Tuntasnya Penantian 7 Tahun untuk Album Efek Rumah Kaca lewat “Rimpang”
Pada tanggal 23 Januari 2023, Efek Rumah Kaca menggelar exclusive listening session untuk upcoming album terbaru mereka, “Rimpang”, dengan konsep “cinematic audio experience” di FLIX Cinema, Ashta District 8.
Teks & Foto: Garrin Faturrahman
Malam itu, jauh di lantai-lantai atas yang relatif tersembunyi dari klakson lancang serta kehidupan ekstravagan yang menjadi tema gamblang di lingkaran SCBD, terlihat poster-poster digital “Cinematic Audio Experience: Rimpang—Album Penuh Keempat Efek Rumah Kaca” yang terpampang di seluruh layar FLIX Cinema, Ashta District 8, dan hanya itu ornamen yang menandakan adanya showcase album keempat—bahkan, skenario ini tampak seperti suatu poetic justice akan lagu-lagu dan perjuangan Efek Rumah Kaca dalam menanamkan sedikitnya sense terhadap publik dan terutama kaum ruling class.
Unsur simbolik yang dimaksud tak henti di situ: Perhelatan ini juga diadakan agaknya secara “klandestin” (penggunaan kutip karena salah satu lagu baru mereka ada yang menekankan kata tersebut). Bahkan, salah seorang ticketing menyampaikan bahwa pengunggahan acara ini di sosial media sebaiknya dilaksanakan setelah showcase selesai. Sebetulnya niatnya untuk mencegah overcrowding pada malam itu, tapi sepertinya ada maksud lain at play yang dikhususkan untuk mengasrikan yang ingin disampaikan lewat album Rimpang ini.
Memasuki ruang bioskop, penonton tak hanya langsung disajikan dengan layar lebar dan sistem audio cinema-grade, tapi juga kursi-kursi bioskop nyaman yang dilengkapi dengan USB charging slot dan sudut reclining yang bisa diatur secara elektrik—semua ini diperkenalkan oleh cinema programmer FLIX Cinema, Alexander Matius. Hal tersebut mungkin terkesan trivial, namun justru menguatkan impresi bahwa Efek Rumah Kaca ingin hadirin-hadirin sekalian merasakan karya terbaru mereka dengan sepenuhnya dan sebaik mungkin.
Sebelumnya, Efek Rumah Kaca merupakan no stranger dalam mengantarkan musik untuk diterima indera-indera lebih dari pendengaran. Misalnya, pertunjukkan album Sinestesia yang dimainkan dengan penuh konsep di Taman Ismail Marzuki, atau penampilan orkestra yang mengajak penonton untuk berkaraoke bersama. Bisa dibilang, mereka mengerti cara terbaik untuk mengajak publik bersama-sama ikut merasa dan terlibat dalam isu-isu dan kegelisahan yang mereka angkat.
Kembali lagi ke kursi bioskop, masuklah Akbar dan Reza, atas cue dari Matius, dan mereka mengungkapkan sedikitnya rasa lega akan selesainya album ini, serta apresiasi kepada para penonton, mereka yang berperan dalam pembuatan album, serta mereka yang mendukung showcase malam itu. Lalu, muncullah Cholil dan Poppy untuk melanjutkan sambutan, namun via pre-recorded video karena beliau-beliau ini sedang berada di Amerika Serikat. Tanpa berpanjang-panjang, lampu pun mulai redup menjadi mati, dan proyektor menembakkan opening credits lagu pertama sebagai awal dari rangkaian 10 lagu yang tersematkan dalam Rimpang.
(Full Disclosure: Untuk kepentingan menjaga ekspektasi dan harapan akan album terbaru ini, penulisan mengenai lagu-lagu album Rimpang akan ditulis secara garis besar tanpa detil-detil spesifik per lagu.)
Album dibuka dengan lagu berjudul “Fun Kaya Fun”, dan nama ini sehubungan dengan tema penulisan lirik album yang tetap seutuhnya tongue-in-cheek seperti khasnya Efek Rumah Kaca. Lagu-lagu tetap memiliki kalimat-kalimat yang mengalir dengan penuh permainan dan keluwesan yang mampu diterima dengan cepat, namun dengan interpretasi yang baru bisa dikuatkan setelah beberapa pengulangan. Bahkan, lirik menyematkan beberapa misdirection yang mampu memainkan persepsi pendengar. Ditambah lagi, musikalisasi puisi yang berperan seakan-akan sebagai callback akan album sebelumnya juga kembali ditemukan di sini.
Callback ini juga tidak sekadar gimmick yang sekelebat, karena unsur ini bisa dilihat dari songwriting yang mereka bawa. Dari gitar-gitar khas Cholil yang cenderung grungy dan angsty, permainan drums Akbar yang masih seringkali mematahkan antisipasi natural (misalnya, rhythmic pattern di lagu “Menjadi Indonesia” yang keluar dari kungkungan beat 1-2-3-4 tradisional), hingga bass lines Poppy yang selalu commanding tapi tetap menari dalam empat senar. Ciri khas ini masih kental terasa di album baru, tapi bukan berarti mereka tidak berkembang secara musikalitas: Ada lagu yang seperti bereksperimen dengan synths dan akhirnya menjadikan lagu tersebut menjadi cerah; ada lagu yang dibangun dari dinding-dinding looping soundscapes; dan ada lagu yang lebih terasa tranquil (bahkan seperti berperan sebagai state of euthymia dalam buncah amarah yang banyak bertebaran dalam album) berkat warna-warna akustik dan natural.
Lanjut lagi tentang musiknya, progresi chord yang mereka gunakan sebagai fondasi lagu juga tetap teatrikal dan megah. Beberapa lagu mungkin memperkenalkan diri mereka dengan progresi simpel dan mudah ditebak, tapi impresi awal ini cepat buyar setelah munculnya unsur-unsur disonan hingga chord-chord diminished yang merupakan ciri khas musik teater, dan semua ini berperan dengan baik untuk menumbuhkan rasa-rasa gelisah dan cemas yang merupakan pesan dalam beberapa lagu mereka.
Pesan untuk disampaikan memang merupakan building block krusial dalam penulisan karya, dan lagi-lagi tidak perlu dipertanyakan daya magisnya mereka dalam hal ini. Isu-isu yang diangkat tetap—dan selalu—relevan. Rasanya segala yang menjadi top of mind dalam topik isu publik sudah hadir dalam album “Rimpang”. Misalnya, ada lagu yang bisa ditemukan kesinambungannya dengan film festival yang belum lama ini memasuki bioskop.
Lalu, “daya magis” di paragraf sebelumnya bukan penggunaan kata pompous yang dipakai secara cuma-cuma. Sebagai contoh, lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” menjadi fenomena yang semakin nyata ditemukan pada kehidupan setelah media sosial, dan salah satu lagu di album ini ada yang menyindir budaya AI dan teknologi yang serba instan dan membunuh unsur manusia dalam berkarya—sepertinya mereka lagi-lagi mampu foreshadow akan apa yang mendatang, cepat atau lambat.
Visualisasi yang disajikan selama penayangan ini menampilkan lirik-lirik yang tampak dengan jelas, dan visual ini sepertinya banyak mengambil inspirasi dari Rorschach test—seperti tumpahan-tumpahan tinta, namun dengan warna-warni yang sesuai mood per lagu. Kendati terkesan simpel, namun justru banyak membantu dalam menginterpretasikan pesan-pesan yang dibawa.
Kembali ke kursi bioskop setelah lampu mulai dinyalakan, penayangan pun selesai dalam kira-kira 45 menit, dan hadirin langsung diminta keluar untuk bergantian kepada kloter kedua. Di luar pintu bioskop, mereka yang menyaksikan lantas meluapkan segala yang dirasa kepada kawan-kawan mereka yang menanti showcase itu. Sesekali terdengar riuh ramai “Efek Rumah Kaca banget!” berbarengan dengan geleng-geleng heran nan takjub. Acara “Rimpang” ditutup dengan kasual dan dihangatkan dengan percakapan-percakapan penuh apresiasi yang terjadi—tampak suatu kesatuan minim eksklusifitas dan elitis.
Akhir kata, “Rimpang” yang rilis sekurang-kurangnya 7 tahun setelah Sinestesia merupakan jawaban dari penantian rindu akan musik-musik Efek Rumah Kaca—seperti bertemu kawan lama yang sudah banyak berubah, tapi tetap bisa dirasakan bahwa diri lamanya masih bergejolak di balik terminologi-terminologi baru yang banyak ia ucapkan.