Apakah Kita Memang Mewarisi Watak Kolonial?
Dalam submisi Open Column ini, Ahmad Abu Rifai menyoroti diskriminasi yang tertanam pada suku Samin sejak era kolonialisme dan makin tereskalasi pasca tragedi kekerasan yang terjadi di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
Words by Whiteboard Journal
Kabupaten Pati, wilayah yang terletak di pinggir Provinsi Jawa Tengah, menjadi topik viral di berbagai media sosial sepanjang Juni. Pemantik terbesarnya adalah pengeroyokan warga terhadap bos rental dan rekan-rekannya yang berusaha mengambil mobil sewaan di Desa Sumberekso, Kecamatan Sukolilo. Mereka diteriaki ”maling”, padahal mobil itu hendak diambil karena sang penyewa terindikasi menggelapkannya. Keputusan itu berujung maut dan riuh panjang: Sang pemilik meninggal dunia dan tiga rekannya dibawa ke rumah sakit. Di sisi lain, Pati pun menjadi sorotan beragam pihak, terutama karena TKP pengeroyokan dianggap menjadi sarang penampungan mobil curian.
Meskipun aparat mengambil beberapa langkah hukum, insiden ini membawa efek domino buruk bagi masyarakat. Sebagian rental mobil memasukkan Pati sebagai daftar hitam sewaan, para perantau asal Pati memperoleh sinisme walaupun tak berbuat apa-apa, serta masyarakat kabupaten ini diasumsikan barbar. Saya sendiri yang tengah merantau di negeri orang bersyukur karena tak mendapatkan komentar macam-macam. Teman-teman hanya mengonfirmasi berita sekaligus indikasi wilayah penadah mobil gelap di kabupaten kelahiran saya itu. Meski demikian, saya percaya betul bahwa ada teman-teman yang memang akhirnya dicap negatif oleh orang lain, terutama karena ketika berselancar di media sosial, saya menemukan diskriminasi terhadap Suku Samin—yang bahkan dilontarkan dari sesama warga Pati.
Suku Samin merupakan minoritas di Pati. Mereka pada awalnya berasal dari Blora dan menyebar ke beberapa wilayah, yakni Rembang, Kudus, Pati, Bojonegoro, dan Ngawi. Sebagai minoritas, Suku Samin tak banyak memperoleh panggung di wilayah publik. Tafsiran-tafsiran tentang mereka kebanyakan bernada memojokkan, termasuk di kolom komentar beragam unggahan terkait kasus yang saya sebutkan sebelumnya. Dengan cukup mudah saya bisa menemukan komentar seperti,
“Pantas saja barbar, di sana ada Samin.”
“Orang Samin memang begitu.”
“Dasar orang Samin tak tahu adab dan moral!”
Selain diskriminatif, komentar-komentar ini sangatlah tak berdasar, and here is why: Dalam buku Tradisi dari Blora (1996), Hutomo mencatat bahwa semangat kelahiran Suku Samin justru semangat perlawanan terhadap Belanda. Dipimpin oleh Samin Surosentiko, seorang keturunan Majapahit dengan nama asli Raden Kohar, suku ini menjadi alternatif episentrum resistensi dengan cara yang terbilang unik. Masyarakat Samin, misalnya, tak hanya membangkang dalam urusan pembayaran pajak dan kerja paksa, melainkan juga lewat ekspresi kebahasaan mereka.
Sebagai contoh, ketika ditanya jumlah anggota keluarga, orang Samin lazim menjawab ”hanya dua: lelaki dan perempuan”. Sama halnya saat ditanya jumlah ternak yang dimiliki, balasan mereka yakni ”jantan dan betina”. Mereka pun kerap hanya diam terus-menerus jika disensus Belanda. Meski tampak sepele, perlawanan ini cukup membuat penjajah frustrasi dan kesulitan mendata populasi.
Ketidakpatuhan ini lambat laun membuat Belanda menyebarkan stigma bahwa orang Samin bodoh, tidak beradab, dan tidak kooperatif. Dengan segenap alat kekuasaan yang dimiliki, stigma ini akhirnya mengakar di masyarakat lokal. Saya yakin betul bahwa sejak kecil, lingkungan saya yang berada di kecamatan lain menggunakan ”Samin” sebagai olok-olok. Jika ada siswa yang tinggal kelas karena nilainya tak memenuhi KKM, kawannya akan mengejek, ”dasar kaum Samin!”. Jika ada tetangga rese yang berperilaku seenaknya, orang-orang juga menyebutnya ”Samin”.
Samin menjadi sinonim ketidakmampuan berpikir sebagaimana manusia normal. Ia jadi kata sifat pula untuk orang yang tak tahu aturan. Nahasnya, kawan-kawan dari kecamatan lain di Pati pun mengamini stigma ini. Dalam kasus seperti pengeroyokan berujung maut di Pati, stigma terhadap Samin semakin luas: mereka adalah orang jahat yang sewaktu-waktu bisa membahayakan kehidupan orang.
Ya, puluhan tahun lepas dari penjajahan tak membuat stigma ini luntur, bahkan biasnya semakin lantang!
Hal ini tentu sangat disayangkan karena Suku Samin tak pernah merugikan komunitas lain. Laku hidup mereka justru sederhana dan dekat dengan alam. Sebagian besar memilih bertani karena merasa itulah cara hidup yang paling arif dan tidak merusak. Dalam kasus perseteruan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Suku Samin di Kecamatan Sukolilo juga ikut dalam barisan demonstran. Posisi mereka jelas, yakni menolak eksploitasi alam—apalagi yang memanfaatkan celah hukum. Sederhananya, tidak ada satu pun perangai yang membuat masyarakat Samin layak memperoleh sikap rasis.
Saya, mau tak mau, akhirnya berkeyakinan bahwa kita mewarisi sebagian watak kolonial, yang suka memecah belah. Pada kasus Suku Samin, kita tak hanya mewarisi pengetahuan yang salah, melainkan juga perasaan superior yang berbahaya dan memuakkan. Masyarakat non-Samin di Pati memandang Samin inferior karena mereka minoritas dan tak memiliki modal sosial untuk mendominasi wacana. Samin dianggap terbelakang, abnormal, dan pantas diolok-olok karena perbedaan relasi kuasa ini. Ada sisi dari diri kita yang membutuhkan pihak yang lebih lemah untuk direndahkan dan disalahkan ketika ada masalah. Padahal, sebetulnya kita juga tak nyaman ketika dicap buruk orang lain.
Terdengar familiar? Diskriminasi rasial di tanah air memang bukan hal asing.
Barangkali, hal serupa yang terjadi pada saudara-saudara Papua lebih umum kita ketahui. Kita kerap mendengar berita rasisme pada mereka. Orang-orang Papua sering kali disebut ”monyet”. Lagi-lagi, mereka dianggap bodoh, terbelakang, dan bahkan tidak manusiawi. Warna kulit yang berbeda dari mayoritas pribumi Indonesia semakin memvalidasi prasangka ini. Kita seolah tak belajar bahwa sejarah rasisme adalah riwayat sesat pikir dan penindasan manusia. Akibatnya, insiden seperti huru-hara di Manokwari (2019) meletus.
Jika dipikir-pikir, hidup terasa sempit sekali bagi masyarakat Papua. Ketika sumber daya alam mereka dikeruk tanpa akhir, yang mereka dapatkan justru pembangunan yang tidak inklusif, rasisme tak berkesudahan, dan todongan pistol saat sebagian sudah terlampau geram dengan ketidakadilan sistemik negeri ini—dan menginginkan pemisahan.
Apa yang terjadi pada Suku Samin dan rakyat Papua merupakan penanda bahwa setelah merdeka, ternyata kita malah menjajah saudara sendiri. Kita mengutuk kolonialisme Belanda dan Jepang. Namun, mengapa kita malah mewarisi wataknya?