Lingkaran Setan Kekuasaan: Mendaur Ulang Imaji Kekerasan Negara
Dalam submisi Open Column ini, Eka Annash, yang kini bergabung menjadi anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengungkapkan kekhawatirannya tentang kekerasan yang terus direproduksi negara.
Words by Whiteboard Journal
Sebagai warga negara Indonesia, mungkin gue bukan warga negara yang baik dalam pengertian selalu tunduk pada birokrasi aturan negara dan pemerintah. Tapi, bukan juga warga negara yang buruk. Gue aktif melihat dan menyuarakan ketika terjadi penyelewengan kewajiban negara pada rakyat, terutama dalam mewujudkan keadilan sosial. Tentunya dengan keterbatasan pengetahuan gue tentang seluk-beluknya. Pemikiran sederhananya, negara yang memedulikan warganya sudah pasti mendorong cara-cara yang baik dan beradab serta menghormati kemanusiaan melebihi apapun.
Tentu tidak afdol rasanya ketika berbicara kewajiban negara tanpa membicarakan teori kekuasaan. Nicolo Machiavelli, filsuf Italia abad 15, berteori kalau kekuasaan negara, secara hakikat, adalah kekuatan untuk mendorong tujuan tertentu. Barangkali potongan ajaran ini yang paling banyak dikutip oleh para pelaksana pemerintahan dan politisi untuk merangkai bonsai kekuasaan lebih jauh, dengan cara yang manipulatif dan menabrak rasionalitas keadilan. Impuls kekuasaan yang tinggi sudah pasti dibarengi oleh imaji kekerasan dan instrumen koersif sebagai kaki tangan untuk mempertahankan kekuatan.
Refleksi gue soal makna dan hakikat kekuasaan serta imaji kekerasan membawa gue lebih jauh untuk mendalami pikiran soal situasi di Indonesia. Secara historikal, sudah terdokumentasi banyak cerita dan kisah yang menerangkan kekerasan, ketidakadilan dan penindasan. Tentu kadar dan derajatnya bermacam-macam. Kekerasan setiap hari yang terjadi atas nama persaingan ekonomi, atas nama kebanggaan identitas kelompok, ketakutan eksistensial, dan yang paling ironik, kekerasan atas nama cinta. Gue tertarik menggali lebih jauh soal pola kekerasan struktural berbasis kekuatan politik yang membuat gue selalu bertanya, “Apakah bisa kita menghentikan lingkaran setan kekerasan di Indonesia ini?”
Profesi musisi membuat gue leluasa melihat isu kekerasan di lanskap sosial dalam kacamata kesenian. Tapi kacamata seni gue harus ditambah dengan lensa yang lebih kredibel. Lensa advokasi terhadap kekerasan negara. Itulah salah satu alasan kenapa gue akhirnya memutuskan masuk menjadi anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Gue merasa penting menggabungkan basis kesenian dan gerakan aktivisme sebagai sebuah upaya lebih jauh dalam mendorong peradaban yang lebih kritis dan manusiawi. Terserah mau dicap sok Social Justice Warrior, latah trend WOKE atau apapun. Gue merasa tanggung jawab sebagai musisi tidak hanya terbatas sampai di rekaman lagu dan panggung. Tapi bisa direalisasikan jadi lebih konkret.
Refleksi di awal, langsung berkoneksi ketika banyak bertukar pikiran dengan teman-teman di KontraS. Gue menemukan kalo kekerasan adalah instrumen utama kekuasaan di Indonesia. Kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang akan menghasilkan imaji kekerasan yang luar biasa bengis. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi sepanjang 1998, pembunuhan massal terhadap pemeluk agama Islam yang terlampau dianggap ancaman buat nilai dan pandangan pemerintah orde baru di medio 1980-an, penculikan terhadap setiap orang yang berseberangan dengan kekuasaan. Nggak cuma itu, ada juga penindasan yang luar biasa kuat di Papua sejak tahun 60-an, penyiksaan terhadap orang-orang lemah dan terpinggirkan, hingga penggusuran masif dan keji untuk proyek korupsi pembangunan.
Kekuasaan yang memiliki perangkat kekerasan mendesain diri dalam bingkai paling populis: menjaga dan mengayomi rakyat. Ironisnya, slogan ini bertolak belakang dengan berita kekerasan di Indonesia. Institusi yang paling sering menjadi pelaku kekerasan dalam kerangka pelaksanaan negara adalah institusi keamanan dan pertahanan. Institusi ini yang juga melahirkan para penjahat kemanusiaan. Nggak cuma di sini, tapi di seluruh dunia. Nahasnya, institusi ini yang kemudian sering kali lolos dalam jerat tanggung jawab ketika mereka diseret ke meja hijau saat membantai warga negara atas nama kemajuan negara. What a joke.
Sebagai orang yang mengalami era reformasi, gue melihat dorongan untuk menuntut pertanggungjawaban kepada institusi ini menguat. Bahkan, era tersebut menjadi saksi lahirnya 3 pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap kasus Timor Timur, Abepura dan Tanjung Priok. Semuanya mengadili anggota institusi ABRI (hari ini TNI). Di sisi lain, institusi ini juga luar biasa panik dengan banyak tudingan publik. Pemecatan 2 jenderal dalam kasus penghilangan orang secara paksa adalah salah satu wujud kepanikan institusi untuk lari dari akuntabilitas hukum paling paripurna.
Serangkaian cara dalam upaya memutus rantai kekerasan negara di Indonesia ternyata tidak banyak berarti, hanya aktornya yang berganti rupa dan kekerasannya berubah pola. Sekali lagi, kekerasan mendominasi. Pola kekuasaan berbasis kekerasan didaur ulang. Orang-orang dengan tangan berlumur darah diagungkan dan dielukan bak pahlawan. Orang-orang dengan jejak hitam tragedi kemanusiaan dipuja bak manusia setengah dewa. Politik impunitas terjadi. Politik kekerasan lestari. Akhirnya pertanyaan gue masih relevan, “bagaimana memutus rantai sirkulasi kekerasan di Indonesia?”