Surat Terbuka dari Gen Z: Kami Punya Alasan di Balik Stigma Menyebalkan
Dalam submisi Open Column ini, Farent B. Sagala menulis surat terbuka tentang bagaimana stigma mengenai Gen Z dan penderitaan yang mereka alami merupakan akumulasi masalah yang diwariskan generasi-generasi sebelumnya.
Words by Whiteboard Journal
Ayah sangat berjasa dalam membentuk diri saya. Semua tindakan dan apa pun yang ada pada dirinya selalu saya jadikan contoh. Apa pun contoh buruk yang dia lakukan: miskin, punya anak banyak, merokok, kasar; saya akan lakukan sebaliknya.
Saya adalah seorang Gen Z. Beberapa tahun ke belakang, generasi milenial sudah mulai mengoper estafet julukan “junior” ke generasi kami. Peristiwa ini ditandai dengan maraknya jokes soal Gen Z.
Berkat hadirnya sosial media, jokes tentang generasi kami tidak lagi hanya sekadar lelucon di warung kopi, namun juga disampaikan menggunakan format konten. Hal ini membuat penyebarannya semakin cepat dan resonansinya semakin bising. Apabila saya mendapatkan Rp1.000 setiap menonton konten tentang Gen Z, mungkin kini saya sudah memiliki 5 rumah di Pantai Indah Kapuk (PIK).
Konten dan jokes tersebut kemudian terdistribusi ke berbagai medium dan diskusi. Kesimpulannya: Gen Z generasi cengeng, hedon, pemalas. Semua stigma ini didapat dari banyaknya istilah dan kebiasaan yang dianggap aneh oleh generasi sebelumnya.
Namun saya rasa, tidak ada salahnya dianggap aneh karena tidak mengikuti kebiasaan yang dilakukan generasi sebelumnya. Akses internet yang ada, membuat kami dapat melihat dan mempelajari apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Setelah melihat begitu banyak hal, saya pribadi tidak terlalu yakin kami harus meniru apa yang telah dilakukan.
Generasi sebelumnya sering kali membanggakan kebiasaan hidup dan berbagai pencapaian yang mereka dapatkan. Namun, berbagai kebiasaan dan pencapaian tersebut hampir sulit untuk dinikmati oleh generasi kami. Pada hari ini, harga properti terus meningkat, dinamika politik semakin tidak berpihak pada masyarakat, dan beberapa kawan tak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Dari semua hal tadi, salah satu yang paling menjengkelkan adalah kami diwariskan alam yang hampir mustahil diselamatkan. Johan Rockström, salah satu ilmuwan bumi paling berpengaruh, bahkan mengatakan, “Scientifically, this is not a climate crisis, but something deeper: We are facing mass extinction, air pollution (…), we are putting humanity’s future at risk. This is a planetary crisis,” pada World Economic Forum (WEF) Meeting 2023.
Salah satu bahan cacian yang paling sering dilontarkan kepada Gen Z adalah perihal mental health yang rutin kami gaungkan. Ciri unik kami adalah tumbuh bersama internet. Dampak positifnya, wawasan kami menjadi luas dan kami mudah bertemu dengan banyak orang. Dampak negatifnya, juga, wawasan kami menjadi luas dan kami mudah bertemu dengan banyak orang.
Tidak hanya bisa mempelajari cara memasak air, internet mempertemukan kami dengan berbagai ketakutan dan kabar sedih. Mulai dari kiamat 2012, terpecahnya orang tua kami berkat perbedaan pilihan politik, hingga isengnya Rafathar yang membuat Cipung menangis.
Kesialan bertambah ketika orang tua kami ikut meramaikan internet. Obrolan di meja makan diisi topik hoaks yang didapat dari grup WhatsApp, hingga tuntutan sukses menjadi tinggi berkat orang-orang kaya di Jakarta yang diberitakan sukses di usia 18.
Ketika kami mengasingkan diri di kamar, sumpah serapah jadi teman setia menatap smartphone. Saat berniat untuk mengetahui kabar terbaru teman-teman, yang kami dapatkan malah ketidakpercayaan diri karena melihat hidup kawan yang begitu sempurna. Tidak jarang kami ingin berhenti. Namun jika melakukannya, kami terancam tidak bisa mengikuti obrolan di lingkaran pertemanan.
Survey pada tahun 2022 menyebut 42% Gen Z memiliki problem mental health yang terdiagnosis. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi kami berani berdamai dengan hal tersebut dan mengaku rapuh. Oleh karena itu, meminta pertolongan ke psikolog dikampanyekan, healing dan self care menjadi agenda. Namun, kebiasaan ini malah menjadi kambing hitam untuk masalah Gen Z selanjutnya: sulitnya memiliki rumah.
Salah satu yang paling sering jadi sasaran tembak adalah kebiasaan ngopi. Bagi generasi sebelumnya, menghabiskan Rp20.000-Rp35.000 untuk satu gelas kopi merupakan suatu pemborosan serta penyebab utama kami tidak bisa membeli rumah.
Padahal, jika harga satu gelas kopi Rp50.000 dan Down Payment (DP) rumah yang diinginkan adalah Rp100.000.000. Bila dihitung, kami harus menahan kantuk dan puasa mengasup kafein selama lebih dari 5 tahun. Itu pun baru DP-nya, belum termasuk angsuran bulanan yang, kemungkinan besar, masih harus kita bayar dari dalam liang kubur.
Permasalahan rumah harusnya dilihat dari perbandingan rasio gaji dengan harga rumah yang ada. Pada unggahan Instagram @perfectlifeid, kita mendapat informasi bahwa rumah di Puri Indah, Jakarta Barat pada tahun 1988 berkisar Rp42,6 juta, dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp198.500 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan harga rumah di Puri Indah pada tahun ini, dengan ukuran yang hampir sama, berkisar Rp3,3 miliar dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp4.901.798. Jika dibandingkan dengan rasio gaji pada tahun 1988, kita memiliki beban tiga kali lebih sulit dalam membeli rumah.
Iklan perumahan di Puri Indah, Jakarta Barat pada tahun 1998. (Sumber: @perfectlifeid/Instagram)
Beban ini kita dapat bukan karena rutin membeli kopi, namun karena generasi sebelumnya menjadikan rumah sebagai ajang investasi. Supply rumah menjadi terbatas, namun permintaan terus meningkat. Ini yang menjadi alasan harga rumah melambung tinggi hingga tak tergapai.
Sebagaimana keras pun kami bekerja, kepemilikan rumah akan sulit tercapai. Saya pribadi adalah seorang pemalas. Di bagian awal tulisan, kita bisa tahu bahwa Ayah saya seorang pekerja keras, kelewat keras malah. Namun, kita juga tahu bahwa ia miskin. Semua kerja keras yang ia lakukan praktis hanya untuk menambah kekayaan pemilik perusahaan. Sedangkan ia sendiri menerima gaji begitu sedikit dan diperlakukan begitu buruk. Tentu cerita ini tidak hanya dijalani oleh Ayah saya seorang.
Oleh karenanya motif kami, Gen Z, dalam bekerja juga berbeda dengan generasi sebelumnya. Gaji memang merupakan alasan utama kami bekerja, namun bukan satu-satunya. Kami ingin bekerja di kantor yang memiliki kultur kerja yang menyenangkan, memiliki itikad baik untuk mengembangkan kemampuan kami, dan akan lebih baik jika bisnis yang dilakukan memperjuangkan sesuatu yang kami percayai.
Itu yang nampaknya menjadi alasan mengapa kami dinilai tidak loyal dan tidak tahan banting. Tidak tahan banting yang dimaksud adalah enggan untuk dihubungi di luar jam kerja, menolak tugas di luar lingkup pekerjaan.
Bukannya tidak mampu, namun kami tidak menemukan alasan untuk melakukannya. Jika perusahaan tidak memiliki niat untuk memenuhi tuntutan kriteria untuk menjadi kantor yang “sehat”, selendang “open to work” siap kami pasang.
Tentu untuk memiliki ego setinggi ini, perlu kemampuan yang betul-betul mumpuni. Jadi, jangan kaget apabila menemui Gen Z yang magang di berbagai tempat dalam satu waktu. Jangan kaget juga melihat betapa seringnya kami mengikuti berbagai kelas upgrade skill. Ego tinggi memang memerlukan usaha lebih, dan itulah yang kami lakukan.
Pada akhirnya, semua hal aneh yang kami lakukan terjadi bukan tanpa alasan. Kami mengerti buruknya zaman yang dihadapi oleh baby boomer sehingga mereka memaksa diri untuk menjadi tangguh. Kami tau betapa sulitnya generasi X mendapatkan kehangatan dari orang tua yang jarang berada di rumah. Kami memahami perasaan generasi milenial ketika diremehkan oleh orang yang lebih tua.
Kami juga mensyukuri berbagai karya yang telah generasi sebelumnya ciptakan. Karenanya, kami bisa mendapatkan jawaban dengan cepat, berpindah ke satu tempat ke tempat lain dengan mudah, dan juga berbagai hal ajaib lagi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.
Sayangnya, berbagai karya ini memiliki korban, yaitu kamu, Kakak, Bapak, Ibu, dan orang juga orang yang paling kamu cintai. Hidup dijalani tanpa dinikmati. Berbagai hal semu dikejar tanpa memperhatikan sekitar. Menyiapkan warisan harta yang begitu banyak namun tanpa sadar mengeksploitasi ekosistem yang diperlukan untuk menikmati warisan tersebut: kasih sayang, kewarasan, dan alam. Biarkanlah kami merayakan hidup yang cuma sekali ini sambil mencoba membenahinya. Itu pun jika alam yang diwariskan masih memberikan kami waktu untuk melakukannya.