W_LIST: Best Local Music of 2024 So Far
Lagu-lagu lokal terbaik dari paruh pertama 2024 pilihan tim Whiteboard Journal.
Words by Whiteboard Journal
Tahun lalu, sebagai warga, kita berpikir bahwa we reached the lowest pit and the only way is up. Surprise-surprise, enam bulan pertama tahun 2024 jatohnya banyak yang lebih blangsak dari tahun lalu. Dan tampaknya mendung ini masih belum akan segera berlalu di masa-masa yang akan datang.
Dan lagi-lagi, one of the few ways for us to stay sane is through music. Berikut adalah beberapa di antaranya yang membantu kami dalam mengarungi rasa marah-sedih-mencari harapan di antara keseharian yang semakin runyam. Selamat mendengarkan!
Oiya, daftar ini disusun in no particular order.
Texpack – “Ode to an Old Man”
Texpack hanya butuh dua menit untuk menghidupkan kebiasaan kita untuk mengulang-ulang lagu yang enak. Sebuah nomor indie rock yang pelan, namun tetap liar yang meninggalkan kebiasaan komposisi lagu tradisional verse-chorus-verse, tapi tetap terdengar pop, catchy, dan santai. Baru saja otak ini me-register dan memutuskan kalau “Ode to an Old Man” adalah sebuah lagu yang bagus, lagu pun selesai. Akibatnya? Mari kita ulang lagi, untuk yang kesekian kalinya. [RS]
Bernadya – “Lama-Lama”
Sebagai pekerja yang kadang jam kerjanya tidak menentu (belum lagi side job yang harus menyita waktu), Lagu ini terasa sangat relate. Bagaimana tidak, “kesibukan lain” tersebut menjadi keluhan yang cukup sering diutarakan (maaf sedikit curhat). Meskipun belum sampai membuat pasangan “menyerah”, lagu ini berhasil menyadarkan bahwa jangan sampai hal dalam lagu ini lama-lama kejadian. Terima kasih Bernadya sudah mengingatkan! [RP]
Laleilmanino, Diskoria, Cecil Yang – “Djakarta”
Coba dengarkan lagu ini sambil menutup mata, rasa bahagia pasti akan dirasakan. Bisa terbayang gambaran kota Jakarta di tahun 80–90an. Lagu ini menggambarkan kehidupan di Jakarta yang tidak selalu mudah untuk hidup di kota tersebut. Unsur-unsur Betawi terdengar di beberapa notasi walau dalam instrumen yang lebih modern. [PI]
waduXwaduXwadu – “Komposisi VII”
Who in their rightest of mind plays and sings in 5/8 for the first half and then proceeds to strong-arm the song in 6/8?? The grumpy bass “arguing” with the sassy guitar, brash drums (terutama ketika cymbals konsisten dipukul kencang), hingga vokal yang dinyanyikan se-cryptic liriknya sendiri, rasanya lagu ini seperti theme song ketika keluar dari limbo lintas alam. Am I reading too much into this? [GF]
Xandega – “Iz Da Luve (Sunshine)”
Keputusan bassist Polka Wars untuk going solo mulai menampakkan hilal baik ketika lagu ini dirilis. People really do deserve a second chance. Jika debut singlenya hanya menghasilkan impresi yang so-so, dengan lagu ini ia menampakkan visi musikalnya yang (semoga) jadi parameter menjanjikan bagi rilisan-rilisan berikutnya. [MR]
Project Pop – “Lumpia Vs Bakpia 2024”
Sebagai anak yang dibesarkan dengan lagu-lagu mereka, rasanya senang sekali ketika Project Pop me-remake lagu ini. Lagu ini dengan mudahnya membuka kembali memori masa kecil. Dan pasti, setiap kali memutar lagu ini, refleks untuk mencari lagu-lagu lain di zamannya. Karena sayang sekali jika memori masa kecil seperti ini tidak dirayakan lebih lama. [RP]
Low Pink – “Burn”
Setelah hiatus cukup lama, ia kembali dengan berbekal auto-tune. Tanpa menyebutkan contohnya, banyak lagu yang menjadi hilarious dan terasa begitu artifisial dengan auto-tune. Tapi bagi Low Pink, hal ini justru menjadi rediscovery dan titik balik yang menggugah bagi diskografinya. [MR]
Hardik – “Hold The Fort”
Hardik adalah yang akan didapatkan bila sebuah band punk/hc memasukkan unsur psikedelia ke dalam musiknya. “Hold The Fort” juga adalah lagu yang tepat bila Anda baru saja berkenalan dengan band asal Tasikmalaya ini. Singkat, padat, tanpa basa-basi. Sound gitar twangy mengiringi vokal shouting yang banjir reverb dan delay membuat Hardik menjadi menarik untuk disimak. Bila saja Anda mulai letih dengan penyikapan puritan hc/punk yang kebakaran jenggot bila ada band hc yang mencoba sesuatu yang berbeda, maka silakan dengarkan Hardik. [RS]
Morgue Vanguard – “Membebaskan Hujan dari Tirani Puisi”
Bila benar nalar premis “the saddest people laugh most,” maka harusnya benar juga proposisi ini; “the angriest people love the most.” Dan yang membuat tesis ini sahih dan susah didebat, adalah lagu ini (lagian serem nggak sih debat sama Mas Ucok?). Tapi, layaknya semua lagu yang ada jejak kerongkongan Morgue Vanguard, selalu ada semangat liberation di dalamnya—lihat saja judulnya. Tapi di balik itu, kita seperti diajak berjalan-jalan dalam mesin waktu di jejak kehidupan paling personal Ucok dengan istri dan keluarganya. Semua dibawakan dengan apa adanya, tapi soal mengena, aduh jangan ditanya. Pidibaiq could never. Extra props buat Vladvamp yang membantu dalam hal komposisi yang jadi kanvas untuk lagu indah ini. [MH]
t o d – “Sigere’”
Musik folk kembali pada fitrahnya dengan lagu ini. Meski kental bernafaskan musik elektronik, t o d memadukan instrumen yang dekat dengan nadi “rakyat”. Mereka tidak membicarakan kopi atau senja, tapi pengingat bagi sesamanya bahwa ada yang tidak beres di negeri ini. Inilah lagu folk paripurna, baik secara definisi maupun fungsi. [MR]
Allone – “On One’s Pat” / “Someone Who Left Behind”
Maxi-single keluaran Alwan Hilal (you may know him from Reverie, and was also the producer for Brunobauer) ini memang terdengar seperti an honest tribute to his interests, dan kedua lagu ini sama-sama kuat menghidupi mood yang eerily serene and wistful. Cocok kalau suka Uchu Conbini (JP), BrokenTeeth (KR), atau bahkan Hikaru Todo (ID). [GF]
Yoko City Ghost – “Pembawa Cahaya”
Di linimasa, banyak yang membandingkan Yoko City Ghost dengan pembawaan baru The Cottons, tapi only the real one knows kalau The Monophones adalah analogi yang lebih tepat. Dengar bagaimana mereka berani bereksplorasi dalam komposisi lagu ini melalui campuran psikedelia-indie pop-dan sedikit elemen tradisi. Jika beberapa band lain akan cukup puas dengan label retro, dengan approach ini, Yoko City Ghost melampau lebih jauh dan baru pantas dengan label “retrofuturist”. Semoga mereka juga melampaui The Monophones dalam hal usia. [MH]
Puremoon – “Scene” (ft. Ftlframe)
Your longing for a shoegazey emo sprinkled with a generous pinch of DnB is here. Progresi, ramuan suara gitar, hingga pilihan nada memperkuat mood yang tranquil, terlebih karena permainan Ftlframe yang banyak menyisipkan detail subtil (notice that ride hit?). Semua itu turut membangun worldbuilding suatu “Scene” yang akan jelas terbayang ketika kita sama-sama memejamkan mata selama 3 menit 37 detik. [GF]
Irsyad Agni – “Pura Pura Jadi Tuhan”
Bila lagu “Peradaban” karya .Feast menggugah anda untuk mengkritisi pemerintah dengan segala masalahnya, maka seharusnya lagu ini juga akan memberikan dampak yang sama. [RP]
Exhumation – “In Death Vortex”
Satu hal yang saya sukai dari Exhumation, dan khususnya di “In Death Vortex” yang diambil dari album terbaru mereka, adalah cara mereka memaknai dan mendefinisikan Death Metal. Bagi saya lagu ini mengusung makna awal ketika genre ini lahir. Bahwa death metal yang baik adalah mengenai rasa dan hawa. Dan bukan tentang lomba ketangkasan. Riff pembuka merupakan sebuah ajakan perang, dentum drums terdengar primal, vokal sinis bergema. Kita pun akan segera bergidik. [RS]
hara – “Tak Ada Keluarga yang Sempurna”
Jika sosok seperti Rara Sekar (acclaimed singer songwriter, academic, activist, all-around good person) menulis lagu berjudul “Tak Ada Keluarga yang Sempurna”, maka seharusnya konsep keluarga bahagia adalah utopia. Tapi tak apa, dari ketidaksempurnaan itu, banyak hal-hal baik lahir, termasuk lagu ini. Jika dulu air mata susah dibendung setiap kali lagu “Putih”-nya Efek Rumah Kaca diputar, maka menit ke 4:00 lagu ini punya daya ledak yang sama di pelupuk. [MH]
ippo.tsk – “sunny day tomorrow”
Setelah muncul di lagu “Mesmerizer” oleh 32ki, Kasane Teto kini bernyanyi bersama aransemen (dan pukulan snare) khas producer asal Kalimantan Timur ini. Expect dinamika-dinamika emo-leaning dan feel nostalgia terhadap those early internet days yang pekat terasa seiring tuning vokal lifelike nan tepat guna. [GF]
Arumtala – “Masuk Angin”
Sobat jompo? Suka musik jazz? Merapat! Duo perempuan ini mengambil genre yang jauh berbeda dengan apa yang lebih populer dan digemari pendengar. Namun Arumtala berhasil membuat jazz yang terdengar classy menjadi lebih mudah untuk dinikmati. Lirik-lirik yang ringan dari cerita kehidupan sehari-hari. [PI]
Swarm – “Duaenam”
What can three guitars do? Well, making screamo post-hardcore again, if that makes sense. Ia tak hanya bersandar pada satu gitar dengan melodi lirih dan gitar lainnya yang menjadi latar ritmik. Dengan formasi barunya, Swarm mempresentasikan standar berbeda dalam kancah screamo lokal. [MR]
War Fighters – “Evermore”
If drama and urgency were to be described in melodic hardcore. Seluruh personel dari unit asal Surabaya ini pun mengorkestrasikan semua fase storytelling dengan utmost attention to detail (and feelings). Pendengar pun jadi bisa ikut terjerumus dan tergerus ke dalam “Evermore” ini, sampai-sampai mudah untuk turut merasakan drama dan urgensi as intended. [GF]
Cello Scrmr – “NASCI”
Salah satu parameter yang menyenangkan untuk menilai menarik/tidaknya sebuah karya—terlepas dari masalah selera—adalah melalui bagaimana karya tersebut merespon social convention. Buat saya, semakin sebuah karya bisa mendobrak tatanan, biasanya semakin menarik. Cello Scrmr, melalui lagu “NASCI” did exactly that, if not more. Sebagai representasi generasi terkini, Cello menunjukkan bagaimana stigma seperti “nggak fokus”, “all over the place” yang dilabelkan ke teman sepantarannya adalah hal yang justru patut dirayakan rather than menyebalkan. Coba hitung berapa kali genre shift di lagu ini, dan ingat bahwa dia hanya sendiri dalam membuat lagu segila ini. Dan tak hanya itu, lagu ini juga mendobrak social convention lain—kalau nggak salah—juga menjadi bagian dari album kompilasi keren yang datang dari Depok, sebuah kota yang kini lebih dikenal dengan hal-hal absurd dan katro. [MH]
Cosmicburp – “Munafik” (ft. Kanina)
Banyak dikenal karena proyek-proyek yang ia lakukan bersama musisi-musisi ternama, Luthfi Adianto kembali merilis lagu dengan moniker Cosmicburp setelah sekian lama hilang dari peredaran DSP. Dalam comeback-nya kali ini, lagu “Munafik” yang ia tampilkan bersama Kanina kembali menunjukkan kemampuannya untuk menghasilkan lagu tanpa batas dan aturan. Istilah bahasa Jawanya, sak penake dewe sing penting penak. Kalo mendengarkan lagu ini, yang ada malah bertanya-tanya. Lagu hip-hop? Lagu psikedelik? Lagu alternatif? Penyanyi atau rapper? Lagu apa sih ini sebenarnya, kok enak? Tapi menimbang repertoire yang pernah ia tawarkan, nggak heran kalau ia akan menghasilkan lagu seperti ini. In the midst of the rising demand for quality songs, Cosmicburp tidak menghianati sisi yang selalu menjadi miliknya: selera humor. [SK]
Morgensoll – “Colors” (ft. Afnan Hissan, Alysha Nikita)
Single baru dari band post-metal yang sebelumnya merupakan petualang yang membuat kita terbiasa dengan terawang yang memabukkan hingga hantaman mega berat. Kali ini Morgensoll memilih tempo lambat dan cantiknya rasa haru akibat vokal tamu yang tepat. Kadang saya kagum bila band rock yang berdomisili di Jakarta fasih menghasilkan lagu serileks ini. Terlebih dibalik hawa panas, polusi menyesakkan dan hustle and bustle kota ini. Karena “Colors” terdengar seperti dikarang sembari berkontemplasi di sebuah taman sepi yang berudara sejuk menyegarkan. [RS]
Whisperdesire – “Pesan”
Kalau boleh berspekulasi, bisa jadi, kayaknya indie-pop akan jadi gede lagi dalam waktu dekat. Lihat bagaimana The Jansen dengan berani mengambil kelokan tajam dan menambah unsur twee di album barunya. Dan kalau benar ini terjadi, kita punya banyak amunisi bagus, baik dari brand new talents atau new old stock. Whisperdesire—terutama dalam konteks lagu ini—masuk kategori new old stock karena, sebagai band, mereka adalah urban legend yang kembali muncul. Pun secara lagu, “Pesan” adalah lagu lama yang akhirnya dirilis secara resmi. Tapi lupakan statusnya, karena lagu ini terasa segar melalui bagaimana isian drumnya yang menggebu-gebu itu bisa bersanding dengan isian gitarnya yang mengawang-awang itu. Jukstaposisi jarang-jarang terdengar seindah ini. [MH]
Dummel – “WFH (Wickedly Flouting Helplessness)”
Tak ada yang baru di bawah langit semesta, tapi mereka yang bisa melakukannya dengan baik, selalu jadi istimewa. Dummel adalah contohnya. Saat Brexit-core dan egg-punk jadi zeitgeist baru, banyak band kualitas fotokopian muncul dan tebar pesona. Dummel mengambil jalur berbeda, ia keluar saja, tanpa banyak cakap kata, dan membiarkan karyanya yang bersuara. And boy does the song jam. Dengar bagaimana mereka menjahit melodi Mandarin itu ke komposisi yang lebih dekat dengan benua Eropa dengan sangat smooth dan masuk akal. Semoga kita semua masih punya energi untuk mau mencari beyond dari apa yang algoritma kita sajikan. [MH]
Gavendri – “The Party is Over” (ft. Tuan Tigabelas)
Di era terbarunya, Gavendri adalah perwujudan amarah dalam berbagai bias warna. Tak terkecuali dalam lagu yang ia bawakan bersama Tuan Tigabelas ini. Sialnya, masa muda yang serampangan tak bisa bertahan selamanya. Yes, it’s a tough transition. It sucks. But in the end, the everlasting cycle of parties must reach its conclusion. Ironisnya, terlepas dari liriknya yang keras maksimal, lagu ini bereksplorasi dengan suara-suara khas dangdut yang mampu membuat kita bergoyang. Mungkin kalau nggak mendengar liriknya, kita nggak perlu ikut berkabung akan berakhirnya masa muda. Pada akhirnya, realita baru yang terasa lebih berat, bukanlah alasan untuk tak menjalaninya dengan suka cita. [SK]
Sal Priadi – “Gala Bunga Matahari”
Sal menuangkan perasaan kosong dengan penulisan lirik yang simpel namun memiliki makna yang sangat dalam. Sangat mudah untuk dimengerti, membuat lagu ini mendapatkan hati pendengarnya secara cepat. Sangat tepat didengar saat merasakan kerinduan yang mendalam kepada seseorang, namun sudah tidak dapat lagi mengungkapkan rasa itu. [PI]
Aya Anjani – “Dari Awal Pertama”
Tidak seperti “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” milik ERK yang menganggap bahwa jatuh cinta itu tidak perlu lovey dovey. Sedangkan pada lagu ini sangat memperlihatkan sisi anehnya perilaku yang timbul saat jatuh cinta. KYAAA~ Walau terdengar seperti meluapkan amarah, namun lagu tema jatuh cinta terdengar epik. Jauh dari citra Aya Anjani pada lagu-lagu terdahulu. [PI]
Galdive – “Bloom”
Sempat ada keraguan untuk memasukan lagu ini ke dalam list. Seperti meragukan diri ketika ingin memasukkan NIKI atau Rich Brian ke dalam list musik lokal, menimbang perkembangan karir mereka yang lebih bersemi di tanah luar Nusantara. Mendengar track “Bloom”, keheranan makin menjadi. Kok bisa duo sebagus ini, baik dari segi songwriting dan produksi, luput dari radar mainstream tanah air? Welp, I’m not a gatekeeper, but if you can’t appreciate them the way they deserve it, I’ll keep this little secret I call Galdive a little longer. [SK]
Understatement – “Am I Still Glad?”
Pada Februari kemarin, saya sempat ragu waktu teman saya merekomendasikan “Am I Still Glad?” Kalau boleh jujur, musik seperti emo/post-hardcore bukanlah hal yang akrab di telinga saya. Tapi untuk menghargai effort-nya, saya dengarkan lagu ini, dan ternyata enak juga. Sejak intro, lagu ini perlahan membuat kepala mengangguk pelan sampai akhir. Tepat setelah outro, lagu ini masuk ke dalam playlist saya. [RP]
Thee Marloes – “Over”
Ketika mendengar lagu ini, yang pertama terlintas adalah “wah, Motown banget!”(in a good way). Beat yang soulful khas 60-an ditambah vocal merdu yang terasa modern, ternyata merupakan “resep” yang hasilnya nikmat di telinga. [RP]
Hevva – “Sial!”
Di bio-nya, Hevva menulis identitasnya sebagai “duo messy krautrock unpolished”, sebuah klaim yang bisa dimaknai sebagai statement naif yang sembrono. Untungnya, lagu mereka membuktikan sebaliknya, bahwa ini mungkin salah satu biografi yang paling akurat. Mulai dari krautrock, ini rasanya klaim yang bold dan karena itu sepertinya jarang dipilih, tapi mereka mau ambil resiko dan beneran jadi. Dan yang menyenangkan, terlepas apakah memang ini disengaja atau tidak, elemen messy dan unpolished yang mereka janjikan membuat lagunya jadi menarik, di antara banyak yang ngejar mastering di luar negeri atau sama bule, mereka apa adanya aja, dan itu pun cukup. Kayaknya seru kalau suatu saat nanti mereka manggung bareng sama Kinderbloomen. [MH]
—
Dengarkan deretan lagu terpilih dari The W_List: Best Local Music of 2024 So Far melalui playlist berikut: