Komersialisasi, Kesejahteraan Musisi, dan Industri Musik bersama Sony Music Entertainment Indonesia
Kami berbincang bersama Muhammad Soufan, Country Head Sony Music Entertainment Indonesia, mengenai industri musik tanah air, baik dari sudut pandang pasar, musisi, hingga apa arti menjadi label musik.
Words by Shadia Kansha
Foto: Sony Music Entertainment Indonesia
Tak terasa seperempat abad Sony Music Entertainment Indonesia mendampingi pemusik-pemusik berkarya. Untuk segala penghargaan dan pencapaian yang telah diraih, label musik ini mengakui bahwa kesuksesan itu adalah hasil kerja keras yang terukur dan didukung oleh pengalaman yang panjang. Bersama Muhammad Soufan, Country Head of Sony Music Indonesia, kami berbincang mengenai industri musik Indonesia, baik dari sudut pandang pasar, musisi, hingga apa arti menjadi label musik.
Selamat 25 tahun! Di era yang baru ini, Sony Music mulai tap in ke generasi Z ya? Bagaimana Sony Music melihat generasi tersebut sebagai pasar musik?
Sebenarnya kita nggak 25, kita 27. Akan tetapi karena COVID-19 memakan waktu 2 tahun, barulah kita bisa merayakan sekarang. So, in another 3 years from now, kita udah 3 dekade. At the same time, Sony Music Group masuk 100 years; a century.
Kenapa Gen Z? Kedepannya generasi ini jadi yang produktif ya. Tidak melulu atau mutlak kita akan ke Gen Z, tapi itu menjadi satu cita-cita kami: untuk membawa Gen Z ini menjadi musisi yang produktif. Kurang lebih seperti itu, syukur-syukur sampai bisa mendunia.
Berbicara mengenai mendunia, menarik jika kita membicarakan pasar musik dunia yang lagi sering melirik musisi-musisi Asia. Bagaimana Sony Music memanfaatkan kesempatan tersebut?
Sebenarnya Asia itu pasar yang seksi ya menurut si produsen. Aku bilang produsen karena selama ini kan produsennya Eropa dan Amerika, sehingga kita lebih seringnya ada di posisi konsumen. Mereka lihat kebiasaan kita dan disanalah mereka masuk. Kalau kita lihat sekarang ini mereka juga berusaha untuk masuk ke pasar kita, entah itu dari musik ataupun dari film. Dengan memberikan bumbu-bumbu anak daerah lah. Kayak di film tiba-tiba ada Iko main, terus ada artis yang populer disini dijadikan teman duet. But that’s business. Dengan begitu, mereka juga memperkenalkan market mereka. Trik-triknya adalah seperti itu.
Nah, lambat laun memang nggak bisa dihentikan juga, Asia ini jadi berkembang sendiri. Dikenalkan dulu, lalu akhirnya terkenal. Dulu orang nggak ada yang kenal BTS kan? akhirnya semua jadi kenal BTS. Dan akhirnya, mereka pun juga mendapatkan penghargaan, baik itu recognition ataupun award.
So, kita pikir ini sudah saatnya. Aku nggak mau bilang strike back ya sebenarnya. Zaman sekarang zaman beraliansi, zaman berteman. Karena sekarang sudah no boundaries sih. Ya kan? kalau udah no boundaries, ya berarti “lo nyanyi, gue bisa suka lagu lo” atau “gue yang nyanyi, lo suka lagu gue”.
English spoken [songs] mungkin itu satu langkah. Kemudian, strategi marketing juga untuk bisa masuk ke penetrasi ke targetnya mereka. Nah, kabar baiknya Sony Music itu kan dia mempunyai aliansi-aliansi tiap negara – Sony Music ini, Sony Music itu – Nah, sehingga kita bisa melakukan sesuatu tapi yang sifatnya lebih masif gitu di tiap negara itu. Toh, mereka yang tahu bagaimana cara approach marketnya dengan produk kita. Saling “take advantage” gitu ya.
Di pasar musik sekarang, viral sering menjadi barometer kesuksesan suatu lagu. Apakah Sony Music juga menjadikan sebagai kriteria yang perlu dicapai?
Sebenarnya agak sulit ya. Karena musik itu kan datangnya dari hati. Bener ya? Jadi, no tipu-tipu inside. Sehingga kita tidak bisa bikin ini [lagu] untuk viral dan lain sebagainya. Nggak ada ingredients-nya buat itu. So, si marketing inilah yang membuat dia viral.
Sometimes viralnya bukan dengan lirik. Lagunya bisa saja viralnya datang dari si artis ini. Mungkin sosok artis ini memang lagi happening atau dijahit dengan visual sehingga akhirnya happening. Viral itu, menurut aku sih, diciptakan sih.
Kalau Sony Music sendiri melihat viral ini memang merupakan satu keberuntungan saja. Buat label tuh, “oh our music is going viral, then what should we do?”. Oh ternyata viral-nya karena ini? Ya sudahlah, kita dorong. Kurang lebih kayak gitu. Dan [viral] ada umurnya juga. Jadi daripada Nggak dimanfaatkan, mending dimanfaatkan.
Menurut aku sulit untuk membuat lagu mengetahui di depan akan viral atau tidak. Tapi kita bisa mengakomodir faktor-faktor yang membuat itu bisa viral.
Nah, salah satu unsur yang menunjang kesempatan viral adalah bagian konten atau visual. Social media presence is very important. Ketika berbicara mengenai ini, bagi Sony Music, mana dulu yang lebih penting, musiknya atau kontennya?
Kalau Sony Music selalu music first karena at the end of the day, our business is all about music. Our library is full of music. Jadi itu memang backbone-nya kita ya. Konten aku rasa, dulunya nggak terlalu happening eh tapi sekarang happening. Aku nggak tau nanti ke depan apakah konten masih happening atau tidak. Eh, tiba-tiba LED yang happening. Eh, kemudian mobil jalan dengan LED yang lebih happening.
We never know gitu. Jadi ini (konten dan visual adalah) sesuatu yang menurut aku mungkin masih bisa berubah-ubah. Oke, kita punya semua ini tapi apakah itu akan tetap seksi ke depan? We never know. Tapi musik? tetap bakal abadi.
Salah satu hal yang paling menarik dari 3 dekade berdirinya Sony Music Indonesia adalah merasakan pergerakan pemasaran musik yang bermacam-macam. Dari penjualan fisik yang banyak, terus pembajakan terjadi, dan sekarang kita menikmati streaming. Bagaimana cara Sony Music beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut?
That’s the beauty of music, it will never die. Whatever happens, itu cuma media. Tapi musiknya itself nggak akan mati. That is what we believe.
Kalau jaman aku tuh ya, dari kaset ke CD, waktu muter itu gila player-nya (alat pemutar) mahal banget. Gimana caranya? Di mobil semua orang masih pake kaset dan seterusnya. Tapi kita coba create pelan-pelan, jadilah pasar CD. Terus ada pembajakan. Kemudian kita mengambil langkah untuk membuat CD murah. Masih ada juga yang lebih murah. Akhirnya kita bikin CD dan VCD Karaoke. Eh, dibajak juga.
Akhirnya dengan waktu yang berjalan jadilah bentuknya, *-sekian-sekian-# ketik OKE. Jaman-jaman, “kamu cocoknya kerja di air” (hahaha). Sampai akhirnya datang budaya Download. Jadi setiap metode yang berubah, setiap zaman yang semakin maju, kita dekati playernya.
Sampai-sampai kita juga deketin pembajak. Kita ajak kerjasama. Put your enemy closer. Temuin mereka, aku ketemu mereka di satu gedung, di WTC. Banyak tuh, 12 orang. Terus kita buat deal disana.
Wah, jadi akhirnya ada perjanjian royalti juga ya?
Iya, kita bagi hasil. Jadi kita terima secara resmi dari mereka.
Lalu akhirnya masuk ke streaming, thanks to these platforms. Cuma agak ngeri-ngeri sedap juga nih. [Pendapatan] waktu streaming ini kan nggak sebanyak CD. Bayangin 40 ribu berlangganan sebulan. Kita dengar seribu lagu, berarti 40 perak satu lagu dibagi bersama publishing dan label. Belum lagi aggregator. Masing-masing dikasih royalti. Jadi, it depends on the number of streams. Maka, metode pendekatannya juga berubah.
Tapi good news-nya adalah karena kita punya konten, orang lain yang berpikir bagaimana caranya bisa mendengar lagu kita. Kebenaran juga, Sony punya perusahaan elektronik untuk memutar dan lain sebagainya. Jadi bagaimana teknologi kedepannya, mereka juga bisikin. Jadi Sony Music itu fokus ke Konten making nya Dan seiring berjalannya
Tapi kabar baiknya adalah, zaman dulu, bayangan aku ya, mungkin 20 tahun dari sekarang, kalau collecting society (Lembaga Manajemen Kolektif) sudah benar, kalau lagu di hotel dipungut, lagu di karaoke dipungut, semua musisi itu akan kaya. Supaya saat ada cowok anak band ngapel anak cewek ke rumah, nggak diusir-usir lagi karena takut nggak bisa ngasih makan. Nah, that’s my dream.
Berbicara tentang streaming platform, jika dilihat alur sejarahnya, ada untuk menghentikan piracy from happening. Bagaimana? Ya, dengan menawarkan musik dengan harga yang affordable. Tapi seperti yang diceritakan tadi, rasanya kok musisi seperti mengais-ngais royalti ya? Dari Sony Music sendiri adakah komitmen atau strategi untuk menjaga supaya musisi bisa tetap sejahtera?
Aku pribadi dan beberapa teman pencipta yang ada di ruangan, yang ada di kantor ini, termasuk juga aku sering ngobrol sama Mas Yovie, Mas Eross, Kang Armand Maulana (Gigi), gimana caranya supaya pada saat tua, pelaku musik ini sakit, nggak perlu juga temannya patungan buat berobat. Sekarang yang terjadi kan begitu ya. Sehingga akhirnya, ya walaupun satu dua poin aja, setidaknya pelaku di industri harus tinggalin legacy. Entah itu merangin bajakan, dan lain sebagainya. Bahkan mungkin kita bisa push bersama platform ini.
“Oke, apa sih plan lo untuk bisa mempunyai subscribers lebih banyak?”
Ada yang bilang pengguna mereka sudah 16 juta. Itu kan 5% dari populasi kita yang sudah di 280 juta. Ayo dong kita usahakan jadi 10%, sekitar 30 juta pengguna. Kan potensi duitnya lebih banyak. Negara lain nggak ada apa-apanya lho. Kita dengan 5% aja bisa jadi nomor 2 di South East Asia (setelah Thailand).
Inginnya sih, pemerintah bisa memurahkan internet. Kalau internet ini masuk ke semua pelosok dan orang mau menggunakan itu. Wow, sedap sekali. Konten jadi lebih dihargai dan pasti pelaku-pelaku di dalamnya juga akan lebih sejahtera.
Dari sudut pandang ketenagakerjaan, signed artist berada di situasi yang spesial. Mereka terikat dan berkomitmen pada label, tapi tidak bisa dikategorikan sebagai pegawai. Alhasil, mereka tidak memenuhi persyaratan untuk menerima tunjangan. Bagaimana cara Sony Music melindungi hak dan kesejahteraan musisi di bawah naungannya?
Sony Music memberikan insurance. Kita tidak memposisikan artis sebagai aset maupun pegawai, karena bagi kami mereka adalah partner. We exploit each other. I use you untuk menghasilkan konten, you use me untuk mengubah konten tersebut menjadi profit. Sebagai partner, mereka menggunakan network dan power kami.
Musisi independen kalau ditanya nggak mau approach label adalah karena mereka takut terlalu dibatasi kebebasan berkaryanya. Apakah Sony Music mau meluruskan pendapat tersebut?
Mereka pasti punya persepsinya sendiri.
Persepsi mana nih yang paling tepat untuk Sony Music?
Bagi saya, label adalah “penghambat” guna meyeimbangkan idealisme dengan komersialisme. Pasti banyak yang tidak suka idealismenya dihambat. Kita aja kalau ke orang tua terlalu diatur-atur, apa- apa kalau nggak dikasih juga pasti berontak. “Kan aku yang lebih tau aku maunya apa!,” padahal orang tua biasanya lebih tau yang terbaik untuk kita.
I’m not saying that we’re acting like parents who knows what’s best. Tapi kami adalah perusahaan yang bisa memberikan helicopter view dan memberikan jalan untuk mencapai kesuksesan. Contoh, manajemen di Korea Selatan sana, semua aspek dari hidup seorang idol mereka yang atur. Mulai dari jadwal sehari-hari sampai media sosial. Tidak boleh posting apapun tanpa proper look. This is the entertainment business. It’s all about image. At the end of the day, it’s also about profit. So we can grow bigger, together.
Jadi kalau ada orang yang alergi dengan major label, nggak salah juga. Tergantung sama kacamata mereka. Lo mau berkarya tapi suka-suka lo dan akhirnya berhasil, bisa aja.
Kenapa sih kita melakukan apa yang kita lakukan? Karena tujuan kita akhirnya tetap komersial. Kenapa harus komersial? Karena kami kan mengeluarkan uang di muka. Upfront. Invest. Jadi grow bigger together dan profit adalah tujuan tentunya.
Pada saat kita invest, ya kita commit. Kalau nggak jalan, si artis ga perlu membayar gaji karyawan, si artis nggak ada tanggungan. Si artis nggak berhutang pada label. Lalu kapan bagi hasilnya? Pas lagunya laku, baru kita bagi hasil. So, we think it’s fair.
Kebetulan, Sony juga mempunyai perusahaan distribusi, namanya The Orchard. Jadi bagi artis yang nggak mau diatur oleh label, monggo menggunakan jasa dari The Orchard ini.
Berkat teknologi, musisi bisa dengan mudah memulai karir mereka sebagai musisi. Bahkan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh label, sudah mulai lebih mudah ditangani oleh artis sendiri. Bagaimana kedudukan label dalam industri musik pasca pergeseran ini?
Tergantung, kalau artis melihat bahwa label itu fungsinya hanya sebagai perekam terus kemudian pendistribusi, ya sangat disayangkan karena kacamatanya agak sempit ya.
Label itu kan more than that. Kita punya network, kita bisa bantuin dia legal action, kita punya affiliates, kita punya keuangan, kita bisa tau kedepannya bakal seperti apa, karena kita ada di industri nya; kita pelakunya.
Hal-hal yang seperti itu mungkin yang tidak dilihat oleh beberapa teman gitu ya. Tapi apakah mereka salah? Nggak, itu cara mereka memandang dan menilai label.
Jika pekerjaan-pekerjaan label itu bisa dilakukan oleh mereka, ya silahkan. Tapi kalau mau lebih besar, kan pasti perlu uang, pasti perlu karyawan, perlu orang legal, mungkin perlu sewa ruko, kan berarti ada pengeluaran bulanan, mungkin sekitar 25-50 juta, gimana caranya dapatnya?
Si artis harus nyanyi, si artis harus show, harus bertahan, tapi kan ada batasan.
Mungkin ada cara yang kedua, pinjam uangnya atau menggandeng investor. Tentunya, dengan cara seperti ini, ada kewajiban untuk mengembalikan.
Cara yang ketiga, adalah bergabung bersama label. Di-invest sama label. Kalau rugi, nggak perlu ganti, karena si artis menjadi part of us. Jadi ya tak perlu menanggung kalau memang rugi. Kalau pas untung, baru kita berbagi. Karena kembali pada tujuan kami memang untuk grow bigger together dan profit tentunya.
Jadi, kembali pada mereka mau pilih jalan yang mana.
Kita berharap industri musik akan tetap kuat kedepannya, apakah Sony Music punya harapan tertentu untuk industri musik Indonesia?
Oke, yang pertama adalah kita berharap bahwa kemampuan dan keinginan orang Indonesia yang suka nyanyi dari Sabang sampai Merauke bisa terkabulkan dengan baik. Kedua, regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah, bisa membantu industri ini untuk menjadi lebih kuat.
Ditambah lagi dengan kekompakkan pelaku industri ini. Jadi jangan hanya label saja, jangan hanya hotel saja, restoran saja, cafe dan karaoke saja, promotor saja, tapi harus gabung semua. Nah dengan bergabung itu, maka kontribusi kita terhadap pajak negara akan lebih besar, sehingga mungkin kita bisa melakukan lebih banyak lagi.
Ditambah dengan regulasi pemerintah tadi. Kalau dalam hal ini sudah benar, nggak menutup kemungkinan kita bisa wujudkan industri musik yang baik.