Bukan Isu Musiman, Aksi Kamisan Adalah Duri bagi Penggila Kekuasaan
Dalam submisi Open Column ini, Jane Rosalina membantah disinformasi dan tudingan yang menyebut Aksi Kamisan sebagai isu reaksioner yang ditujukan untuk menjatuhkan elektabilitas capres tertentu.
Words by Whiteboard Journal
Isu Hak Asasi Manusia (HAM) kembali menjadi perbincangan hangat pasca debat calon Presiden periode 2024-2029 pada 12 Desember 2023. Diskursus yang paling menohok, tak lain tak bukan, ialah mengenai isu penghilangan paksa yang sering kali dituding menjadi isu lima tahunan–alias isu yang selalu naik saat kontestasi pemilihan umum (pemilu). Ada juga yang mengira, isu ini sengaja dinaikkan untuk menjegal aktor-aktor tertentu dalam Pemilu. Padahal, jika ditarik mundur ke belakang, isu penghilangan paksa maupun isu pelanggaran HAM berat lainnya sudah lama diperjuangkan oleh keluarga korban, penyintas, pegiat HAM dan masyarakat sipil lainnya–utamanya pasca reformasi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menetapkan setidaknya ada 17 kasus yang telah memenuhi unsur pelanggaran berat terhadap HAM dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di antaranya ada Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Mei 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Abepura, Papua 2000, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003, Peristiwa Paniai 2014, Peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah 2001 yang ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat oleh Komnas HAM tahun 2022.
Meskipun semua daftar peristiwa tersebut diurai, tentu sama sekali belum menghadirkan keadilan bagi para korban lantaran tidak berhasil menghukum para pelaku, membuka tabir kebenaran peristiwa, memulihkan hak para penyintas dan keluarga korban, apalagi memberikan jaminan kalau peristiwa serupa tidak akan terulang lagi. Begitu pula juga untuk kasus lainnya seperti kasus Pembunuhan Pembela HAM Munir Said Thalib (2004), Aksi #ReformasiDiKorupsi (2019), hingga Kanjuruhan (2022).
Segerombolan orang dengan pakaian serba hitam yang berdiam diri mengenakan payung hitam di bawah terik sinar matahari di seberang Istana Negara itu bukan sembarang kerumunan. Mereka justru menempuh langkah berlawanan dengan penghuni bangunan megah di seberangnya, yang duduk nyaman di ruangan adem dan jauh dari ancaman. Mereka adalah simbol perjuangan hak asasi manusia, khususnya bagi para keluarga korban selama hampir dua dekade. Gerombolan berpayung hitam itulah yang menjaga nafas panjang harapan masyarakat akan terciptanya demokrasi yang hakiki. Ia juga menjadi wadah perjuangan keluarga korban dan para penyintas untuk menuntut pertanggungjawaban negara terhadap nasib keluarganya.
Nafas Panjang ini disebut Aksi Kamisan
“Hidup korban! Jangan diam! Lawan!,” jargon ini lantang disuarakan oleh pejuang HAM di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Sejak 18 Januari 2007, secara rutin tiap Kamis sore pada pukul 16.00, para pejuang kemanusiaan penuh harapan menagih tanggung jawab negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, khususnya yang terjadi saat rezim Orde Baru. Para keluarga korban yang berbaur dengan masyarakat sipil melangsungkan aksi selama satu jam penuh. Biasanya, aksi ini diawali dengan aksi berdiam diri selama 15-30 menit, lalu disambung dengan refleksi atas kondisi HAM dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Aksi ini mulanya digagas pada penghujung tahun 2006 ketika Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengadakan pertemuan bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk mencari alternatif saluran dalam memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Kemudian pada 9 Januari 2007, JSKK bersama dengan JRK dan KontraS sepakat untuk menggelar Aksi Kamisan yang diadakan setiap pekannya sebagai gerakan menolak lupa dan memperjuangkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam pertemuan tersebut disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.
Mengenai lokasi berlangsungnya aksi, mereka memilih seberang Istana Merdeka atau Istana Negara karena merupakan jarak terdekat yang berhadapan langsung dengan simbol pusat kekuasaan—sasaran utama aksi. Apalagi, aktor negara yang utama disasar ialah Presiden, yang memiliki peranan penting selaku pembuat keputusan utama dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang 26 tahun 2000, maupun Keputusan Presiden lainnya yang berkaitan dengan kasus pelanggaran berat HAM, serta berperan penting untuk turut mendorong lembaga lainnya yang memiliki peranan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, juga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai instansi yang merumuskan surat rekomendasi kepada Presiden, Komnas HAM selaku lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung selaku lembaga penyidik.
Secara resmi, awalnya Aksi Kamisan dinamakan sebagai Aksi Diam (2007) yang disimbolkan sebagai gerakan untuk mengecam diamnya negara terhadap penuntasan kasus pelanggaran berat terhadap HAM. Kemudian dalam perkembangannya, aksi ini dikenal sebagai Aksi Payung Hitam (2007), Aksi Payung Hitam Kamisan (2015) dan Aksi Kamisan (2016-sekarang). Untuk pemilihan waktu, pukul 16.00-17.00 WIB diyakini cukup strategis untuk menarik atensi publik yang sedang lalu-lalang sepulang kerja atau berkegiatan. Apalagi, aksi ini cukup mencolok karena pakaian dan atribut payung hitam yang bertuliskan nama daftar kelam peristiwa pelanggaran berat HAM di Indonesia.
Payung secara filosofis dianggap sebagai simbol perlindungan penyintas dan keluarga korban dari kekerasan maupun teror sekaligus sebagai pelindung fisik atas hujan dan terik sinar matahari. Sedangkan warna hitam melambangkan perlindungan Ilahi, cinta kasih terhadap penyintas dan keluarga korban, serta keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan maupun keadilan.
Aksi Kamisan mengambil inspirasi dari Association Madres de Plaza de Mayo (AMPM) di Argentina. Aksi yang dikenal sebagai “Ibu-Ibu Plaza de Mayo” ini juga berdiri di semacam alun-alun yang letaknya di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada. Sejak 30 April 1977, mereka meminta keadilan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim militer Jorge Rafael Videla (1976-1981) yang mengakibatkan sekitar 30.000 orang dibunuh, diculik maupun dihilangkan secara paksa. Mereka melangsungkan aksi diam atas protes setiap hari Selasa pukul 15.00 waktu setempat dengan mengenakan simbol kain kerudung putih dan pakaian berwarna putih sebagai simbol duka. Tak jauh berbeda dari Aksi Kamisan, mereka juga mengibarkan spanduk dengan gambar anak-anak mereka.
Gerakan tersebut sangat menginspirasi aktivis HAM di berbagai belahan dunia lainnya. Sebab, gerakan ini memainkan peran penting dalam mengungkapkan kebenaran terhadap kebijakan represif pemerintah militer dan memperjuangkan HAM di Argentina, termasuk memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial dan politik di negara tersebut. Buah terbesar dari gerakan ini ialah mampu memberikan tekanan yang membuat Pemerintah Argentina berani menghukum para pelaku, termasuk Presiden Videla yang melakukan tindak penyiksaan, pembunuhan serta mendalangi penculikan. Pada 26 Januari 2006, para Ibu Plaza de Mayo secara resmi melakukan aksi yang terakhir kali dengan bersorak merayakan kemenangan dengan berkata, “Gedung pemerintah ini sudah bersih dari musuh-musuh kami!”
Ini menjadi kemenangan yang dialami oleh para ibu yang tidak lelah menunggu dan menuntut negara menjalankan kewajibannya selama 39 tahun, lantaran Presiden Argentina saat itu, Nestor Kirchner, yang memang berhaluan kiri, membatalkan aturan hukum yang digunakan pemerintah untuk memberangus rakyat sipil yang kritis.
Nafas yang diwariskan Gerakan Madres de la Plaza de Mayo adalah konsistensi dalam menuntut keadilan. Setelah konsisten selama 17 tahun lamanya (18 Januari 2007-2024), Aksi Kamisan juga semakin ramai dan populer didatangi para pengunjung. Aksi ini kini mendapatkan dukungan dari kaum muda, pelajar, mahasiswa, seniman dan masyarakat sipil lainnya untuk menuntut keadilan, sekaligus laboratorium pendidikan bagi generasi muda untuk belajar sejarah maupun isu HAM.
Sebagai gerakan akar rumput yang organik dan konsisten dalam menyuarakan tuntutannya, Aksi Kamisan tidak lagi hanya dilaksanakan di Jakarta saja. Kini, berbagai kota di Indonesia seperti Lhokseumawe, Medan, Padang, Bukit Tinggi, Pasaman Barat, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Serang, Depok, Bekasi, Bogor, Karawang, Cirebon, Garut, Indramayu, Tegal, Sumedang, Purwokerto, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, Jember, Kediri, Solo Surabaya, Banyuwangi, Magelang, Makassar, Luwuk, Mamuju, Manado, Palu, Kediri, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Pontianak, Kalimantan Tengah, Ambon, Ternate, Bima, hingga Papua juga menggelar Aksi Kamisan. Secara interseksional, aksi ini juga mewadahi berbagai persoalan dan tuntutan seperti penggusuran paksa, konflik lahan, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penjatuhan hukuman mati, kriminalisasi pembela HAM atau pegiat HAM, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.
Saat ini, Aksi Kamisan telah berlangsung selama 803 kali di depan Istana Negara. Sebanyak itu pula mereka mengirimkan surat kepada Presiden, dengan rincian 339 pucuk surat dikirimkan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 464 pucuk surat dikirimkan kepada Presiden Jokowi. Namun, dari 803 surat yang ditujukan kepada Presiden, tidak ada satupun respon konkret.
Aksi ini Ditunggangi Rasa Kemanusiaan
Peringatan 17 tahun aksi ini bertepatan dengan momentum masa kampanye Pemilu 2024, yang juga diikuti oleh Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus (1995-1998) dan Pangkostrad (1998). Namanya diidentikkan sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab terkait kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Pada tahun 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan kasus Penghilangan Paksa sebagai Pelanggaran HAM Berat dan merekomendasikan agar kasus tersebut diadili pada Pengadilan HAM. Sebelumnya juga, dalam Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) No: KEP/03/VIII/1998/DKP tentang rekomendasi pemberhentian Prabowo sebagai Letnan Jenderal TNI karena terbukti melakukan perintah penangkapan dan penculikan terhadap beberapa aktivis pada 1997-1998. DPR-RI pun telah merekomendasikan agar dibentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus tersebut pada tahun 2009, namun hingga kini pengadilan tersebut belum juga dibentuk oleh Presiden.
Ada banyak narasi yang menyebut bahwa isu pelanggaran HAM berat hanya muncul “lima tahun sekali” dalam masa pemilu dan dituding sebagai bahan “black campaign”. Selain menyebarluaskan disinformasi, narasi juga mendiskreditkan perjuangan korban, keluarga korban, pegiat hak asasi manusia, serta publik yang selama puluhan tahun menuntut keadilan. Belum lagi, ramai para buzzer yang menuduh Aksi Kamisan dibayar ataupun ditunggangi.
Aksi Kamisan bukanlah aksi yang tumbuh karena uang. Aksi ini ditunggangi dengan rasa kemanusiaan dengan tumbuh secara organik dari akar rumput atas rasa solidaritas dan kepekaan terhadap penyintas dan keluarga korban yang memperjuangkan kasusnya. Aksi ini tidak mampu dibeli sepeserpun dengan uang. Lebih berharga dari nilai mata uang, Aksi Kamisan dibayar dengan solidaritas, pengalaman baru dan pengetahuan baru yang berasal dari pelaku sejarah yakni korban dan keluarga korban yang ceritanya sama sekali tidak dimuat dalam pelajar sejarah di bangku sekolah.
Keteguhan Aksi Kamisan yang berdiri selama 17 tahun di depan Istana Negara, lagi-lagi, menjadi alarm pengingat bahwa negara belum menunaikan kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui proses hukum yang efektif, independen, dan menyeluruh. Konsistensi Aksi Kamisan juga kembali membuktikan bahwa tuntutan kepada negara untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia secara berkeadilan bukanlah isu “lima tahun sekali”. Tuntutan ini diperjuangkan secara konsisten, Kamis demi Kamis, selama hampir dua dekade.
Aksi Kamisan akan terus berdiri meski negara terus menghindarinya. Selama para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM belum mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh, termasuk hak atas keadilan, kebenaran, pemulihan, dan jaminan ketidak berulangan peristiwa; selama itulah Aksi Kamisan akan terus ada dan berlipat ganda.