“One More Jump”: Eskapisme Penuh Keberanian Pemuda Palestina dan Jari Tengah terhadap Penjajahan
Film dokumenter garapan Emanuele Gerosa ini menangkap lompatan-lompatan parkur sekelompok pemuda di Palestina, tanah air yang memimpikan kemerdekaan, untuk menunjukkan sekaligus memahami lebih dalam makna eskapisme dari insan-insan berbakat yang tumbuh di atas reruntuhan dan dihantui kengerian setiap detiknya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ahmad Haetami
Foto: ESoDoc.eu
Jurnalis di Gaza, Motaz Azaiza, setiap harinya membagikan cerita kondisi warga Palestina yang penuh luka dan darah. Aktivis Amerika Serikat Shaun King melakukan hal yang sama dan terkadang jauh lebih ekstrem. Di sisi lain, setiap video tentang Palestina yang muncul di For You Page TikTok sering kali dikemas secara dramatis. Paparan informasi kredibel di media sosial soal situasi Palestina selepas perlawanan Hamas merupakan satu hal valid untuk ditelan, bagaimanapun bentuk kemasannya. Namun, bagaimana jika film mencoba untuk menangkap realitas ini? Adakah realitas lain yang berhasil terekam pada setiap frame film?
Sutradara dokumenter dari Italia, Emanuele Gerosa mencoba untuk menangkap realitas kehidupan anak-anak muda Palestina yang jarang tertangkap dalam unggahan media sosial. Lewat One More Jump (2019), Gerosa merekam antusiasme segerombolan pemuda melakukan gerakan parkur di sudut-sudut gang perkampungan Gaza yang memimpikan kemerdekaan. Mereka lari-lari kecil, lompat-lompat, bukan di antara tembok atau gedung-gedung yang memanjakan mata, melainkan di sisa-sisa runtuhan bangunan yang kebetulan masih bertahan.
Sulit terlintas di pikiran bahwa masih ada komunitas hobi yang masih aktif bergerak ketika membicarakan Palestina. Bertahan hidup di tengah penjajahan dan bombardir serangan Israel saja rasanya sulit untuk dilakukan, apalagi jika mesti melakukan kegiatan yang disukai dalam kehidupan sehari-hari. Namun, melalui dokumenter buatan Gerosa, di tengah-tengah kehidupan yang tidak tenang, jauh sebelum 7 Oktober 2023, tepatnya pada kurun waktu 2016–2017, warga Palestina ternyata masih melakukan hobinya dan bahkan sangat berambisi untuk mengejar cita-cita mereka yang begitu personal.
Melalui film ini kita berkenalan dengan sosok Jehad, pemuda yang masih getol melatih olahraga parkur kepada anak-anak muda di Gaza. Jehad punya cita-cita menjadi atlet parkur andal yang bisa keluar dari Gaza. Ia ingin menyusul temannya, Abdallah yang telah lebih dulu keluar dari Gaza dan menjadi atlet parkur profesional di Italia. Film akan berlompat-lompat merekam kisah Jehad dan Abdallah. Meski hidupnya sudah tidak sesulit Jehad, Abdallah kerap merasakan rindu yang luar biasa dan kesusahan untuk kembali ke tanah airnya. Meski film ini dirilis empat tahun lalu, kesusahan Jehad hampir sama dengan apa yang dirasakan warga Palestina saat ini.
Jehad kesulitan ekonomi. Jangankan meminjam seratus, untuk sekadar makan Indomie saja ia mesti ngutang. Ayahnya sakit-sakitan dan sulit mendapatkan obat-obatan. Listrik selalu tiba-tiba padam, ketika ngobrol-ngobrol di ruang tamu, ketika sudah menarik selimut untuk tidur, dan bahkan ketika mereka sedang mencukur rambut. Keluar dari Gaza pun rasanya sulit sekali selain karena persoalan administrasi. Jehad bersama anak-anak muda lainnya menghabiskan hari-hari terkungkung tersebut dengan melompat-lompat dari satu tembok rapuh ke tembok rapuh lainnya. Dengan harapan, lompatan mereka bisa mengantarkan ke penghidupan yang lebih baik.
Gerosa mengemas kehidupan Jehad dengan pendekatan dokumenter observasional. Gerosa tidak mewawancarai subjeknya. Gerosa juga tidak menampilkan dirinya dalam rentetan peristiwa asli yang dialami oleh subjek dalam filmnya. Penonton hanya akan fokus mengikuti kegiatan sehari-hari Jehad dan anak-anak muda di Gaza. Meski pendekatan jenis ini sudah sangat sering dilakukan dalam merekam peristiwa kemanusiaan, tetapi One More Jump masih terasa begitu otentik. Ia seakan menjadi time capsule yang masih terus relevan ditonton oleh penonton di belahan dunia manapun seiring berjalannya waktu.
Sepanjang film, peristiwa yang turut dibangun dengan dialog nahas dan tragis itu tidak dikemas secara emosional yang berlebihan. Film sering kali langsung memotong adegan yang kiranya hendak menampilkan emosi yang meledak-ledak. Seperti contoh, ketika anak-anak muda itu menyatakan tidak percaya akan punya masa depan yang baik, atau ketika mereka menyadari bahwa tidak ada pihak yang membela mereka. Film tidak mengompori para penonton untuk meneteskan air matanya atau merasa iba kepada mereka. Jarang pula terdengar lagu pengiring yang bernada emosional. Satu-satunya rekaman yang cukup gamblang memperlihatkan emosi subjek adalah ketika Jehad meminta izin kepada orang tuanya.
Dalam film ini, anak-anak muda Gaza juga terlihat tidak memiliki masalah stabilitas emosi. Meski hampir tiap siang dan malam langit bergemuruh dengan bom Israel, nyatanya mereka masih kuat dan terkesan santai menonton video pengeboman tanah air mereka lewat handphone. Ketika Israel sedang membombardir jalur Gaza, mereka bersama warga Palestina yang lain malah mendekati TKP dan menantang tentara Israel. Di titik lokasi penyerangan tersebut bahkan masih bisa ditemukan warga menjual melon dan jajanan lain yang tak terduga. Mental semacam ini sudah muncul pada awal-awal film dimulai. Di puing-puing bangunan, kelompok parkur itu cosplay menjadi tentara Israel yang membunuh warga Palestina dan mereka semua menertawakannya.
Apa yang terekam oleh Gerosa setidaknya mewakili bagaimana mereka sehari-hari. Jika mencoba untuk mendekatkan pada konteks tahun sekarang, warga Palestina tidak punya waktu lagi untuk memikirkan bagaimana perasaan dan mental mereka. Kendati demikian, menurut survei Biro Pusat Statistik Palestina, 71% dari populasi orang dewasa di Gaza menderita depresi. Namun, Gerosa nampaknya memang sengaja untuk tidak menunjukkan orang-orang Palestina yang terganggu kesehatan mentalnya. Ia berfokus memunculkan harapan dan upaya kecil warga Palestina dalam menikmati hidup yang serba tidak terjamin, salah satunya adalah lewat hobi parkur anak-anak muda Palestina.
Cita-cita personal Jehad, Abdallah, dan gerombolan komunitas parkur dalam film sebenarnya sangat unik. Sejarah parkur sendiri berkembang atas dasar keinginan meloloskan diri dari sesuatu yang sulit. Sebagai olahraga, parkur bisa disebut sebagai bentuk latihan untuk self–defense dan flight (kabur). Olahraga ini dipopulerkan oleh anak muda Prancis bernama David Belle yang percaya bahwa parkur punya filosofi melewati rintangan dengan cepat dan efisien.
Menyematkan parkur dalam diskursus Palestina mungkin terdengar aneh di awal. Namun, seiring film bergulir, parkur menjadi salah satu olahraga yang masuk akal untuk dilakukan. Ia tidak membutuhkan alat atau tempat yang mewah. Kemewahan yang barangkali dibutuhkan adalah soal keberanian untuk bergerak, berlari, dan melompati ketakutan-ketakutan. Berani untuk mengangkangi segala bentuk penjajahan materiill maupun mental yang terus-terusan disasarkan kepada anak-anak muda penerus bangsa Palestina.
Film One More Jump juga dengan cerdik menangkap momen-momen keberanian anak-anak muda tersebut. Pada opening film, kamera dengan teknik frog eye dan long shot mengikuti gerakan kaki para pemuda yang penuh semangat menyusuri persimpangan Gaza. Gerakan-gerakan parkur para pemuda acapkali direkam dengan wide shot yang memberi kesan pada kebebasan yang begitu luas ketika mereka melakukan olahraga tersebut. Dalam momen-momen intim, ketika mereka mengungkapkan perasaannya, kamera menjelma seperti teman yang tidak jauh berjarak lewat teknik pengambilan gambar close up. Di sisi lain, kamera juga sering statis dan dari jarak jauh dalam merekam hal-hal emosional. Shot semacam itu membuat penonton seperti hanya mengintip sekelebat kehidupan mereka tanpa tahu lebih dalam tentang sebenarnya apa yang mereka rasakan.
Contoh menarik dari shot jarak jauh tersebut bisa dilihat ketika kamera merekam kehidupan Abdallah di Eropa. Suatu momen, Abdallah tampil dalam kontes parkur dunia di Swedia. Penampilan Abdallah hanya direkam oleh kamera di kursi penonton yang jauh dari tempat Abdallah beraksi. Dari kursi penonton tersebut, kamera tetap berhasil menangkap raut wajah Abdallah yang begitu cemas dan gugup menampilkan aksi parkurnya di hadapan kontestan dan juri. Jika Jehad dan kawan-kawannya melakukan parkur pada tembok-tembok reyot, Abdallah beraksi pada arena proper yang sulit ditemukan di Palestina. Porsi momen Abdallah dalam film cenderung lebih sedikit ketimbang kehidupan Jehad. Meskipun demikian, momen Abdallah tersebut cukup meninggalkan kesan yang besar berkat kepiawaian kamera Matteo Delbò.
Selain cita-cita merdeka, nampaknya cita-cita personal untuk menjadi atlet parkur pun sulit digapai oleh warga Palestina. Dalam film, Jahed terlihat begitu karut-marut mengurusi hal-hal administrasi untuk mengejar cita-citanya itu—hal yang mungkin terasa sederhana bagi penonton Indonesia. Apa daya, yang penonton saksikan di layar adalah kehidupan asli seorang warga Palestina dalam kemelut penjajahan yang tiada putusnya. Pola-pola penjajahan serta kesusahan yang dialami warga Palestina tersebut masih terus terjadi hingga sekarang di tahun 2023. Kendati begitu, film dokumenter tanpa tambahan bumbu drama ini, mampu dengan sepenuh hati menjahit dan merawat realitas harapan-harapan personal para warga Palestina.
Realitas harapan yang mungkin terlewat tertangkap dalam unggahan media sosial. Kisah skena parkur yang digerakkan oleh anak-anak muda Palestina ini berhasil terekam secara apik selama 83 menit. Sayangnya, penayangan film ini masih sangat terbatas sehingga film masih tergolong eksklusif dan masyarakat belahan dunia lain sulit untuk mengetahui serta memahami kemerdekaan bagi warga Palestina dari kacamata olahraga.
Film ditonton pada Palestine Cinema Days yang diselenggarakan oleh Indocs dan Asia Justice and Rights pada Jumat, 3 November 2023.