Pemilu adalah Lingkaran Setan untuk Memperdaya Anak Muda
Dalam submisi Open Column ini, Fatia Maulidiyanti mengingatkan kita kembali akan siklus tipu daya yang kerap berulang dalam tahun politik dan bagaimana partisipasi anak muda hanya dijadikan tokenisme belaka.
Words by Whiteboard Journal
Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang sering kali memberi bantuan untuk masyarakat tertindas itu pernah mengalami penyerangan pada 2017 lalu. Peristiwa mencekam tersebut berakar pada dugaan masyarakat akan adanya acara berunsur Komunis. Dalangnya, lagi-lagi, adalah militer. Waktu itu, bertepatan sekali dengan banyaknya antusiasme anak muda, khususnya kelompok milenial tentang sejarah HAM di masa lalu, dan juga bagaimana anak muda bersikap menjelang Pemilihan Umum 2019, sekaligus juga belajar terkait gerakan hak asasi manusia.
Hari ini, tahun 2023, kita dihadapkan dengan situasi yang sama. Bermacam-macam bentuk gerakan hak asasi manusia yang dimotori oleh kelompok muda: Pasca Reformasi 1998, Reformasi Dikorupsi 2019, Tolak Omnibus Law, Tolak RKUHP, Usut Tuntas Kanjuruhan dan masih banyak lagi. Namun pertanyaannya, apakah gerakan tersebut berhasil untuk mengubah ataupun konsisten dengan arus politik? Terutama, menjelang Pemilu hari ini, di mana anak-anak muda selalu menjadi sasaran empuk partai politik untuk mendukung calon-calon tertentu?
Pemilu itu lalu, hari ini oligarki
Pada tahun 2014 dan 2019, hadir sosok baru bernama Joko Widodo dalam Pemilu, calon Presiden dari kalangan sipil, yang digadang sebagai “The New Hope” dan menjadi lesser evil. Ia berhadapan dengan Prabowo Subianto, yang kita sama-sama tahu, masih memiliki tanggung jawab besar terkait penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-1998. Jokowi menang dalam dua periode tersebut. Pendekatan populis yang dilakukan oleh Jokowi berhasil untuk menggaet banyak sekali dukungan publik termasuk Papua yang menyumbangkan 70 persen suara untuk kemenangan Jokowi. Bahkan tidak sedikit kelompok hak asasi manusia, lingkungan dan anti-korupsi yang mendukung dirinya untuk menjadi Presiden RI, termasuk kelompok muda.
Namun hari ini, setelah 10 tahun kepemimpinannya, banyak sekali pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Dimulai dari menyempitnya ruang kebebasan sipil, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tidak berpedoman pada hak asasi manusia sehingga menimbulkan banyak sekali pelanggaran HAM, brutalitas aparat, dan yang paling mengecewakan ialah berkompromi dengan aktor-aktor terduga pelanggar HAM. Selain menjadikan Prabowo Subianto, rivalnya dalam kontestasi Pemilu, sebagai Menteri Pertahanan, ia pun juga berdiri sejajar dengan beberapa aktor pelanggar HAM seperti Wiranto, Hendropriyono dan beberapa anggota Tim Mawar yang direkrut menjadi staf pada Kementerian Pertahanan. Kesimpulannya, apakah ada oposisi hari ini? Dan apakah terdapat pilihan politik yang tidak bersandar pada nilai oligarki ataupun politik pragmatis?
Kenyataan ini justru memperlihatkan bahwa siapapun yang memenangkan Pemilu hanyalah sandiwara belaka. Karena pada akhirnya, mereka akan bergabung menjadi satu dan menggabungkan kekuatan mereka kembali untuk menguasai kepentingan negara. Jika berefleksi dari dinamika tahun politik hari ini, terlihat bahwa seluruh perbedaan, perebutan posisi, hingga korupnya sistem yang ditandai dengan putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini memperlihatkan bahwa semua hal tersebut (tentu saja) bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan partai politik. Situasinya jadi semakin pelik: masyarakat dihimpit dengan agenda pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan publik dan kepentingan politik yang nyatanya hanya memperkuat labirin oligarki itu sendiri.
Bagaimana otoritarianisme menyusupi demokrasi
Pemilu memang pada akhirnya menjadi panggung politik demi kepentingan politik. Semua kampanye diusulkan untuk menarik perhatian publik seluas-luasnya. Sadar ataupun tidak, hari ini, yang menjadi pihak oposisi hanyalah rakyat. Karena pada akhirnya, seluruh partai politik akan bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan.
Dari Presiden Joko Widodo kita belajar bagaimana cara kelompok otoriter terpilih menghancurkan institusi demokrasi yang seharusnya mengekang mereka. Beberapa melakukannya dalam satu gerakan. Namun, sering kali serangan terhadap demokrasi dimulai secara perlahan. Bagi banyak warga negara, hal ini mungkin, pada awalnya, tidak terlihat. Pasalnya, pemilu terus dilaksanakan dan terus mengajak seluas-luasnya partisipasi publik agar indeks demokrasi meningkat (Levitsky & Ziblatt, 2018). Padahal, demokrasi tidak bisa dinilai hanya dari pemilihan umum, melainkan proses kepemimpinan negara selama periode tersebut—yang menyangkut prinsip hak asasi manusia, keadilan dan penegakan hukum.
Kemunduran demokrasi tidak pernah terjadi secara sekaligus. Biasanya kemunduran tersebut terjadi secara perlahan, menyasar kelompok paling rentan dan jauh dari pandangan publik. Namun setiap langkah kecil tersebut, lama-lama terakumulasi menjadi sebuah gunung es yang mengancam demokrasi itu sendiri.
Tindakan pemerintah sering kali disetujui oleh legislatif ataupun yudikatif melalui Mahkamah Konstitusi. Namun, bagaimana apabila kepentingan politiknya terlalu kuat sehingga membuat sistem hukumnya korup? Banyak produk hukum disahkan atas nama kepentingan publik, padahal hanya legitimasi untuk mencapai tujuan otoritarianisme. Salah satunya yakni RKUHP dan UU ITE, yang lebih kolonial dibandingkan Wetboek van Strafrecht.
Posisi anak muda dalam tahun politik
Tahun Pemilu tentunya menjadi sebuah momentum yang sangat rumit dan membingungkan, khususnya bagi kelompok muda yang kerap kali menjadi target dari para calon pemimpin negara. Alasannya sederhana, pertama, karena kuantitas pemilih pemula atau pemilih muda sebagai swing voters jumlahnya banyak. Kedua, karena mereka tidak terpapar dengan sejarah masa lalu, sehingga ada jarak kekosongan pengetahuan terkait rekam jejak politik. Ketiga, kentalnya budaya ageism di Indonesia dan residu feodalisme yang menganggap bahwa kelompok muda akan lebih mudah “diatur”. Keempat, politik ketakutan yang diciptakan oleh pemimpin negara hari ini yang memperlihatkan berbagai bentuk ancaman terhadap kritik publik, ataupun segala bentuk brutalitas aparat terhadap protes publik yang membuat mereka terkesan pragmatis. Dan yang kelima, arus informasi dan teknologi yang cepat. Media sosial membuat generasi muda hari ini, yakni Milenial dan Generasi Z dimanfaatkan dengan algoritma dan cara kampanye yang populer, sehingga mereka hanya melihat apa yang senang mereka lihat.
Alhasil, berbagai produk kampanye yang berseliweran di media sosial tentu saja menyesuaikan dengan apa yang ingin publik lihat: sesuatu yang ceria, menyenangkan, kekinian, populer dan lain sebagainya. Mereka merekrut pemimpin-pemimpin muda untuk masuk ke dalam pusaran partai politik, hingga calon Wakil Presiden. Namun pertanyaannya, apakah kelompok muda dapat direpresentasikan semudah itu dengan algoritma media sosial dan segelintir anak muda berprivilese dalam pusaran politik? Saya rasa tidak.
Jarang ditemukan orang berusia di bawah 35 tahun pada posisi penting kepemimpinan politik formal. Kecuali hari ini, dengan kekuatan Presiden, hal tersebut bisa dipatahkan—meski bukan demi kepentingan anak muda seluruhnya. Di sepertiga negara di dunia, kelayakan untuk menjadi anggota parlemen nasional dimulai pada usia 25 tahun atau lebih, dan merupakan praktik umum untuk menyebut politisi “muda” jika mereka berusia di bawah 35-40 tahun. Kaum muda tidak terwakili secara memadai dalam politik formal lembaga dan proses seperti Parlemen, partai politik, Pemilu, dan administrasi publik. Situasi ini bahkan lebih sulit lagi baik bagi perempuan muda maupun perempuan di posisi menengah dan pengambil keputusan/kepemimpinan. Di Indonesia, anak-anak muda yang masuk ke pusaran politik dipilih dengan cara-cara yang tua, demi menciptakan ilusi inklusivitas tanpa adanya meaningful participation. Terkesan dipaksakan, sehingga keterlibatan anak muda dalam politik formal hanyalah sebagai tokenisme belaka.
Partisipasi dan kepemimpinan kelompok yang bermakna mengharuskan mereka dan organisasi-organisasi yang dipimpin oleh kelompok memiliki peluang, kapasitas, dan manfaat dari lingkungan yang mendukung serta program dan kebijakan berbasis bukti yang relevan di semua tingkatan. Tidak hanya dalam politik formal, namun juga dalam berbagai bentuk organisasi di luar pemerintahan yang selama ini aktif untuk mendorong perbaikan kebijakan di Indonesia, bukan direpresi. Menyadari hak generasi muda untuk berpartisipasi dan dilibatkan dalam proses dan praktik demokrasi juga penting untuk memastikan pencapaian tujuan pembangunan yang disepakati secara nasional dan untuk menyegarkan agenda pembangunan dan membangun sebuah politik harapan bagi kelompok muda di kemudian hari.