Kebaya: Pakaian Praktikal Nusantara yang Jadi Elitis karena Orde Baru
Dalam submisi column ini, Naura Nadira menilik balik sejarah kebaya serta dinamika sosial politik yang menjadikannya terkesan elitis. Padahal, menurutnya kebaya merupakan cerminan identitas yang juga praktis digunakan di zaman kiwari.
Words by Whiteboard Journal
Sebagai varian busana perempuan, kebaya biasanya hanya dikenakan pada momen-momen tertentu seperti perayaan, upacara hari-hari besar atau acara pernikahan. Begitu lazimnya kebaya diterima dalam benak kolektif perempuan nusantara. Gagasan untuk mengenakan kebaya dalam kegiatan sehari-hari bukan hanya sebuah gagasan yang tidak populis, melainkan juga impraktikal bagi sebagian besar perempuan zaman kiwari.
Sebagai seseorang yang mendukung dan mengamalkan sendiri gagasan mengenakan kebaya dalam kegiatan sehari-hari, serta sebagai seseorang yang berinisiatif untuk mengarusutamakan gagasan tersebut kepada para perempuan Indonesia melalui akun Instagram @kebayadaily, tanggapan terkait ketidakpraktisan ini yang paling sering saya dapati. Hal ini juga yang kemudian memantik beberapa pertanyaan di benak saya.
Sebetulnya, apa saja alasan yang menyebabkan kebaya menjadi tidak praktis untuk digunakan lebih sering oleh perempuan dalam kegiatan sehari-hari? Bukankah kebaya pada era tertentu pernah menjadi pilihan busana untuk kegiatan sehari-hari, seperti misalnya di era pra-kemerdekaan?
Apa hal yang mendasari pergeseran cara pandang perempuan dalam melihat kebaya dari busana sehari-hari menjadi busana yang hanya dikenakan pada perayaan tertentu saja?
Pertanyaan-pertanyaan ini terlampau penting dan memikat rasa ingin tahu saya untuk dibiarkan tak terjawab. Oleh karena itu, saya menulis column ini sebagai salah satu upaya untuk mencari tahu.
Kebaya dari Era ke Era
Kebaya berasal dari bahasa Arab “qaba”, yang berarti pakaian. Kebaya merupakan busana atasan dengan yang biasanya dikenakan bersama bawahan kain yang dulunya dikenakan oleh perempuan Nusantara, terutama perempuan Jawa di era pra-kolonial sekitar abad ke-15 hingga ke-16. Awalnya, kebaya hanya dikenakan oleh para perempuan bangsawan. Namun, pergeseran zaman kemudian membuat kebaya pun akhirnya digunakan oleh masyarakat biasa.
Popularitas kebaya pada era itu meluas tidak hanya pada perempuan Jawa saja, namun juga pada perempuan Belanda yang menetap di pulau Jawa. Penggunaan kebaya ditujukan sebagai penanda perbedaan kelas dan status sosial antara priyayi, rakyat biasa dan non-pribumi. Bagi perempuan pribumi di era itu, identitas keningratan ditentukan oleh bentuk dan bahan kain kebaya yang digunakan.
Para perempuan priyayi menggunakan sutera, beludru atau brokat, sedangkan rakyat biasa menggunakan bahan yang nilainya lebih rendah dari bahan-bahan tersebut. Ketegangan hierarkis kebangsawanan antara perempuan Belanda dan perempuan Nusantara juga tak luput menjadikan kebaya sebagai salah satu sarananya. Perempuan Belanda menegaskan status sosialnya dengan mengenakan Kebaya putih berenda dengan kain batik yang dihasilkan dengan motif dan corak yang lekat dengan budaya Eropa.
Bergerak ke era kemerdekaan, adanya urgensi untuk membangun sebuah identitas nasional yang pakem secara organik akhirnya menjadikan kebaya sebagai representasi busana nasional Indonesia. Kemudian melangkah era Orde Baru, era ini punya andil besar dalam membentuk cara pandang eksklusivitas kebaya sebagai sebuah busana “perayaan” di Indonesia. Pada masa itu, rezim pemerintahan Presiden Soeharto meletakkan kebaya sebagai perlambang suatu gerakan ibuisme, di mana Tien Soeharto, istri Pak Harto sendiri yang menjadi wajahnya. Penampilan khas ibu Tien yang memakai set kebaya saat mendampingi sang suami pada setiap kesempatan, bagi beberapa aktivis pergerakan perempuan dinilai sebagai upaya domestikasi dan bentuk pengekangan terhadap kebebasan perempuan. Dari pandangan ini timbul gagasan bahwa kebaya merupakan busana eksklusif yang membatasi ruang gerak perempuan. Tidak lagi praktis. Apalagi jika dibandingkan dengan busana bergaya eropa yang mulai mengadopsi tren self-expression dalam fashion sebagai konsekuensi kebebasan berekspresi.
Kebaya sebagai Ekspresi Kebebasan
“Fashion is a statement,” kata para fashionista. Pakaian merupakan sebuah moda komunikasi dalam mengekspresikan diri, bukan hanya sekadar kain yang dikenakan untuk menutupi lekuk tubuh saja. Begitu juga dengan kebaya. Kebaya adalah cerminan jiwa. Seniman Australia Victoria Cattoni dalam sebuah kesempatan pernah berkata bahwa kebaya dapat mempunyai makna yang membebaskan tetapi juga membelenggu. Kebaya, lanjut Cattoni, memiliki kemampuan merepresentasikan identitas perempuan dan kenangannya.
Kebaya merupakan produk dari hibridasi beragam budaya, terpengaruh oleh India, Cina, Belanda dan Portugis. Kebaya pun tidak semata-mata milik budaya Jawa, namun tersebar hingga Madura, Bali, Lombok, Maluku, Minahasa dan Sumatra. Sehingga, pada dasarnya, rancangan busana kebaya selalu akan terlihat sama namun tidak pernah berhenti menonjolkan identitas dan keunikan masing-masing budaya yang memproduksinya.
Oleh karenanya, melalui tubuh pemakainya, kebaya tidak semata-mata hanya menjadi sebentuk restriksi terhadap gerak-gerik perempuan. Namun, sebetulnya memiliki kekuatan yang merepresentasikan ekspresi kebebasan perempuan.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi, kebaya kini sudah banyak diadaptasi menjadi rancangan yang lebih modern. Kebaya yang tadinya hanya berbentuk sebagai rancangan pakem dengan bawahan kain, selendang, dan konde, sekarang sudah terbentuk gaya yang lebih praktis seperti pepaduan kebaya dan celana, bahan yang lebih adem dan menyerap keringat dan juga bisa didesain sedemikian rupa sehingga tetap sesuai tuntutan agama.
Kembali ke Kebaya
Berkebaya bagi seorang perempuan adalah perlambang cerita perjalanan perempuan yang tak lekang oleh waktu. Timeless dan elegan. Detail filosofis pada tiap lipatan dan coraknya memiliki makna, sesuatu yang tidak terkikis oleh simplisitas pakaian yang diusung gaya modern masa kini. Mengenakan kebaya seperti mengenakan sejarah, yang fungsinya sederhana namun memiliki estetika luar biasa.
Penggunaan kebaya untuk kegiatan sehari-hari bagi perempuan merupakan gagasan yang sebetulnya sangat praktikal. Sudah ada cukup banyak contoh yang dapat mendukung premis tersebut. Sudah banyak juga tips dan rekomendasi dari sesama perempuan Indonesia yang dapat memudahkan penggunaan kebaya untuk kegiatan sehari-hari.
Beberapa trik yang biasanya saya terapkan untuk diri saya sendiri dan mungkin bisa membantu para perempuan yang juga ingin mencoba mengenakan kebaya untuk kegiatan sehari-hari, misalnya; jika kamu lebih nyaman memakai celana, pakailah celana. Jika kamu memakai hijab, carilah model kebaya lengan panjang dan menutupi kulit. Saya selalu melihat kebaya sama halnya dengan sebuah blus, yang sejatinya bisa dipasangkan dengan pakaian, bahan dan desain apapun sesuai selera dan keinginan.
Pakaian hanya segulung kain apabila tanpa tubuh. Pada akhirnya tubuh si pemakailah yang menentukan makna apa yang akan disuarakan oleh kebaya yang dikenakannya. Apakah membelenggu? Atau malah memerdekakan? Apakah sebagai bentuk domestikasi perempuan? Atau alat untuk mengekspresikan diri dalam kehidupan sehari-hari? Tidak ada satu jawaban pasti. Hanya ada tubuh, kebaya dan suaranya masing-masing.