Mengingat Joko Pinurbo, Merayakan Kesedihan, Memperingati Kesederhanaan
Dalam submisi Open Column ini, Dinar Maharani Hasnadi mengenang puisi-puisi Joko Pinurbo sekaligus menyentuh bagaimana perasaan dalam menulis memiliki bobot yang lebih nyata ketimbang diksi yang sulit, dan mengingatkan kita juga akan nilai terapeutik yang terkandung dalam menulis secara ekspresif.
Words by Whiteboard Journal
Joko Pinurbo berpulang karena sakit paru kronis pada akhir April 2024.
Tiga bulan setelahnya, saya kembali menyusuri jejak-jejak aksara Joko Pinurbo. Sang Lurah Puisi telah mewariskan gaya khas dalam dunia puisi Indonesia melalui bait-bait yang singkat, tema sehari-hari yang menohok, serta diksi yang sederhana, tetapi dimainkan dengan penuh perasaan. Puisi-puisinya tentang kesedihan, khususnya, menyisakan optimisme yang menghangatkan dalam benak. Joko Pinurbo pernah menulis, “kebahagiaan saya terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka”. Di lain karya, ia mensyairkan, “kesedihan bisa digunakan untuk menggarisbawahi kebahagiaan”.
Baris-baris ini berbisik bahwa kesedihan bukanlah perasaan yang mutlak. Kesedihan bisa mekar menjadi kebahagiaan yang lebih besar. Bahkan, mungkin, seperti kata Joko Pinurbo, tidak ada kebahagiaan tanpa kesedihan yang menerjang terlebih dahulu.
Adalah sebuah misteri, sebenarnya, bahwa kebanyakan seniman, khususnya penyair, menulis tentang kesedihan. Padahal, banyak peneliti, seperti Zelenski dan Larsen (2000), mengungkapkan bahwa kesenangan dan kepuasan adalah emosi yang paling sering dirasakan oleh manusia dalam kesehariannya. Kenyataan ini membuat penyair seolah pengecualian psikologis, anomali dalam gerombolan manusia lainnya.
Memang, tidak semua orang yang patah hati akan ujug-ujug jadi penulis puisi. Namun, agaknya tidak berlebih-lebihan juga untuk berkata bahwa sebagian besar penyair adalah konstruksi kesedihan dan patah hati. Sebuah fakta mengejutkan: rasa sedih sebetulnya dapat meningkatkan daya pikir, konsentrasi, dan daya ingat, serta dapat membetulkan bias kognitif yang tertanam kuat (Cain, 2022). Inilah faktor utama yang menyebabkan banyak orang cenderung menyibukkan diri setelah menjalani pengalaman yang kurang mengenakkan, atau bahkan bila sudah terjorok ke dalam taraf traumatis.
Nyatanya, menulis merupakan kegiatan yang tidak hanya ramah bagi dompet, tetapi juga mengentengkan beban jiwa. Dewasa ini, bahkan, kegiatan menulis untuk menuangkan perasaan (expressive writing) mulai ramai digandrungi. Makin banyak orang yang menekuni kegiatan journaling, yaitu menuangkan perasaan dan gagasan ke dalam buku—menyerupai buku harian—untuk memahaminya secara lebih jelas. Curahan-curahan hati di media sosial juga sejatinya merupakan bentuk expressive writing dalam wujud yang lebih modern.
Menulis bahkan telah menjadi salah satu metode untuk melakukan pengobatan luka psikologis. Melalui terapi menulis, individu dapat mencurahkan traumanya tanpa perlu berinteraksi secara lisan dengan terapis, sehingga ia memiliki lebih banyak kelapangan untuk menarik napas sejenak dan memahami perasaannya sendiri (Ruini dan Mortara, 2022).
Hal lain yang agaknya wajib hukumnya dimiliki seorang penyair adalah kemampuan untuk menyihir tema yang sekiranya sepele menjadi karya yang agung.
Ironisnya, tradisi merayakan kesedihan melalui puisi seolah telah menjadi ajang berlomba-berlomba atas siapa yang memiliki kesedihan paling dalam dan siapa yang dapat mengungkapkannya dengan cara yang paling belibet. Banyak orang yang sering merasa minder dengan hasil karyanya sendiri karena, misalnya, tidak memiliki pembendaharaan kosakata yang luas atau tidak sanggup menciptakan kesan yang mendobrak kelenjar air mata pembaca. Saya sering—bahkan mungkin sudah terlalu sering—melihat konten media sosial yang memberi wejangan bahwa penggunaan diksi rumit setinggi langit adalah kunci menghasilkan puisi yang mendebarkan. Padahal, diksi sederhana, jika berhasil digunakan dalam konteks yang menyayat hati, tentunya dapat menghasilkan efek sama—bahkan mungkin lebih dahsyat daripada puisi yang menggunakan kata-kata rumit.
Tentu, tidak ada salahnya jika seorang penyair gemar menggelontorkan “arunika”, “niskala”, “candramawa”, dan deretan kata-kata yang asing bagi telinga orang biasa. Namun, puisi adalah karya yang semestinya lahir dari hati. Tidak ada gunanya jika penulis memamerkan kosakata yang ia punya hanya demi terlihat pintar dan rajin membaca, padahal sang pembaca sama sekali tidak dapat merasakan kesakitan dan rintihan patah hati yang berusaha disampaikan. Hal lain yang agaknya wajib hukumnya dimiliki seorang penyair adalah kemampuan untuk menyihir tema yang sekiranya sepele menjadi karya yang agung.
Joko Pinurbo rupanya berhasil memenuhi segala kriteria ini: misal saja, ia menggubah puisi bertema celana untuk melukiskan anekdot menggelitik (sekaligus memprihatinkan) tentang seorang anak yang kehilangan ibunya. Ia juga menciptakan syair tentang kamus, ponsel, dan kaleng biskuit Khong Guan. Barang-barang ini, dalam sorot mata orang biasa, adalah sepele dan tidak layak diabadikan dalam karya. Namun, Joko Pinurbo—dengan segala religiusitasnya dalam berseni melalui kata—menggunakan mereka sebagai batu loncatan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang kerap luput dari mata manusia, tetapi tetap ada. Puisi-puisi Joko Pinurbo yang singkat dan tidak bertele-tele itu, apalagi jika ditilik dari ketebalan bukunya yang juga tidak agung-agung amat, rupanya meningkatkan kepekaan manusiawi dalam diri, senantiasa mengembalikan kita pada apa yang nyata dan perlu perhatian kita.
Jika teringat pada analogi-analogi yang pernah digunakan Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya, saya juga sering merasa kosong. Tidak hanya barang-barang yang jadi menu wajib para penyair kontemporer—seperti hujan, kopi, dan rokok—Joko Pinurbo dalam kesederhanaannya menemukan kesedihan dalam setiap sudut kota dan merayakannya. Juara satu puisi Joko Pinurbo kesukaan saya jatuh kepada “Pada Matanya” (2012): “Pada matanya / aku melihat kerlap-kerlip / cahaya lampu kota kecil / seperti bisikan hati / yang lembut memanggil”. Dengan menggunakan analogi sebuah lampu kota, yang seharusnya menyilaukan dan nyelekit di mata, Joko Pinurbo menggambarkan cinta yang mewah dalam diksi yang tidak muluk-muluk. Pembaca diajak mengintip ke dalam mata muse-nya untuk melihat kerlap-kerlip lampu, lalu mendengar bisikan yang lembut memanggil: sebuah persandingan dua indra yang melengkapi satu sama lain.
Seperti banyak penyair lain, yang menggubah pertama-tama dari apa yang terjadi di sekelilingnya, Joko Pinurbo juga kerap mengangkat kisah-kisah mengenai kehidupan Yogyakarta dan Kristenitas. Salah satu puisi anekdotalnya adalah “Celana Ibu” (2004) yang mengisahkan Maria yang pontang-panting lari ke Bukit Golgota untuk memberi anaknya, Yesus, sepotong celana. Permainan kata di puisi ini memang lucu. Meski demikian, ketika kita mengingat duka Maria di bawah kayu salib, tersimpan kesedihan yang jelas dalam puisi “Celana Ibu” ini. Dengan demikian, dalam tafsiran Joko Pinurbo, kesedihan bukan sekadar sesuatu yang hadir dalam interaksi antarmanusia, tetapi juga dalam hubungan yang lebih mulia dalam konteks keagamaan dan penerimaan diri.
Suatu keindahan dalam dunia persajakan adalah ciri-ciri universal dalam diri tiap penyair.
Toh, tidak ada asap jika tidak ada api. Walaupun setiap penulis memiliki gaya dan warna berbahasanya sendiri, puisi lahir sebagai upaya mencurahkan pengalaman, baik yang menyakitkan maupun tidak. Hal inilah merupakan kesamaan yang umum ditemukan, sebagaimana Mahmoud Darwish menulis untuk mewakili jeritan rakyatnya yang ditindas di bawah penjajahan Israel, William Butler Yeats menulis puisi setelah cintanya ditolak, Pramoedya Ananta Toer mendapat tekad untuk menulis Perburuan (1950) setelah sakit hati dimaki “pribumi bodoh” oleh serdadu Jepang di jalan raya Jakarta, dan Eric Clapton menulis “Tears in Heaven” untuk putranya, Conor, yang tewas akibat kecelakaan.
Ada perbedaan, ada kesamaan. Segala pola ini mendatangkan kenikmatan sendiri saat mengkaji karya sastra. Terlepas dari gaya bahasa, Joko Pinurbo mengajarkan saya bahwa kesedihan itu perlu, wajar, dan patut dirayakan. Kesedihan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Mungkin, justru manusia disebut manusia dengan kesedihan dan segala tetek bengeknya. Maka, ocehan orang yang berkata bahwa karya sastra seperti puisi adalah luapan perasaan yang terlalu berlebihan agaknya tidak perlu digubris. Menjadi perasa, nyatanya, tidak selalu buruk. Melalui puisi, manusia diajarkan untuk melaksanakan PR terpenting sekaligus tersulitnya, yaitu merasakan sepenuh hati. Kira-kira begitu amanat Joko Pinurbo, sebagaimana diungkapkan dalam salah satu judul karyanya: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.