On Dealing with The Homogeneity of Metal Music and Environmental Consciousness with Karina Utomo
Kami berbincang dengan Karina Utomo, setelah panggungnya di Rossi Musik bersama band black metal-nya, Kilat, untuk mengeksplorasi pengalamannya bereksperimentasi dengan musik hingga berbagai keresahannya akan “rumah” manusia.
Words by Whiteboard Journal
Words: MM Ridho
Photos: Ayu Ghia
Dari band Young and Restless, High Tension, RINUWAT, hingga Kilat, Karina Utomo telah melakukan banyak eksperimentasi musikal. Memulai karier musiknya dengan hardcore/punk dan kini aktif bersama band yang mengusung genre black metal, perjalanannya mengolah suara banyak diwarnai oleh pengalaman hidup yang jauh dari tanah kelahiran. Hal tersebut pula yang banyak berkontribusi untuk menempa kepekaannya terhadap bumi, menyampaikan cerita dengan agresif namun penuh sensibilitas, dan komitmennya untuk terus melakukan eksperimentasi.
Sambil memproses dentuman musik Kilat yang masih melekat di kepala, kami berkesempatan untuk berbincang dengan Karina Utomo seusai penampilannya di Rossi Musik, panggung pertama dalam rangkaian panjang sayatan suaranya yang megah di Indonesia Tour 2023.
Dalam sebuah interview, Karina menyebut RINUWAT adalah proyek musik “pembebasan” (liberation). Bagaimana dengan Kilat? Apa proyek ini mempunyai makna yang signifikan dalam sebuah fase di hidup Anda?
Mungkin dua-duanya fungsi dan prinsipnya agak sama juga, ya. Tapi mungkin ingredients-nya agak beda.
Kalau memulai proyek atau sesuatu kan selalu ada niatnya, tapi belum tentu nanti manifestasinya, fungsinya menjadi itu. Itu justru yang membuat proses berkolaborasi dan juga dalam proses performance jadi suatu kawasan untuk bisa mendapatkan refleksi. It’s a very revealing process.
So, you can have particular intentions for projects, and what kind of format, genre, or parameters. But, the exciting part for me is the process of collaborating and what happens in the performance realm when it’s very sort of treacherous and alchemizing because you’re making something together with your collaborators, but simultaneously, you’re also relying on the setting. And when I say the setting, it’s like secara geografi kita ada di mana, yang berpartisipasi siapa, itu kan semua masuk. Jadi, dalam proses itu justru kayak niatnya terkabulnya di situ.
Bagaimana pengalaman hidup sebagai diaspora di Melbourne membentuk karakter musik Karina?
Jadi, saya asli Jawa dan besar di Jakarta. Tapi keluarga saya pindah ke Australia sejak aku masih kecil. Jadi, dalam beberapa proyek musik sebelum RINUWAT dan sebelum Kilat, itu saya selalu buat musik dengan bahasa Inggris. Tapi juga, sebenarnya cerita-cerita dalam lagu-lagu itu niatnya selalu kayak ingin pulang, atau bawa cerita-cerita dari Indonesia. Dan itu juga menjadi kawasan untuk bisa mencari makna yang lebih dalam, penelitian, pokoknya banyak fungsinya. Tapi dalam proses itu, karena pengalaman saya sebagai imigran, banyak [membicarakan tentang upaya] diri sendiri untuk berasimilasi. Jadi biar bisa bahasa Inggris, biar bisa fit in.
Dan juga di Australia itu sejarah rasisme, how they treat the indigenous First Nations Australians, itu banyak genosida kultural dan pokoknya. Maksudnya, banyak yang meng-inform saya to question apa yang terjadi dalam proses asimilasi ini untuk diri sendiri. Saya penggemar metal tapi saya juga concern kalau musik saya nanti lama-lama juga jadi homogenous. Itu bagi saya masih kurang. Walaupun saya orang Indonesia yang main musik metal di Australia, dan walaupun banyak lagu-lagu saya yang memiliki cerita dari negeri sendiri, dari pengalaman sendiri, tapi saya masih menceritakannya dalam bahasa Inggris. Bagi saya masih kurang. Sehingga, saya ingin mengeksplorasi dengan pakai bahasa Indonesia dan juga eksperimentasi dengan bahasa Jawa.
Jadi, untuk proyek kayak merapat jarak antara dari kecil sebenarnya tidak bisa bahasa Jawa karena bahasa Indonesia itu lingua franca. Itu kan sejarahnya juga sama di Australia: banyak orang First Nations yang dilarang pakai bahasa pribumi. Dan di Indonesia juga kita kan banyak yang nggak bisa bahasa dialek nenek moyang. Sehingga, banyak pengetahuan dan kekuatan yang kita jadi nggak terkoneksi lagi. Jadi, enaknya kalau ada proyek musik atau proyek kreatif, kita bisa bereksperimentasi mencari unsur-unsur itu dengan cara sendiri. Ya, itulah permulaan memakai bahan-bahan yang berbeda untuk membuat musik yang kontemporer.
Aku teringat satu hal mengenai sejarah kelam Australia dan Indonesia: kolonisasi dan genosida. Sehubungan dengan ini, apakah Karina ada cerita mengenai beradaptasi, hidup, hingga making money di negara yang memiliki sentimen dan kebencian terhadap POC (mengingat adanya recent cases of Asian hate di Australia)?
Itu pertanyaan yang kompleks ya, karena penindasan dan kolonialisme itu bukan hanya di Australia atau Indonesia. Itu juga salah satu topik yang saya sudah pelajari lebih dari 15 tahun. Orang Jawa juga melakukan yang sama, seperti yang terjadi di West Papua. Dan walaupun saya orang Jawa dan pertalian orang Jawa dengan tanah itu sangat kental, tapi at what cost? Itu karena simultaneously kita mengambil tanah orang, militerisasi, dan Jawanisasi dampaknya di bagian lain Indonesia, it’s genocide as well.
Jangan takut untuk reclaim. Ambil kembali! Karena banyak yang sudah diambil dari kita juga. Jadi, it’s up for grabs.
Saya tinggal di tanah rampokan. Itu Australia tanah rampokan semua. Dan itu sejujurnya sangat menyedihkan, karena sebagai orang Jawa saya tahu pertalian yang kental itu sangat bermakna dengan tanah sendiri. Pokoknya it’s all there, it’s tangible. Kalau di sana itu tuh hampir hilang dan sangat sedih melihatnya. Actually, this is one of the oldest civilizations with so much knowledge and connection to land, and it’s devastating. It’s really terrible. Jadi, kalau di Australia ada semacam acknowledgement secara formalitas kami berada di tanah siapa, tanah suku pribumi yang mana. Dan walaupun itu formalitas, tapi ya fungsinya adalah supaya kita jadi selalu ingat, gitu. Jadi selalu ingat gitu, nggak sembarangan, dan selalu mengingat ini tanah siapa.
Mengingat black metal dan sejarahnya yang lekat dengan rasisme dan misoginisme. Kenapa Karina memilih genre ini di proyek Kilat?
Musik itu banyak gatekeeper-nya. Dan menurut saya, jangan takut kalau misalnya suka genre sesuatu, suka formula-formula sesuatu—itu bukan milik siapa-siapa. Jadi, tugas kita jangan takut untuk reclaim. Ambil kembali! Karena banyak yang sudah diambil dari kita juga. Jadi, it’s up for grabs. Dan juga dalam proses reclaim itu, kita bisa pakai unsur-unsur kita sendiri. Kita pakai ingredients yang lebih menarik. Karena black metal itu juga homogenous. Banyak yang pakai unsur-unsur yang sama, lama-lama kita…
Jemu?
Tapi jangan salah paham! Saya suka banyak typical black metal juga. Tapi ya, itu menariknya. Itu kan seperti language juga, kan? Ada formulanya, ada parameters-nya, jadi enaknya main-main di kawasan itu. Kita bisa pake ingredients sendiri, tapi masih dalam dalam kawasan black metal.
Dari Young and Restless, High Tension, RINUWAT, hingga Kilat aku yakin prosesnya tidak mudah, sampai blood, sweat, and tears involved. Apakah perjalanan musikal ini juga mencerminkan pendewasaan Karina? Sekaligus, adakah kaitannya eksperimentasi ini dengan hidup berpindah-pindah sebagai diaspora?
Ya, mungkin ada. Saya nggak pernah memikirkannya seperti itu. Tapi mungkin kamu benar juga. Tapi kalau menurut saya begini ya… Bagi saya [ini] bukan susah payah, itu disiplin. Karena yang paling penting bagi saya yaitu suara saya itu harus dalam state yang tertentu untuk bisa kuat dan volume-nya besar, dan bisa improvisasi dan segala macam itu kan secara fisik dan pikiran harus kayak at a particular level. Nah tapi, untuk proses ke level yang “itu” berarti saya juga harus disiplin jaga kesehatan, selalu warm up, warm up suara, banyak tidur. Dan itu ternyata fungsinya sangat beneficial. Jadi, saya merasa salah satu fungsi musik yang ternyata baru kelihatan pada saat umur hampir 40 tahun, membuat badan dan emosi menjadi satu entity.
Tapi itu kalau dalam proses berkarya, particularly in performance, itu kan semua harus kayak jalan semua gitu, dan juga dalam proses improvisasi. So, yeah, it’s really beneficial actually. So, bagi saya, waah rezeki. Hahaha.
Tapi mungkin juga, Mungkin pengalaman diaspora juga lumayan unik. Karena untuk generasi saya, rasisme masih banyak. Waktu saya pindah ke Australia, kita masih tidak ada bahasanya untuk pengalaman-pengalaman tertentu. Kami cuma hanya tahu, itu rasis, diskriminasi, gitu. Jadi, reaksinya itu asimilasi. Asimilasi itu bisa dalam bentuk: biar logatnya langsung hilang gitu, atau biar bisa bercanda dengan kayak orang Australia, [seperti] sarkasme. Pokoknya nyelip gitu. Karena reaksi survival. Survival instinct, survival method.
Untuk bertahan, biar bisa hidup mudah, itu lebih gampang asimilasi daripada merapat jarak dari negeri. Tapi sekarang kita untuk generasi yang umurnya 20–30 tahun, dan generasi di bawahnya lagi itu sekarang udah lebih banyak bahasa—when I say bahasa, I mean like, lebih banyak ways to describe your experience and to understand it and navigate it better. But back then, gak tahu lagi metodenya gimana.
Tapi ya, itu juga fungsi musik, terutama musik punk. Punk, hardcore, metal itu kan semua di dalam satu umbrella. Pokoknya pintu masuknya lewat punk, karena kalau main gitar nggak begitu bagus masih okelah asal berekspresi gitu. Tapi, lama-lama kan ingin mendalam explore, jadi itu semua genre-genre musik bagi saya banyak fungsi yang beneficial untuk menavigasi diri sebagai diaspora.
Dengan akses terhadap informasi dan knowledge yang semakin accessible, anak muda pun semakin terbuka untuk bereksperimentasi (terbukti dengan Senyawa dan Gabber Modus Operandi yang melakukan eksperimen dengan disiplinnya masing-masing, sampai mendapat perhatian global). What are your thoughts on today’s generation and them experimenting?
Tentu saja bagus banget! Eksperimentasi itu penting karena gak bakal [ada yang namanya] tiba-tiba bangun tidur, tau-tau jago main gitar, tau-tau jago teriak. Itu semua ada prosesnya. Misalnya, wah aku suka genre musik ini, pengen ini, terus misalnya eksperimentasi kayak kurang, itu pindah ke lain-lain. Itu tuh perlu. Bagi saya, meski main musik itu asik, bisa jalan-jalan sama temen-temen, bisa main dengan band-band yang saya suka, tapi justru benefit-nya sangat personal. Misalnya, waktu masih di usia Young and Restless, I didn’t know what I was doing. Like, I knew that ada compulsion-nya gitu. Pokoknya pengen aja gitu, banyak yang ingin diekspresikan, banyak yang ingin diteliti, dan perform. Tapi benefit-nya baru bertahun-tahun setelah bandnya sudah bubar. Jadi sering sekali, gak usah [dijadikan] justification “why are you doing it?” Just do it! And you don’t know, that’s the exciting part of experimenting and specifically improvising. Kilat kalau bikin set itu banyak improvisasinya.
Dan itu juga rasanya lebih, apa ya… kita lebih berada “pada saat itu” juga. Lebih present, dan juga lebih visceral. Karena mendengar bukan hanya dengan telinga, tapi dengan semua indera. So, yeah, absolutely. Everyone should be experimenting dan jangan takut kurang tahu caranya.
Apa yang bisa kita lakukan untuk membawa eksperimen ini ke tingkat lain? Primarily for aspiring artists here.
You know what, kalau menurut saya, Indonesian artists are getting a lot of attention, people are really intrigued and… justru banyak Western artists that are so jealous. A friend of mine told me that, “You’re so lucky, you have so much to draw from.” We have an abundance of things, traditions.
Misalnya, waktu itu Mas Yanu dari Raja Kirik bilang, “Kamu kenapa gak bisa bahasa Jawa? Belajar aja. Ngomong aja. Karena kamu orang Jawa pasti bisa,”
Jadi, itu istilahnya kalau [dalam] bahasa Inggris: innate, atau sudah ada dari lahir. Dan itu, orang Indonesia tuh banyak rezeki, banyak hadiah dari nenek moyang. Jadi, nggak usah ngeliat-liat ke orang lain—itu semua sudah ada. And it’s exciting!
Kita, sebagai orang di Global South, selalu dekat dengan alam dibanding orang Barat. Dan belakangan ini saya merasa banyak musisi yang mengkampanyekan musik-musik dengan tema merawat alam, back to mother nature. Bagaimana Karina melihat fenomena ini?
Saya juga sangat dekat dengan alam. Jadi, saya merawat lebah dan juga beberapa tahun ini kayak semacam [jadi] sukarelawan nanam bibit pohon indigenous. Kalau menurut saya, itu karena climate change. Kita nggak bisa bereksperimentasi dan bermusik kalau dunia ini gak dirawat. Dan itu sebenarnya masalah yang sangat urgent. Jadi, menurut saya ini fenomena yang bagus karena membangunkan semua orang untuk sadar. Dan menurut saya bukan suatu tren ya, karena memang itu urgent. It’s urgent. Apalagi saya tinggalnya di Wurundjeri country. Itu di dekat banyak bush line, itu rawan kebakaran.
Itu suatu kenyataan. Tinggal di tempat-tempat yang seperti Australia dan banyak tempat-tempat lain di dunia, itu semua temperaturnya naik, nggak seperti tahun-tahun yang lalu karena climate change. Dan juga, alam tuh banyak cerita, banyak knowledge. Misalnya amati saja seminggu, dua minggu, you will notice things, you know? Dan itu ada rhythm-nya sendiri juga. Dan mungkin untuk musisi, korelasinya juga, itu fungsinya juga sama. Kita mendapatkan ketenangan atau pengetahuan dari bermusik. Dan itu juga, kalau kita dekat dengan alam, merawat tanaman, atau menumbuhkan, itu kan kreasi juga. Kita buat musik, itu kreasi, kita nanam bibit, atau merawat lebah, itu kan juga creative practice juga. Kita nggak bisa bereksperimentasi dan bermusik kalau dunia ini gak dirawat. Dan itu sebenarnya masalah yang sangat urgent.
Kalau sepengetahuan Karina, apa hal yang paling concerning kalau membicarakan Indonesia?
Waduh. Aku bicara dengan salah satu artis yang seniman yang art-nya benar-benar bagus dan semacam aktivis yang sering berkomentar tentang apa sih masalah-masalah di Indonesia. Cara dia melakukannya adalah dengan cara yang sangat dipertimbangkan dan aku bilang sama dia, mengingat karena saya tidak tinggal di sini, itu rasanya guilty banget, kayak semacam disassociating, you know? Karena kayak… apa ya, karena sangat ingin dalam proses main musik kan ingin mendekati, ingin merasa kayak… Apalagi pas waktu kita nggak bisa traveling ya, itu proyek RINUWAT dan Kilat itu sangat… fungsinya untuk kayak mendekati diri ke Indonesia.
Tapi, untuk yang masalah concerning itu, wah… I don’t know where to begin. That’s a big question.
But, I guess what I’m trying to say is that there’s definitely a change in the music and art that the Indonesian people are making. There’s more of a global outlook, and more of a connectedness to the rest of the world. There’s enough energy for activism for making change and people doing things in abundance that’s going to make a positive difference. Especially, like, a lot of the younger generations that I’m not feeling despaired of… like, “oh no, the concerns are not going to [be addressed].”
And that’s such an incredible function of art and music is that you get that energy to make changes however small, and also to be connected as a collective, as a community, and that also gives you this kind of sense that “it’s possible” with/in a collective where you’re collaborating and make positive changes.