Introverts of the World, Unite!
Dalam submisi Open Column ini, Fatimah Yusuf bercerita tentang hal yang baru ia sadari setelah dewasa: pentingnya diary bagi kesehatan emosi, terutama bagi para introvert yang tidak mudah menceritakan pengalaman atau perasaannya kepada orang lain.
Words by Whiteboard Journal
Mungkin kita tidak akan mendengar atau mengalami problem-problem seperti menyalahkan, membenci, hingga menyabotase diri sendiri, kalau saja konsep mencintai, menghargai, menyadari, dan memanusiakan diri sendiri—yang saya percaya sudah ada sejak dulu—“berhasil” disosialisasikan oleh orang-orang di lingkungan sekitar.
Dulu, saya termasuk remaja yang senang menuangkan perasaan ke dalam diary. Entah bagaimana, pada masa itu, menulis catatan harian terasa begitu mempesona. Jauh berbeda dibanding sekarang, di mana saya harus memaksa diri untuk menulis.
Cerita-cerita yang saya curahkan ke dalam diary tidak jauh-jauh dari romansa anak sekolahan yang kerap memendam rasa cinta atau perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Sepanjang menjalani masa sekolah, saya tidak pernah merasa relevan dengan kenangan manis berelasi dengan lawan jenis. Lantaran, perasaan kagum dengan kakak kelas atau teman laki-laki pasti berakhir mentok dalam catatan dan tidak akan terungkap.
Saya tidak terbiasa berada di lingkaran remaja yang leluasa menceritakan sedang berpacaran dengan siapa. Biasanya, remaja perempuan yang tidak bernasib jomblo adalah mereka yang berpenampilan atraktif, senang bergerombol ke kantin, dan ringan menebar senyum. Seleksi alam mempertemukan saya dengan para pelajar yang gemar memendam perasaan dan menjauhi hal-hal yang mengundang atensi orang lain.
Diary menyelamatkan saya yang tidak tahu dan tidak bisa bercerita ke siapapun. Setiap malam sebelum mengulangi pelajaran, saya selalu meluangkan waktu untuk mengurai pengalaman hari itu ke dalamnya. Rasanya puas sekali bercakap-cakap dengan diri. Tidak ada ketakutan untuk berterus terang. Menulis catatan harian merupakan momen intim yang menyenangkan.
Entah berapa lama kebahagiaan dari aktivitas “curhat” tersebut saya rasakan. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu perlahan memudar. Saya tidak pernah lagi menyentuh diary semasa kuliah. Kegiatan mencatat beralih medium ke aplikasi notes di hape pintar. Sedikit demi sedikit, saya semakin berjarak dari sensasi ketika pena menari di atas kertas.
Keberjarakan dari diary rupanya dapat memunculkan penolakan terhadap diri sendiri. Saya menyadari hal itu belakangan kala mengobrol via chat dengan seorang kawan. Pada suatu malam, sang kawan bercerita tentang pengalamannya melepas kekesalan melalui diary. Ia mengungkapkan bahwa menulis membuat emosinya tersalurkan dengan baik, sehingga ia bisa menerima emosi-emosi tersebut tanpa berusaha keras mengingkari.
Menulis memang menyehatkan. Saya memberi afirmasi bahwa kamu berada di jalur terbaik ketika menuliskan emosimu.
Celakanya, saya sempat terhempas juga di momen sesak kala memutuskan untuk melenyapkan isi diary. Mengingatnya membuat saya sedih, menyesal dan sadar perihal kebencian pada diri.
Saya tidak tahu persis kapan peristiwa penghancuran itu. Kalau diingat-ingat, kejadiannya berlangsung saat saya berstatus mahasiswi. Di masa itu, kegiatan mencatat hanya berkisar pada materi kuliah. Suatu hari, saya iseng-iseng mencari dan mengumpulkan catatan dari lemari belajar. Tidak sulit menemukannya. Diary pertama saya bersampul merah muda dan lumayan mencolok. Terdapat ilustrasi kartun gadis bergaun. Berukuran separuh dari buku tulis biasa. Bagi saya, perasaan itu spesial sehingga medium penyimpanannya tidak boleh sembarangan dan harus menarik.
Setelah menemukan diary tersebut, saya lantas meluangkan waktu untuk membaca isinya. Tebak, apa responsku? Malu dan menyangkal! Alih-alih bersyukur dan menertawakan masa lalu, yang saat itu muncul justru rasa tak nyaman. Saya menganggap kenangan itu tabu. Segalanya terasa naif dan tidak pantas.
Merasa denial mendominasi, saya memutuskan untuk menepis apa yang telah tertulis dengan mencabik lembaran diary, meremasnya, lalu buru-buru membuang semuanya. Lantaran tidak tahan, langkah gegabah pun terpilih. Saya juga sempat khawatir jika suatu saat diary itu akan berpindah tangan. Catatan rahasia saya diakses oleh orang lain. Sebuah bayangan buruk yang sebenarnya belum tentu terjadi.
Pengalaman demikian menuntun saya pada kesimpulan bahwa perkara menerima diri sendiri tidaklah mudah. Perasaan yang tadinya memiliki rumah aman dapat runtuh sekejap. Waktu itu saya yakin belum mengerti ide tentang pengabaian emosi dan tahu-tahu praktiknya timbul lebih awal.
Lirik lagu “Taruh” karya Nadin Amizah tepat sekali menggambarkan kasus ini, “Hancur lebih mudah dari bertahan.”
Dokumen berharga bernama diary itu sirna tak bersisa. Kini, pelan-pelan, saya belajar menerima diri apa adanya dan memandang kegiatan menulis sebagai upaya membebaskan diri untuk “menjadi”. Saya kembali berusaha membangun keterbukaan, kenyamanan, dan keterhubungan pada momen kekinian.
Di samping menerima, penting juga untuk grow with growth mindset. Mengadopsi growth mindset atau pola pikir yang dinamis dan senantiasa berkembang membantu kita bergerak menuju perbaikan demi perbaikan.
“Seperti apapun keadaanmu hari ini, jangan dihargamatikan,” sabda Fahruddin Faiz. Kemelut yang kita hadapi bukanlah akhir yang menentukan segalanya.
Yang fana adalah hasil, proses abadi. Setiap pekerjaan meniscayakan proses, termasuk menulis. Saya mencoba tidak terobsesi lagi pada hasil dan mulai meresapi prosesnya. Yang tidak kalah esensial adalah terbuka pada kritik dan apresiasi. Kritik menolong kita untuk memahami suara dan sudut pandang lain. Apresiasi menguatkan kepercayaan diri kita.
Lalu, bagaimana jika saya kembali berhadapan dengan kecemasan dan perasaan malu ketika menjumpai kenangan? Ya… kenapa tidak menyikapi segala rasa yang datang dengan merangkulnya?