Cukupkah “Bertaruh Pada Api” Tanpa Berserikat?
Dalam submisi column ini, Adam Sudewo membedah transisi estetika musik Dongker dalam lagu fenomenalnya, “Bertaruh Pada Api”. Ia menyoroti bagaimana dendang Promethean tersebut mengajak pendengarnya untuk mengarungi berbagai keputusasaan dan menghimpunnya menjadi sebuah syair yang optimistik, dan tentu saja, ajakan untuk berserikat.
Words by Whiteboard Journal
“Takkan menyerah di bawah tanah. Kabar baik menunggumu.
Datang hari tanpa batas. Tanpa negara. Tanpa agama.”
⎯Dongker, Bertaruh pada Api
Dongker, unit punk asal Bandung, berhasil menyesaki pikiran dan etalase ekosistem musik Indonesia belakangan ini. Melalui single “Bertaruh pada Api” yang anarkistik, Dongker melampaui batas-batas kemungkinan sebuah genre bahkan hingga sejarah estetikanya sendiri. Lenting variatif berdurasi empat setengah menit ini menawarkan pengalaman ziarah kuping yang berbeda dari dua EP sebelumnya: Upaya Memaki (2019) dan Menghibur Domba di Atas Puing (2020)—yang lebih melung.
Lagu ini melantangkan persoalan konkret seorang individu dan upayanya menerobos jeruji narasi-narasi besar yang kerap merepresi setiap gerak serta kebebasannya. Terdapat sepotong optimisme rapuh yang nyaring dan juga harapan-harapan yang patah dalam ruang yang memenjara itu.
Sekilas, judul “Bertaruh pada Api” mengingatkan saya pada mitos klasik Prometheus yang menggarong api dari Zeus untuk umat manusia. Tentu, tragedi itu memiliki berbagai interpretasi sesuai lorong referensinya masing-masing, baik dalam ilmu budaya, filsafat, politik, kesenian, dan sebagainya.
Secara simbolik, api dalam mitos Prometheus kerap diartikan sebagai spirit pencerahan. Sesuatu yang dianggap dapat mencerahkan hidup manusia yang belangsak menuju hampir terang. Di titik ini, Promotheus seakan menjalankan tugas-tugas kenabian yang heroik sebagai garong.
Spirit garong Promethean tersebut yang kemudian meniupkan nafasnya dalam lekuk tubuh sejarah manusia. Dalam Renaisans, misalnya, manusia berlomba-lomba untuk menjelaskan sesuatu secara empirik, logis, demi menjawab kebingungan-kebingungan lahiriah sekaligus membabat kaki-kaki otoritas rezim gereja kala itu. Upaya tersebut, membawa manusia memasuki babak sejarah baru: mereka sampai pada gerbang di mana narasi-narasi besar akan lahir dan menjalar, meski dengan tubuh babak belur; Membawa manusia pada modernitas, menggantikan supremasi wilayah kerajaan di masa feodal menjadi batas-batas negara demokratis seperti yang kita kenal saat ini.
Ketimbang meyakini api sebagai simbol pencerahan yang mesti dipegang erat seorang individu, Dongker memiliki determinasi yang lain: mereka mempertaruhkan nasibnya pada api tersebut. Mereka terus mencurigai gelagat tiap narasi besar yang menjalar dan lahir sebelum dan sesudah spirit pencerahan. Tak peduli apa pun. Tentu, kata “bertaruh” di sini memiliki posisi yang penting sebagai sebuah pilihan lain yang bertengger di antara ya dan tidak. Di antara skeptisme dan kesadaran yang sia-sia.
Menyikapi hal tersebut, dengan transisi psikologis “aku” dalam semesta lirik dan musikalitas yang-tahu-tempat, “Bertaruh pada Api” seakan memberi pengalaman yang nyata terkait harapan dan keputusasaan akan narasi-narasi besar. Menghajar pendengar di awal lagu, kemudian merangkulnya kembali di akhir lagu–layaknya prajurit yang tak mungkin khianat.
Dongker membuka “Bertaruh pada Api” dengan ketukan drum yang terdengar seperti genderang perang dan disusul dengan lirik berikut:
Bertaruh pada api
Kuharap takkan mati
Tapi sial ini padam dan tak terang
Percuma
Jika api yang dimaksud Dongker sama dengan api Promethean, maka, dengan berterus-terang Dongker mempersoalkan hal tersebut. Ia sadar bahwa ia mempertaruhkan hidupnya pada api pencerahan. Sebuah kesadaran yang menancap di kepalanya sebagai seorang individu, melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku sekolah atau informasi yang ia makan berpuluh tahun lamanya.
Namun, lambat laun kesadaran itu terkikis, mengingat kesakitan dan luka yang Dongker alami serta saksikan di Upaya Memaki dan Menghibur Domba di Atas Puing beberapa waktu lalu. Kini, hasil kikisan kesadaran itu berubah menjadi semacam serpih yang mempertajam serangan mereka terhadap spirit pencerahan dan narasi-narasi besar yang lahir karenanya di kemudian hari. Negara yang hancur, penggusuran akibat arogansi industrialisasi, fasis anjay, batas pedut, dan Yasraf Amir yang terpukul mundur adalah beberapa hal yang pada akhirnya membuat Dongker berbalik badan dan mengatakan, “Tapi sial, ini padam dan tak terang. Percuma!”.
Kesakitan dan luka Dongker tidak murni berasal dari fenomena di luar dirinya, melainkan juga berasal dalam dirinya terkait aktivitas bermusik (bukan hanya sebagai sebuah produk) yang dipercaya dapat mengubah dunia. Sebab, Ben Oslo berujar dalam esai Music and Domestication, bahwa “Melodi yang tak terdomestikasi memiliki potensi untuk melawan mode komunikasi dominan, dengan menciptakan melodi temporer, sebuah dunia imajiner yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan diri dan melawan apa yang dominan, melawan segala kontrol yang berusaha menentutkan batas-batas kemungkinan tersebut”.
Sayangnya, dunia imajiner yang diidamkan Ben Oslo melalui musik hampir mendekati utopis. Alih-alih dunia baru atau imaji tentang dunia baru tersebut bermunculan melalui musik, kontrol terhadap upaya untuk membentuknya makin arogan dan primitif. UU KUHP yang disahkan negara Desember tahun lalu⎯yang mempersempit ruang para seniman atau musisi macam Dongker untuk menunjukkan kritik dan keberpihakannya dalam berkarya, merupakan contoh yang nyata.
Terkait persoalan tersebut, Dongker menyadari betul bahwa musik tak mengubah apapun dalam beberapa hal.
Lagu ini dinyanyikan
Akankah merubah dunia?
Kunyanyikan setiap saat
Tak berubah
Berbeda dengan sebelumnya, Dongker amat percaya akan kekuatan yang tersimpan dalam musik atau sebuah karya seni. Bicaralah Padaku adalah semacam perayaan kepercayaan estetika mereka akan hal tersebut. Rima-rima terus berjatuhan ‘tuk membela cinta ‘tuk membela kita// Rima-rima terus berguguran ‘tuk hancurkan duka ‘tuk tumbuhkan rasa.
Di titik tersebut, Delpi dan kawan-kawan berhasil merumuskan musik yang bukan hanya dapat menciptakan dunia baru di samping jerat narasi-narasi besar yang represif, melainkan juga dapat meruntuhkan dunia lama dan kemudian menciptakan dunia baru dalam relung puitik individu. Tadinya, di tangan mereka, secara radikal musik dianggap memiliki kekuatan untuk menghancurkan tatanan lama. Sebelum pada akhirnya, melalui “Bertaruh pada Api”, mereka memutuskan bahwa musik saja tidaklah cukup untuk menciptakan sebuah dunia baru.
Selanjutnya, kesakitan dan luka yang menimpa Dongker baik dari dalam maupun luar dirinya, yang kini makin menempelengnya tepat di muka, membuat Dongker merapat pada sesuatu yang adimanusia. Meskipun pada akhirnya ia mencampakkan simbol entitas adimanusia tersebut di ujung lagu.
Tuhan obati luka
Di celah-celah negara
Tapi sayang kau tak bisa
Sebagaimana seorang anak manusia yang meringis kesakitan, Dongker berharap bahwa Tuhan dapat mengobati tiap rasa sakit dan luka yang dialaminya akibat negara sebagai suatu konstruksi narasi besar yang marak diamini. Bagi saya, bagian ini adalah bagian paling ofensif dalam “Bertaruh pada Api”. Sebab, dengan cerdik Dongker membuat negara seolah-olah lebih berkuasa ketimbang Tuhan. Negara dapat mengatur segala urusan mulai dari orientasi seksual, pasar, kebebasan, agama, hingga merampas ruang hidup suatu komunitas tertentu. Sedangkan Tuhan, mungkin, hanya ongkang-ongkang di langit sambil melihat-lihat dunia yang penyok sampai ia jemu sendiri, tanpa mengulurkan tangannya pada Dongker.
Entahlah, saya merasa bahwa bagian ini juga menjadi semacam batu loncatan Dongker, yang menggeser segala kesakitan dan luka personalnya menjadi sesuatu yang bersifat komunal. Terdapat semacam pertanyaan retorik tentang pergeseran ini dengan kemunculan sudut pandang baru: Apakah kita sendiri?
Hal itulah yang membuat pendengar merasa lebih dekat dengan segala kesakitan dan luka yang Dongker alami. Atau justru, membuat pendengar melebur menjadi Dongker itu sendiri.
Tentu, pergeseran di sini tidak berhenti pada persegeseran sudut pandang, melainkan juga menjadi pergeseran psikologis tentang harapan-harapan baru yang sempat dibuat jungkir balik oleh narasi-narasi besar. Di titik ini, Dongker bukan lagi membalikkan badannya. Mereka kini mengambil pisau dengan marah dan berkeliaran di jalan-jalan kota.
Takkan menyerah di bawah tanah
Kabar baik menunggumu
Datang hari tanpa batas
Tanpa negara, tanpa agama
Kemudian, “Bertaruh pada Api” ditutup dengan lirik yang boleh dibilang provokatif. Layaknya manifesto, lirik tersebut memberi jawaban atas segala sesuatu yang menimpa Dongker juga dalam aktivitasnya bermusik. Kesakitan dan luka tidak lagi tercecer. Kini, ia menjadi tumpukan harapan yang tersebar.
Jika musik saja tidak cukup untuk membentuk sebuah dunia baru, maka berserikat adalah jawaban yang diberikan Dongker. Dengan berserikat, setidaknya, kita dapat mengumpulkan bekas-bekas rasa sakit dan luka menjadi amukan. Menjadi suatu kesatuan yang lebih berdaya dalam upaya menerobos jeruji-jeruji narasi besar yang kerap merepresi setiap kebebasan individu dan kelompok minor. Setiap protes dan tuntutan akan diperhitungkan. Sebab, Semua orang takkan patuh// Semua cinta takkan runtuh// Oleh kuasa// Suara kita.
Setelah mendengar “Bertaruh pada Api”, masing-masing dari kita akan beranjak mencari pisau di dapur dan berkumpul di jalanan bersama Dongker. Dengan pisau diacungkan, kita memimpikan dunia baru yang tak terkurung kerangkeng batas-batas. Tanpa negara, tanpa agama. Tanpa segala klasifikasi dan cara pikir dikotomi yang bias. Sebab pada dasarnya, manusia memanglah setara.