Pengambilan Risiko yang Terbayar dan Eksplorasi yang Kadang Ambyar
Tentang keberhasilan dan beberapa catatan untuk Efek Rumah Kaca dari Konser Rimpang.
Words by Muhammad Hilmi
Foto: Plainsong/Narendra
Alangkah beruntungnya kita, kaum kelas menengah Jakarta dan sekitarnya, karena banyak hiburan datang menghampiri beberapa waktu belakangan. Banyak di antaranya bahkan nyaris tak terbayangkan belasan tahun lalu. Jika konsep mesin waktu itu nyata, maka coba kembali ke awal tahun 2000-an dan coba lihat bagaimana respons orang-orang saat mendengar berita-berita ini:
– Penonton sebuah festival musik merespons dengan baik saat penyelenggara harus mengganti musisi internasional dengan penampilan band lokal (Sheila on 7).
– Percayakah mereka kalau 2023 nanti akan ada film Barbie dengan narasi yang kuat mengangkat feminisme dan sukses secara finansial?
– Band dengan lirik politis, Efek Rumah Kaca, bikin konser di Tennis Indoor Senayan, berhasil mengisi penuh kapasitasnya, sampai-sampai anak presiden juga ikut menonton.
Semua yang terasa seperti mimpi di awal 2000-an adalah realita yang kita hidupi hari ini. Surreal. What a time to be alive.
Terkhusus poin terakhir, sebenarnya juga masih terasa utopis hingga menit-menit akhir. Seminggu sebelum acara, di acara konferensi persnya, dikabarkan bahwa tiket baru hanya terjual 80%, dan terlihat keraguan yang samar di wajah para personil, kru dan tim Plainsong Live, tentang apakah mereka bisa memenuhi target 4000 penonton nantinya. Pasalnya, acara yang dibangun dengan banyak ambisi dan melibatkan 13 kolaborator audio visual ini justru dijalankan tanpa sponsor. Semua pengeluaran akan ditanggung menggunakan uang penjualan tiket. Meski Efek Rumah Kaca sama sekali bukan band kecil, tapi mereka (bersama Plainsong) mengambil risiko besar di sini.
Secara momentum dan tajuk, Konser Rimpang juga tricky. Dari banyak respons dan cerita sekitar, lompatan artistik yang ERK lakukan di album ini mendapat mixed reception, banyak telinga masih lebih nyaman dengan konsep lama ERK. Jadi, ada beberapa loyal fans yang juga hesitant apakah harus datang ke konser ini.
Mereka tentu khawatir kalau ternyata keraguan audiens berlanjut hingga Hari-H. Bahkan, hingga sampai saat gate open, tim Plainsong masih belum bisa memastikan bakal sepenuh apa gedung terisi.
Tapi, rasa yakin kemudian datang di sekitar pukul 7 malam: antrian menuju pintu masuk mengular sampai keluar. Di dalam, baik di area festival maupun tribun, penuh terisi mata dan telinga yang sudah tak sabar. Surreal tadi kemudian menjelma nyata. Hal-hal yang sebelumnya terasa seperti risiko, kini tak lagi menjadi teror. Walau jelas khawatir tak berhenti menghantui, karena banyak juga eksperimentasi yang harus dibuktikan secara taji. Belum lagi beban untuk membuat hal yang lebih hebat—atau setidaknya berbeda—dibandingkan luar biasanya Konser Sinestesia empat tahun lalu.
Konser dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama, ERK membawakan repertoar untuk album “Rimpang” dan di sesi kedua memainkan kepingan terbaik dari diskografi mereka. Di panggung, personil ERK mengambil posisi di sekitar string installation karya Rubi Rusli. Dari sini, mulai terlihat bahwa tinggi ekspektasi mulai harus dilucuti. Secara medium, string installation bukan hal yang baru, dan ini tentu bukan masalah. Namun secara pengalaman, gagasan akan ruang yang menjadi fondasi pikiran dari instalasi ini sulit untuk dinikmati. Terutama bagi penonton di area festival yang hanya bisa melihat satu dimensi muka dari instalasi ini. Pengalaman berbeda memang didapatkan oleh penonton tribun yang bisa melihat ruang-ruang yang diciptakan oleh instalasi ini. Dan ini baru bisa dilihat oleh penonton festival di Instastories teman-teman yang duduk di tribun.
Masih dari treatment visual, ada harapan yang juga layu pada visual projection karya Arafuru. Memang, kabarnya jangka waktu pengerjaan visual projection ini tak lapang, tapi sulit mengapresiasi pilihan estetika mereka—yang banyak bermain dengan 3D shapes yang cukup generik—sebagai pendamping musik Efek Rumah Kaca, yang justru banyak bernyanyi tentang kehidupan yang lebih organik.
Ada juga catatan soal tata suara. Beberapa teman bercerita bahwa mereka kurang nyaman dengan output sound di sesi pertama. Terutama pada bagian backing vokal yang terasa tajam di beberapa bagian, dan juga agak pitchy di sejumlah kesempatan. Untungnya, perkara ini ditanggulangi dengan cukup baik di sesi kedua.
Secara musik, ada yang berhasil. Misalnya, saat mereka memperkenalkan sosok Ghandie (penyanyi yang terjaring dari sesi open mic Kios Ojo Keos) yang secara memukau membawakan “Hujan Jangan Marah”. Rasa kagum juga muncul saat Ubiet memberi kedalaman baru ketika bernyanyi bersama Adrian di lagu “Jingga”. Walau, jika boleh overly-critical, pukau yang muncul saat Ubiet mulai menyanyi, jadi tak terlalu istimewa rasanya karena beliau mengisi lagu sampai akhir. Sangat disayangkan, kemunculan Ucok (Morgue Vanguard) justru underripe karena tampil sedikit tersembunyi di belakang instalasi panggung, dan kehilangan momentum saat menyampaikan orasi tentang aktivisme di akhir lagu “Bersemi Sekebun”. Padahal, penampilannya sangat krusial mengingat cukup banyak lingkaran oligarki yang datang di barisan penonton malam itu.
Penampilan Adrian juga membuat kepikiran. Timbul dan padamnya Adrian yang harus ke belakang, kemudian maju lagi beberapa kali di set kedua rasanya bisa dibuat lebih smooth. Mungkin, dengan mengatur setlist sedemikian rupa sehingga lagu-lagu yang dinyanyikan Adrian dimainkan berurutan. Toh, tak ada sequence khusus yang harus dikejar di sesi kedua. Masalah setlist juga datang saat Gudtings memakan waktu yang cukup lama untuk setup—sedikit menurunkan pace acara. Pun secara kualitas, Gudtings juga patut dipertanyakan. Karena, setidaknya di malam itu, pemaknaan mereka untuk lagu “Kamar Gelap” terasa seperti nuansa baru yang sayangnya kurang perlu.
Tapi di luar catatan-catatan ini, sulit untuk tidak melihat betapa besar jalinan emosional lagu Efek Rumah Kaca dengan pendengarnya. Muskil untuk tidak merasa haru menyaksikan penonton ikut bernyanyi di hampir semua lagu di sesi kedua dan beberapa kali bertepuk tangan merespons beat lagu-lagu yang dimainkan. Kadang ini juga agak dilematis karena beberapa komposisi dimainkan dengan pola yang sedikit berbeda dengan aslinya, terutama saat Anda membawakan versi yang hampir 180 derajat baru untuk lagu legendaris “Desember”, juga saat The Adams bernyanyi acapella di lagu transedental lain, “Cinta Melulu”. Tentunya, sedikit kesulitan untuk sing along adalah risiko yang juga harus dimaklumi penggemar ERK, karena musik yang diusung Cholil dkk. selalu tumbuh—baik secara komposisi maupun bebunyiannya.
Jadi, secara umum, banyak milestones tercapai di Konser Rimpang, namun ada beberapa catatan yang mencegah datangnya taji kesempurnaan di sana. Dan ini, mungkin, harus dirayakan oleh semua. Karena jelas lebih membanggakan untuk jatuh bangun saat melakukan lompatan, ketimbang diam dan tenggelam dalam pencapaian masa silam.