan. Ternyata semua orang sama-sama saling berjanji di bawah meja demi keuntungan diri. Kemudian pagebluk menyerang dan banyak kebijakan yang dikeluarkan tidak masuk dalam nalar. Ujung-ujungnya, yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin.
Saya terlahir di keluarga pekerja kelas menengah yang berhasil ‘naik kelas’ menjadi menengah ke atas. Dahulu, saya bisa melihat bagaimana orang tua saya bekerja tanpa henti pagi sampai malam, berjuang untuk membeli rumah, membiayai kami di sekolah, memberikan uang bulanan bagi nenek. Saya melihat bagaimana dengan kerja keras tersebut, orang tua saya bisa perlahan-lahan hidup dengan lebih nyaman. Hari ini, keluarga kelas menengah lebih mungkin menjadi miskin dibandingkan jadi kaya. Generasi saya tidak bisa membeli rumah dan kami yang disalahkan karena terlalu sering membeli kopi–bukan karena kebijakan yang membolehkan pengusaha menimbun properti.
Tapi, yang saya tidak mengerti: kenapa rasanya saya marah sendiri? Kenapa orang lain tidak sama marahnya dengan saya, dengan begitu banyaknya kegilaan yang dilakukan oleh pemerintah? Kenapa sampai hari ini, tidak ada perubahan dan sepertinya untuk lima sepuluh tahun ke depan, kita terjebak di sini? Bukankah semua orang mengalami apa yang saya lihat? Apa saya terperangkap dalam algoritma saya sendiri, baik di dalam jaringan maupun di luar jaringan? Ternyata, tidak. Sebuah survei terbaru dari Kawula17 menunjukkan bahwa mayoritas orang muda Indonesia ternyata memang merasa puas dengan pemerintahan yang ada.
Bagi saya, kenyataan ini sulit diterima: di depan mata sendiri, saya bisa melihat betapa banyaknya orang yang kesulitan cari kerja, atau kalau pun bekerja, kualitas hidupnya belum tentu terjamin: gaji yang rendah, perlindungan yang nyaris tiada. Polusi di luar sana begitu pekat, pulang-pulang semua orang pasti batuk. Setiap naik transportasi umum, kita harus berdesak-desakan dan was-was agar tidak ada pelecehan. Masa iya, realita yang saya lihat berbeda dengan orang lain?
Ada dua hipotesis saya. Pertama, orang-orang sebenarnya sadar, namun mereka memilih untuk tidak peduli. Apalagi, mereka masih harus memikirkan beratnya kehidupan di hari esok. Kenapa harus menambah lagi beban pikiran? Kedua, bagi mereka yang sudah peduli mereka tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ingin protes, rasanya tidak didengar juga–tidak pernah ada jembatan yang bisa menghubungkan orang biasa dengan mereka yang membuat keputusan. Yang tersisa pun keputusasaan.
Tapi, mengapa mereka bisa tetap menerima keadaan? Kadang, saya berpikir mungkin budaya juga yang mempengaruhinya. Termasuk di keluarga saya, kami selalu diajarkan untuk bersyukur dengan apa yang dimiliki. Dengan bersyukur, kita bisa merasa ‘kaya’ di tengah ketidakadaan. Melepaskan diri dari budaya ini yang akan menjadi tantangan yang berat.
Saat ini, realita masyarakat Indonesia perlu didobrak, sambil ditumbuhkan optimisme bahwa perubahan itu mungkin. Perubahan yang diperlukan bukanlah yang dibawa oleh politisi, tetapi didorong oleh masyarakat itu sendiri.
Penelitian dari Erica Chenoweth, seorang peneliti politik dari Harvard, menyatakan bahwa jika 3.5% populasi negara (dalam kasus Indonesia, sekitar 10 juta) bergerak dalam aksi damai, maka perubahan sistemik bisa terjadi. Kelas menengah bisa menjadi kunci dari perubahan ini. Data dari Susenas dan Bank Dunia di tahun 2019 menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 5 orang Indonesia masuk ke dalam klasifikasi kelas menengah: ada total 52 juta orang yang bisa saja bergerak untuk mendorong perubahan ini.
Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia, bilang bahwa kelas menengah merupakan professional complainer: orang yang senang protes, terutama terhadap hal yang membuat mereka tidak nyaman. Kelas menengah juga sebenarnya memiliki waktu, pendidikan dan uang yang bisa digunakan untuk melakukan protes ini. Contoh saja kebijakan TAPERA (tabungan perumahan rakyat), bea cukai dan kebijakan UKT. Salah satunya karena suara kelas menengah yang begitu keras di media sosial, beberapa kebijakan ini pun dihentikan sementara.
Sayangnya, sampai hari ini belum ada yang berhasil menggerakkan kelas menengah. Mungkin, di saat yang bersamaan, kelas menengah juga memiliki pola pikir yang sama dengan apa yang saya punya dahulu: belajar sebaik mungkin, dapatkan ilmu, gunakannya untuk membangun negeri, dan memilih saat diberi kesempatan. Pendekatan yang individualis, ketika gerakan kolektif lah yang kita butuhkan saat ini.
Namun, langkah tersebut tetap harus dibuat. Kita bisa memulainya dengan membuat kata ‘aktivisme’ dan ‘gerak bersama’ menjadi sesuatu yang dekat dengan kelas menengah. Pertama, kita harus dorong rasa penasaran mereka dengan mengajak mereka bertanya, ‘kenapa harus peduli’ terhadap suatu isu. Kedua, kita perlu memenuhi kenyamanan mereka dengan memberikan informasi lengkap yang mudah diakses dengan bahasa yang mudah dimengerti. Ketiga, kita ajak mereka untuk bertemu dengan sesama kelas menengah lainnya yang juga peduli. Semakin mereka sadar bahwa mereka tidak sendiri, semakin mungkin solidaritas itu terbentuk. Dengan tiga langkah ini, kita bisa pelan-pelan mendorong kelas menengah untuk menjadi agen perubahan, menuju demokrasi yang lebih bijak.
Tujuh puluh sembilan tahun sudah Indonesia merdeka dari jajahan. Tapi apalah merdeka tanpa kebebasan? Kebebasan dari rasa marah terhadap pemerintah yang selalu berjalan tanpa arah yang kita perlukan. Kebebasan untuk hidup dengan nyaman. Kebebasan untuk merasa bangga terhadap Indonesia, bukan karena dipaksa, tapi karena memang ada hal yang bisa dibanggakan.
“Hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Begitu juga dengan pergerakan rakyat. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan.” – Mohammad Hatta