Memusikkan Suara dan Menghidupkan Instrumen bersama Tesla Manaf
Dari interpretasinya terhadap musik dan suara, cerita tur di Taiwan, hingga obrolan mengenai alat-alat musik, kami menyempatkan untuk berbincang santai dengan sosok di balik moniker KUNTARI, Tesla Manaf.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Garrin Faturrahman
Foto: Kuntari
Tesla Manaf mengakui bahwa gelarnya sebagai musisi eksperimental baru ia maknai sepenuhnya setelah titel tersebut diberikan kepadanya. Perjalanannya dalam menemukan “visi suaranya” ternyata berhubungan dengan berbagai referensi yang ia terima sedari kecil, sampai-sampai dipengaruhi oleh insiden yang ia alami ketika memasak—yang justru membawanya menuju “visi suara” beliau yang semakin matang dan berkarakter.
Beberapa hari setelah album beliau yang berjudul Larynx dirilis dalam bentuk fisik, kami berkesempatan untuk berbincang-bincang santai—selayaknya nongkrong bersama kawan—dengan Tesla Manaf dengan sejumlah topik-topik seperti interpretasinya terhadap musik, pengalamannya membawa musiknya hingga mancanegara, sampai membahas fenomena sosial yang belakangan ramai dibahas di Twitter.
Dengan rilisnya album fisik di era yang serba digital, apa hal spesial yang dirasakan dengan adanya wujud fisik karya Larynx?
Mungkin karena aku konvensional juga, kali ya? Jadi kayak, rilis album tuh kalau nggak fisik, kesannya kayak… gimana gitu. Mungkin karena umur juga, kali ya? Jadi [harus] ada sesuatu yang dipegang. Sebenarnya, ada juga sih rilisan album yang nggak ada fisiknya kayak Toija, atau [Pararatronic] yang dirilis secara split sama Addictive TV dari Inggris, tahun lalu. Jadi kayak, ada beberapa juga yang nggak dirilis secara fisik sebenarnya.
Cuman, buat aku tuh, punya sesuatu yang bisa disentuh dan bisa jadi bahan koleksi untuk orang lain juga tuh kayak penting banget juga sebenarnya juga untuk jadi library physical. Tapi, biarpun susah, ya, sekarang jualannya juga. Emang agak gampang-gampang-sulit sih, sebenarnya. Jadi, kalau misalnya lagi manggung biasanya tuh, kayak, cepet banget penjualannya. Tapi, kalau misalnya kita sekadar promo di media sosial tuh kadang agak sulit dan jualannya jadi ribet juga. Jadi, agak gampang-gampang-susah sih jualannya.
Bisa dibilang itu juga bagian dari mengabadikan memorabilia itu, ya?
Yes. Bener banget. Itu penting banget buat aku.
OUT NOW: KUNTARI "LARYNX" CD@GrimlocBDG paired up with @dsstrrecs_ from @maternalDSSTR released LARYNX Album on CD
SUPER EXCITED 🦍🐺
Cover designed by Mastah @lord_kobra pic.twitter.com/GTwEH9nYUM
— KUNTARI (@teslamanaf) December 15, 2022
Tapi itu tergantung labels, ya. Ada labels yang mau cukup nekat untuk rilis fisik, ada yang takut juga untuk rilis fisik, atau ada label yang rilis digital doang, karena si album Larynx ini juga dirilis sama Yes No Wave di bulan Juni kemarin. Nah, di bulan Juni itu memang, Yes No Wave kan memang khusus rilisan yang tanpa fisik, kan? Jadi ya, menurut aku sih ya, saat itu digital, akhirnya untungnya Grimloc Records dan Disaster Records mau merilis secara fisik—yaitu CD—terus, yang berikutnya Orange Cliff Records bakal ngerilis secara kaset nanti.
Mengenai “Larynx Organic Live Set”, yang dibawakan beberapa bulan lalu. Menurut yang saya baca, permainannya diciptakan untuk mereplikasi suara-suara mating call para hewan. Apa yang membawa Tesla untuk memusikkan hal-hal animalistic itu?
Sebenarnya tuh, awalnya tuh kayak waktu pandemi kan itu beneran nggak ngapa-ngapain, kan? Jadi pas waktu itu gagal tur di Australia dan di Inggris gara-gara pandemic itu tuh, beneran nggak megang alat musik sama sekali aja tuh selama enam bulan. Jadi, nggak megang alat musik, nggak denger musik apapun segala macem, pokoknya seharian itu cuman nonton aja tuh. Kayak, beneran emang harus disuruh reset kan pas awal-awal pandemic tuh. Terus aku mikir, dalam perjalanan itu tuh kayak, ngapain ya? Kayaknya harus ada satu alat yang organik, yang bisa menyuarakan sisi akustikal atau organik dari permainan aku, gitu, karena aku juga nggak pengen selamanya stuck di alat-alat elektronik, gitu,
Biarpun aku ada alat elektronik, setidaknya ada satu alat yang organik atau akustik yang bisa akhirnya tuh terresonansi lebih baik gitu menurut aku. Biarpun sebenernya alat elektronik juga bisa meresonansikan sesuatu dengan lebih baik juga, cuman karena aku juga besar di musik klasik, musik jazz, segala macam, buat aku tuh alat akustik tuh alat yang bisa langsung dimainkan secara intuitif—itu penting banget untuk ada alat itu di depan aku, gitu. Nah jadi, makanya aku mikir waktu itu, apa ya satu alat tuh yang kiranya tangan kiri aku bisa mainin alat elektronik, tangan kanannya aku bisa mainin secara organik atau acoustically. Terus mikir apa yaa segala macem, yaudah, akhirnya aku Google, cari: “alat musik yang tersulit untuk dipelajari.”
Nomor satu piano, nomor dua terompet. Dan dari semua sisa tabungan yang aku punya itu, dari semua sisa tabungan yang ada di ATM saat itu, aku beli terompet—atau kornet, ya, sebutannya—kornet Yamaha, akhirnya aku beli tanpa mikir dua kali, langsung aku yaudah beli aja. Akhirnya aku pelajari mati-matian selama beberapa bulan, dan akhirnya, karena aku intens latihannya, dan aku mikir juga kayaknya nggak akan mungkin nih kalau misalnya aku pengen jadi pemain jazz terompet… aku kayaknya butuh waktu sekitar 10 tahun atau minimal 5 tahun untuk bisa menguasai itu semua, dan juga nggak ada spesialnya sama sekali juga karena banyak yang lebih canggih pastinya, udah mereka latihan 20 tahun, gitu, dan nggak ada pembedanya sama sekali kalau aku ujung-ujungnya main terompet secara normal atau technical, maksudnya technical tuh, cara meniup normal.
Secara academically, mungkin?
Yes. Setuju banget. Akhirnya tuh, karena kebetulan banget—kebetulan banget, sih, sebenarnya—aku tuh latihan terompet sehari 5–6 jam selama 1 bulan, tiap hari selama 30 hari. Ternyata, kalau kata orang-orang, kata guru-guru terompet—itu juga latihannya lewat internet, ya—kata guru-guru terompet itu nggak boleh. Latihannya cuman boleh sekitar 15 menit x 4. Itu maksimal, sehari. Dan itu nggak boleh banget. Makanya, dia tau aku latihan sampai enam jam, progress-nya bagus, tapi itu bisa merusak bibir, dan itu benar. Akhirnya, cara niup aku tuh udah rusak total, jadi aku udah nggak bisa niup normal sama sekali. Nah, dari situ tuh, mulai stress tuh pikiran. “Ini harus diapain, ya?” Maksudnya kayak, gua mau niup normal nggak bisa, dan akhirnya mikir juga; “oke, gua nggak boleh jadi pemain terompet normal,” akhirnya, nggak boleh membunyikan ini secara normal. Sebenarnya sih udah lama banget orang tuh menyebut aku musisi eksperimental, padahal sebelumnya aku belum bereksperimen dengan apapun, sebenarnya.
Aku sebenarnya suka banget band metal—biarpun nggak pernah sama sekali nginjek pedal distorsi seumur hidupku.
Cuman ada alat elektronik, bunyinya noise segala macem, kayak gitu, tapi sebenernya itu semua alat aja yang bunyi, kan? Cuman cara pendekatannya yang sedikit agak berbeda… maksudnya, nggak berbeda juga sih, sebenarnya banyak juga musisi-musisi dari Inggris, seperti Squarepusher atau Aphex Twin yang memainkan hal yang sama, dan mereka jauh, jauh, jauh lebih canggih—ibarat mereka Tuhannya, gitu—tapi, secara eksperimen, aku nggak sama sekali, jadi aku belum bisa menyebut diri aku [musisi] eksperimental. Akhirnya, cara pendekatan aku terhadap instrumen terompet itu aku ubah; “gimana caranya mainnya atau niupnya nggak seperti orang pada umumnya?” Jadi, akhirnya aku mulai cari tau bunyi-bunyi apa sih yang kiranya aku bisa replikasi melalui terompet tersebut, dan akhirnya jatuh terhadap si animal mating call itu.
Alasannya karena apa ya, karena, aku sebenarnya suka banget band metal—biarpun nggak pernah sama sekali nginjek pedal distorsi seumur hidupku—jadi biarpun si project Larynx si gitarnya terdengar heavy, tapi itu sebenarnya nggak ada distorsi sama sekali, cara memainkannya aja yang sebenarnya bisa menjadikan bunyinya kayak gitu.
Tapi tuh, dari kecil, karena abang aku seneng banget musik metal, jadi, kalau misalnya dibilang salah satu musik yang mempengaruhi aku secara musically secara keseluruhan itu adalah Slipknot. Karena buat aku… yaudah inspirasi banget aja, gitu, sisanya pemain klasik atau pemain jazz, gitu. Tapi, satu band yang nggak pernah bisa aku berhenti dengerin yaitu Slipknot. Nah, entah kenapa tuh, dari dulu pengen banget mereplika suara growl-nya si Corey Taylor. Aku mikir, dari situ tuh, mulai ngulik—bukan secara suara, ya, tapi ngulik kayak; “di terompet gimana caranya bisa kayak gitu, ya?”—dan akhirnya, karena aku nggak bisa mereplikasi vokalisasi suara manusia, akhirnya aku mulai mikir; “oke nih, suara binatang, tuh, kadang suka berubah-berubah di saat mereka lagi kawin!” kan?
Dari sekitar kita aja dulu yang deket dulu, kan, misalnya kayak kucing. Kucing kalau mau kawin kan tiap malam tuh kayak, “weeow weeow” nggak berhenti-berhenti sama sekali, kan? Beda banget sama sehari-hari yang suaranya lembut. Terus, aku mulai searching yang lain, entah dari singa, koala—koala tuh sehari-hari suaranya lucu banget, tapi kalau mau mating suaranya tuh nge-growl banget kayak vokalis metal banget—nah dari situlah, aku mulai replikasi lewat si terompet. Dari koala, buaya, singa, rubah, rusa, dari kodok, segala macem, itu tuh, semuanya, kalau misalnya mereka mau kawin mereka pasti ngeluarin suara-suara yang aneh dan itu akhirnya aku coba ulik lewat terompet.
Speaking of terompet, sehubungan dengan kabar yang saya dengar dari kawan—dan tadi juga sempat dikonfirmasi oleh Masnya mengenai satu tabungan yang dipakai untuk beli kornet Yamaha itu—I’d like to ask; was that a gamble? Dan kalau memang itu adalah gamble, did the gamble pay off?
[Aku] menyebut diri sendiri dengan bangga [sebagai] musisi eksperimental karena aku bereksperimen dengan bunyi-bunyi yang belum pernah aku temukan sebelumnya.
Sebenarnya, tuh, kalau dibilang paid off sih, amat sangat paid off, ya. Karena sampai sekarang itu yang mengubah jalur aku sekarang jadi bisa dilihat dan bisa menyebut diri aku sendiri dengan bangga [sebagai] musisi eksperimental karena aku bereksperimen dengan bunyi-bunyi yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Dan itupun diakui nggak secara lokal doang karena, sejujurnya, skena eksperimental kita tuh sangat amat besar di mata dunia, sangat amat amat amat besar.
Maksudnya kayak, bolehlah dengan musik popular itu kita mungkin emang agak jauh di bawah mereka, maksudnya, secara kreativitas, atau secara teknik suara, development terhadap modernisasi, segala macem—musik popular itu nggak cuman pop doang, tapi segala macem genre; metal, atau apapun, segala macem—tapi kalau misalnya dari sisi eksperimen, kita tuh punya… kita tuh punya lebih dari 500 budaya gitu, tiap daerah tuh beda-beda, tiap punya bunyi musiknya sendiri, segala macem.
Sebenarnya aku juga bukan orang yang main alat musik tradisional, gitu, tapi kalau misalnya aku cari tau lagi dan coba mengulik, biarpun memang aku aslinya bukan orang tradisi, tapi, aku yakin ini bisa di-twist nih dengan modernisasi yang sudah aku bawa sejak lahir, entah dari musik klasik, dari musik jazz, atau musik apapun yang lain, akhirnya aku bisa coba buat blend semua itu dengan musik tradisi yang kita punya yang mungkin usianya sudah 700 tahun, 800 tahun, segala macam, mungkin bisa jadi sesuatu, gitu.
Akhirnya, aku coba paksa dan coba bereksperimen itu akhirnya, dan itu amat sangat sangat sangat terbayar banget banget, gitu, dan si terompet itu jadi sound andalan aku, malah sekarang. Makanya orang tuh nyebut kalau misalkan Tesla main, nih; “wah, nih terompet kiamat, nih,”—jadi udah mulai jadi khas, gitu. Padahal, itu alat yang belum lama aku pelajari sebenarnya.
Jadi, tuh, menurut aku, kenapa aku pakai semua tabungan saat itu, karena menurut aku tuh, bermusik itu akan lebih seru kalau ada sifat urgency karena, kalau misalnya aku nothing to lose, belinya kayak nyantai-nyantai aja, gitu, kayak, ah paling cuman kayak sepersepuluh tabungan aku, gitu, ah paling nanti kalau nggak kepakai juga aku bisa beli alat yang lain. Tapi kalau misalnya aku pakai semua yang aku punya, aku harus mikir, kayak, pas aku beli tuh, kayak: “Oke, lu harus jadi sesuatu nih,” gitu aku ngomong ke terompet itu. “Kamu tuh harus jadi sesuatu,” gitu.
Kita tuh harus ngobrol—maksudnya, ngobrol aku sama si terompet itu—gimana caranya kita kerja sama untuk bisa membuat sesuatu yang orang lain belum kepikiran, yah kasarnya begitu, lah. Itu aku, kayak, sisi personal aku terhadap alat-alat aku, karena aku senang banget ngobrol sama alat musik aku.
🥁 + 🎺 = Pure Magic pic.twitter.com/1wpoRKTJby
— KUNTARI (@teslamanaf) December 11, 2022
Aneh, tapi itu [menyenangkan] banget. Misalnya kayak beres panggung, tuh, aku elus-elus, “makasih, ya,” misalnya kayak gitu. Sesimpel itu aja! Jadi, kayak, menurut aku tuh, kalau misalnya aku makin sayang sama mereka dan ajak ngobrol kayak gitu tuh, kesannya tuh kayak mereka tuh… ngebantu juga—ya, memang ngebantu sih, ya? Karena mereka tuh yang bisa ngebuat aku hidup sampai sekarang. Jadi buat aku tuh instrumen penting banget biar hanya sekedar benda mati, gitu. Jadi urgensi itu yang membuat aku akhirnya, gimana pun caranya, harus jadi sesuatu biar aku bisa dihidupi oleh si alat-alat tersebut, begitu kasarnya.
Berbicara dengan alat musik itu memang menghidupkan benda itu sih, ya. Karena itu juga partner kita, ya?
Yes! Itu benar, itu partner. Itu kata yang tepat banget, karena mereka tuh, kayak, sebenarnya mereka itu yang nge-support kita selama ini kan, tapi kadang kita tuh take it for granted—oke, alat rusak, yaudah aja, gitu. Tapi, sekarang nggak bisa, gitu. Karena, selama ini mereka cuman gerak sesuai apa yang kita pengen, tapi kalau misalnya kita obrolkan mereka, kayak, kasarnya tuh mereka bisa, “gue bisa lebih dari ini, lho,” “gue bisa bunyi lebih dari ini, kenapa lu nggak ngulik gue secara menyeluruh, lupain semua orang yang udah coba, coba lu kulik gue lagi secara menyeluruh,” gitu.
Jadi instrumen itu pun akhirnya, kayak, ngasih sesuatu balik ke kita bahwa mereka bisa ngelakuin hal-hal yang nggak pernah orang lain lakukan sebelumnya. Itulah positifnya.
Iya, sih. Si alat musik itu bisa me-reciprocate dengan menghasilkan suara-suara baru, ya?
Setuju banget.
Apa rasanya bisa manggung sampai Taiwan?
Sebenarnya, sih, untuk project KUNTARI, sebenarnya, macam-macam, ya? Maksudnya, pernah main di Inggris juga, pernah main di Berlin juga. Cuman, Taiwan ini ada satu hal yang amat sangat sangat lucu banget. Jadi, kan, aku diundang sama festival, namanya itu LUCFest, dan si kuratornya ini email aku, ngajak KUNTARI untuk perform. Nah, pas akhirnya aku oke-in, maksudnya, fee-nya masuk, terus akhirnya aku juga bisa nyusun beberapa gigs di sana karena ada orang Indonesia di sana namanya Irfan Muhammad yang ngebantu untuk bikin gigs di tempat lain dan di kota lain juga. Akhirnya aku berangkat aja ke situ, di-support oleh Maternal Disaster, terus selepas berangkat itu aku ketemu kuratornya, akhirnya ngomong sama dia. Namanya Weining Hung, dan si Weining Hung ini manager-nya si… Shinpurit? Siapa sih… dari Thailand itu, lho… yang masuk 88rising…
Phum Viphurit, ya?
Ah, itu dia. Akhirnya aku ketemu si Weining Hung ini. “Tesla, lu tau nggak? Gua tuh denger musik lu di Lithuania,” Aneh banget, kan? “Hah, beneran? Denger dari mana?” “Temen gua punya tempat nongkrong gitu, dan akhirnya dia putar musik lu,” terus, si Weining Hung itu nanya; “siapa nih?” “Oh, ini KUNTARI, dari Indonesia,” “Oh, beneran?” Oke, akhirnya, dia nyari tahu KUNTARI siapa, akhirnya dia dapet email aku, akhirnya dia ngontak segala macem. Dia tuh bisa dapat informasi atau bisa dengar musik aku dari negara yang bahkan aku nggak tahu itu di mana, belum pernah ke sana, tau di Eropa Timur tapi nggak tau tepatnya di mana itu. Itu tuh, kayak, hal yang paling random dan paling aneh banget. Kayak gitu aja.
Maksudnya, kalau kita bagus dan musik kita bisa terresonansi ke mancanegara segala macam gitu, tuh, kayak tinggal menurut aku tinggal tunggu waktu aja bahwa kita itu bakal akhirnya di-push untuk membawa musik kita lebih jauh yaitu dengan cara tur ke tempat-tempat yang kita belum pernah kunjungi sebelumnya, gitu. Karena pasti ada demand-nya, karena, kalau misalnya ada orang yang suka atau dengerin tuh udah pasti banget ada demand-nya dan aku yakin musik aku bagus, aku juga yakin bahwa aku bisa bawa si musik aku itu ke berbagai negara itu, dan aku yakin si Taiwan Ini juga pasti baru starter banget, gitu—itu adalah awal sebelum aku bisa berangkat ke negara lain.
Nggak terlalu, tapi mungkin aku yakin pasti ada kesempatannya, lah.
Dan kebetulan waktu aku nyampe Taiwan, itu tuh baru banget dibuka border-nya sebenarnya, karena mereka tuh lagi karantina sebelumnya. Jadi, aku tur awal November, mereka baru buka border-nya 15 Oktober, jadi waktu aku main pertama kali di Taipei, aku adalah band asing pertama yang manggung di Taipei sejak hampir tiga tahun pandemi. Itu yang nonton rame banget, dan mereka semua gila banget, ya. Maksudnya, kayak, responnya itu gila banget, ya sama musiknya Larynx itu, dan merchandise aku itu sold out kurang dari semenit, semuanya. Itu gila banget. Keos banget, mereka tuh kayak, beneran yang menggila banget gitu pas nonton aku, jadi nggak sekedar; “oh, band dari luar, oke pengen seru-seruan,” nggak kayak gitu. Jadi kayak, banyak banget yang datang dan ngomong: “Ini adalah performance terbaik yang aku pernah tonton selama 5 tahun terakhir, 10 tahun terakhir,” …banyak banget sih komen positifnya. Seru banget sih.
Last Saturday Tainan Music City was on FAYAH 🔥
Yang ngajak foto random dari nenek2 sampe waiters booth makanan 🥺 pic.twitter.com/eqj65knpav
— KUNTARI (@teslamanaf) November 7, 2022
Ada lagi respon-respon dari masyarakat di sana yang paling diingat?
Sebenarnya, yang paling memorable itu aja, sih. Sisanya tuh, paling, ada orang Polandia yang main sama kita juga di kota kedua, gitu, akhirnya tuh dia ternyata punya banyak koneksi ke festival- festival besar di Eropa, dan akhirnya kayak, pengen bantu; “Tes, lu harus didengar banget di tanah Eropa,” gitu, dan “lu harus banget tur di sana, atau main di festival di sana, dan gue bisa ngenalin kalian ke koneksi-koneksi gue di sana,” gitu. Jadi, akhirnya, mereka mau setup tur tahun depan.
Dan yang orang Lithuania itu, yang ngedengerin musik aku ke Weining Hung itu, ternyata dia tuh punya band namanya Sheep Got Waxed, dari Lithuania juga. Dan akhirnya kita kontakan, dia pemain drums-nya, dan akhirnya dia ngajak kolaborasi untuk bikin satu lagu collabs yang bakal jadi cikal bakal kita untuk bisa bikin tur bareng. Itu mereka semua yang setup, jadi mereka yang cari funding, mereka yang bakal ngundang kita, mereka yang mencari turnya semua di tanah Eropa, segala macam, jadi yang pasti, kita collabs dulu dan akhirnya kita bisa cari celah untuk bisa perform bareng. Jadi, semoga aja. Mulai rekamannya tuh bulan depan.
Dengan dibawanya musik KUNTARI ke luar negeri, dan mengingat respon dan tanggapan penonton yang didapat selama berinteraksi di sana, apakah akan berdampak terhadap pesona dan identitas musik Indonesia di kancah internasional?
Kalau di dunia eksperimental, sih, kita udah terlalu besar di luar, sejujurnya. Indonesia itu udah terlalu besar banget, gitu. Beruntung juga kita punya Yes No Wave yang punya rilisan yang selalu otentik dan manusia manapun belum pernah dengar, dan Yes No Wave juga pintar mencari celah, mencari-cari artists yang menurut mereka bisa ngasih bunyi baru di dunia secara keseluruhan, dan itu terjadi beberapa kali.
Dan menurut aku, tuh, mereka nggak cuman ngelihat kita sebagai musisi dari Indonesia aja gitu—mereka ngeliat kita secara keseluruhan, bahwa: “Oke, lu adalah band yang bagus, musisi yang bagus,” dan mereka bakal support kita sebisa mungkin untuk kita bisa sustain, gitu, secara finansial sebagai musisi. Jadi, ya, itulah, senangnya. Support banget, gitu, tanpa mereka mikir aku dari Indonesia, aku dari mana, segala macam.
Menilik pada sejarah Tesla Manaf sebagai gitaris jazz, sebetulnya apa yang memantik untuk keluar dari genre musik yang terstruktur?
Eh! Sebenarnya, yang aku buat sekarang, eksperimentalnya, juga terstruktur sih, sebenarnya. Itu seperti musik klasik atau musik pop, ada keseluruhannya juga: ada reff, ada bridge-nya, ada verse-nya, jadi tuh, kayak, kalau secara struktur tuh bukan sesuatu yang baru, gitu, karena aku suka banget membuat komposisi yang jelas strukturnya dibandingkan yang bersifat improvisasi. Aku pernah mencoba itu, dan lama mencoba itu, terutama di dunia jazz yang sifatnya improvisasi. Cuman, karena aku besar di musik klasik, jadi kayak, struktur tuh penting banget menurut aku. Jadi, akhirnya, sekarang biarpun KUNTARI yang di elektronik atau KUNTARI yang di organik dengan Larynx ini, itu tuh semua pasti ada strukturnya.
Dan, kayak, penting banget buat aku apalagi diajarin di dunia jazz, bahwa, musik jazz di seluruh dunia berkata bahwa, kayak, jazz itu adalah kebebasan. Jadi, kalau misalnya kalian masih terkungkung di satu tradisionalisme, si jazz itu pun bisa mati, gitu. Mungkin ada orang yang mau mempertahankan tradisionalisme tersebut, dan tidak itu nggak masalah, tapi, poin dari jazz itu adalah kebebasan: Gimana caranya mereka bisa mengekspresikan sesuatu yang orang lain belum pernah rasakan atau alami sebelumnya, dan menurutku itu adalah poin jazz sesungguhnya.
Dan esensi itu aku ambil mentah-mentah, bahwa, kalau misalnya aku nggak bereksperimen, kalau misalnya aku tetap bertahan di satu tempat, bertahan di satu genre atau bertahan di satu instrumen, aku yakin aku bakal mati cara seniman. Karena aku tidak mengagungkan seni itu sendiri. Oke, aku bermain musik, gitu. Tapi, buat aku, seni adalah segalanya. Entah medianya musik, entah alat musik apa, entah medianya kanvas, medianya patung, atau apapun—buat aku, seni adalah segalanya.
Jadi, jika aku tidak mengagungkan itu aku bakal mati secara… kesenimanan, ya buat aku itu penting banget untuk terus memikirkan sesuatu yang gak pernah ada di zona nyamannya aku sendiri.
Kembali mengenai kebebasan, apakah chord progression itu sebenarnya justru mengekang?
Sebenarnya sama aja kayak, kita punya gembok dengan kombinasi 3 biji, “123”, tapi kalau misalnya 1 sampai 0, dan 0 sampai 9 gitu kita gabung ketiga kombinasi itu, kemungkinannya itu bisa… berapa ribu, kali ya? Bayangin itu ada 12, belum lagi ada nada atonal yang bisa geser dikit gitu seperti gamelan—yang nggak jelas nadanya itu ada di mana gitu.
Microtonals juga gitu, ya?
Microtonals, segala macam. Kalau kita gabungkan itu semua, kombinasinya itu bisa puluhan juta, ya kan. Kita bisa menghabiskan 20 masa hidup kita, gitu, misalkan aku mati–hidup lagi, mati–hidup lagi, gitu terus sampai 20 kali, itu tetap aja nggak beres-beres si nada-nada tersebut kalau kita gabungkan kombinasinya. Belum lagi digabung dengan rhythmic, segala macam. Jadi, menurut aku, chord progression tuh, kalau kita mikirnya lebih visioner, aku yakin itu nggak ada batasnya sama sekali.
Soalnya, musik tuh persis banget matematika. Yah, emang angka itu tidak bisa terhitung gitu, tapi, kombinasi-kombinasi tersebut tuh bisa membawa atau mengarahkan kita ke suatu tempat yang kita butuhkan, gitu. Kita bisa naik pesawat ke kota lain atau negara lain itu juga lewat matematika, kita jalan kaki ke rumah ibadah itu juga matematika—semua yang kita lakukan adalah semua matematika banget.
Begitu juga dengan chord progression, misalnya, entah itu secara harmonik enak didengar atau cara harmoni tidak enak didengar juga, atau cuman secara perkusif doang, apa yang kita lakukan, tuh, pasti mengarahkan tempat lain yang orang lain bahkan belum pernah menyentuh sisi itu, gitu. Maka, banyak banget jenis musik di dunia ini, gitu. Jadi selalu aja ada yang baru aja, udah gitu.
Misalnya kayak chord progression metal, gitu. Ada Metallica yang mainnya di E doang, dan dari mereka tiba-tiba berkembang ke arah ke Sepultura, tiba-tiba berkembang ke Dream Theater, bisa berkembang ke Mastodon, sekarang bisa berkembang ke Polyphia, ke Animals as Leaders, segala macam, itu kayak bukti bahwa nada memang 12, tapi perkembangannya, tuh, kalau misalnya dicampuradukkan bisa beyond banget gitu, lho. Bisa beyond, beyond, beyond, banget.
Limitless, ya? Math rock, dan segala-galanya tuh bisa menggabungkan kombinasi yang tak terpikirkan sebelumnya bahkan, ya?
Benar banget, makanya. Aneh banget, kan? Dari Metallica yang dari E minor doang, tiba-tiba kita sekarang denger progresi yang super complex, gitu tuh. Itu bukti bahwa manusia nggak pernah bisa berhenti mikir.
Kalau musik KUNTARI digunakan sebagai bagian dari skoring dari suatu film, what film would that be?
Mati gua. Apa ya? Kayaknya ini deh, suspense thriller, deh. Jadi, film horor yang nggak ada jumpscare-nya, tapi lebih ke suspense gitu, kayak… tipikal film kayak Coherence, atau The Invitation, gitu, yang scene-nya itu cuman satu rumah atau di satu tempat, tapi tuh dari script-nya tuh bisa membentuk suspense itu dari satu script doang, gitu. Jadi, aku lebih suka sama script yang detail atau rumit dibandingkan editing–editing yang terlalu banyak dan terlalu cepat. Menurut aku, tegangnya itu jauh lebih intens, gitu. Misalnya, kayak, ada satu film namanya Unfriended, popular banget, mereka punya scriptwriter yang amat amat sangat cerdas; [filmnya] cuman chatting di Skype, tapi bisa menimbulkan teror yang luar biasa selama film itu berlangsung—biarpun ada beberapa jumpscare—tapi menurut aku brilian banget hal-hal kayak begitu.
Berarti Tesla sangat mementingkan storytelling, ya? Apakah itu applied juga dalam proses songwriting?
Nomor satu itu, menurut aku. Karena, buat aku, storytelling itu… yah, segalanya aja. Tanpa storytelling, tuh, orang bakal bosen banget dengerin kita. mungkin orang bakal bosen dengerin kita di mp3, atau di digital, atau didengar langsung, karena musik eksperimental juga emang nggak akan bisa dan susah banget untuk kita tangkap kalau misalnya kita denger audio-nya, gitu. Karena, musik eksperimental itu adalah kita bereksperimen enggak cuman terhadap bunyi doang tapi terhadap manusia yang menonton kita, terhadap ruangan yang respon gitu, jadi si ruangan tersebut adalah instrumen kedua kita gitu selain instrumen yang ada di atas panggung, dan drama apa yang kita bisa bawa ke penonton yang akhirnya penonton bisa diam tanpa mereka tahu musik apa yang mereka dengar gitu; “ini apaan, nih?” mereka nggak ngerti! Tapi, gimana caranya mereka bisa tetap fokus nonton kita, kan, itu sulit banget, kan?
Sama aja kayak kita ke galeri lukisan. Gue nggak bisa gambar nih, tapi gimana caranya gue bisa stay di dalam galeri itu dan bisa melihat lukisan itu; “kok ini bagus banget, ya?” Sama aja kita datang ke restoran Padang, kita nggak bisa masak rendang, tapi kita bisa ngebedain rendang mana yang enak dan nggak! Itu, menurut aku tuh, seni yang luar biasa banget karena saat mereka memasak atau saat mereka menggambar, membuat musik, mereka tuh punya bumbu yang mereka bawa sejak lahir, yaitu emosi dan pengalaman hidup mereka, dan akhirnya tercantum ke semua seni mereka—apapun itu medianya, entah itu makanan, lukisan, patung, atau musik, dan itu nggak bisa direplikasi sama siapapun.
Seperti halnya musik cover itu tidak membawa nyawa aslinya lagu, ya?
Setuju banget. Biarpun ada beberapa musik cover bisa menghidupkan sesuatu yang nggak pernah hidup di musik aslinya. Biarpun itu jarang banget, ya? Terutama [musik] The Beatles, gitu. Secanggih apapun orang mereplikasi musik The Beatles dengan cover-cover dengan berbagai genre, tetap aja, gitu, musik The Beatles yang direkam dengan dua channel atau empat channel doang, gitu, tetap… nggak pernah bisa dikalahin, lah, itu.
Selanjutnya adalah mengenai kabar yang saya dengar dari kawan, tentang insiden jari dan pisau-
Parah banget itu, emang!
Hahaha. Itu katanya mengakibatkan Tesla untuk belajar cara main gitar lagi dengan cara sendiri, ya?
Syukurnya itu. Syukurnya mengarahkan ke situ, bukan?
Lantas, boleh bercerita mengenai mengenai kejadian itu?
Sama persis, sebenarnya, kayak [aku di] terompet, kan? Karena kebanyakan latihan, bibir aku rusak, gitu. Akhirnya jadi nggak bisa niup terompet secara normal, dan akhirnya aku twist ke animal mating call. Begitu juga dengan si main gitar ini. Biarpun sekarang sudah lumayan sembuh, tapi belahannya masih ada sih, ini. Jadi tuh, waktu itu kan lagi break main gitar, kan, dan aku pengen melepas jazz di tahun 2017 Desember itu, 2018 Januari itu total nggak megang gitar sama sekali. Nyentuh pun nggak, semua gitar kujual—kecuali ada, lah, beberapa yang nggak aku jual—pokoknya harus fokus nggak mau megang gitar lagi. Akhirnya aku fokus main elektronik, bertahun-tahun main alat elektronik dan main terompet juga akhirnya.
Tapi, di tahun 2011 awal gitu, kalau nggak salah, aku main gitar klasik lagi gitu biar nggak lupa, lah. Akhirnya, aku beli gitar nylon yang memang cita-cita aku pengen banget beli gitar itu, dan oke deh, pengen coba main gitar lagi kayak dulu, waktu jaman SMP–SMA. Aku main gitar klasik lagi, intens berapa bulan, tapi di saat itu juga, aku lagi intens juga masak, lagi sering banget masakin buat istri.
TRIGGER WARNING: Paragraf di bawah ini mengandung tema-tema sadis yang kemungkinan dapat mengganggu pembaca.
Nah, jadi ada satu spatula jarik yang kayu gitu, dan dia tuh ada serabutnya, gitu, dan aku gatel ngelihat si serabut itu, tuh. Akhirnya, aku pengen potong pakai silet, gitu kan, akhirnya spatulanya aku potong… terus kena jari tengah… tesss langsung kebelah dua—kayak beneran nganga banget, tuh. Sebenarnya tuh… karena ngocor darahnya tuh, jadi nggak sakit sama sekali, sih, cuman aku wrap pakai selotip biar dia ketutup, dan pas darahnya sudah berhenti, baru aku kasih Bioplacenton—nggak sempat aku jahit—dan akhirnya dia nutup dan kembali lagi seperti semula. Tapi kalau misalnya aku mencet senar, itu tuh sakit dan ngilu.
Aduh.
Nah dari situlah, oke, berarti itu adalah jalan di mana gua nggak boleh main gitar normal, nih. Karena sekarang mau tema musik aku yang Larynx ini adalah banyak mereplikasi bunyi-bunyi perkusi dari musik Sar Ping atau Barongsai, atau musik Hadrah Kuntulan dari Banyuwangi, akhirnya aku harus satu frekuensi dengan drummer aku yang dia main perkusi juga sambil main drum (karena drum-nya itu hybrid), dan gimana caranya aku bisa bermain bunyi perkusi juga gitu, biar bisa nemenin dan biar sound-nya tuh bisa blend dengan si drummer aku tersebut.
Sudah, akhirnya, si gitar tersebut tuh senar 1 sama senar 2-nya tuh aku silang, dan senar 3 dan 4-nya juga aku silang, dan senam 5 dan 6-nya itu aku ganti senar bariton, dan si tuning-nya itu aku kendorin banget, gitu. Jadi, karena senar 1-2-3-4-nya itu disilang, kalau misalnya kupetik, itu bunyinya kayak tamborin persis. Jadi, bunyinya tuh “sek kesrek kesrek” gitu. Dari situ, aku bisa bisa bikin sound ini blend dengan si drummer aku, akhirnya. Dan dari situ, lah, Larynx tercipta.
Ini yang si nylon, ya?
Nggak. Ini yang electric, yang aku bawa di panggung Larynx aja.
Selama bermain gitar, apakah percaya dengan tone itu dari instrumen dan gear, apa tone itu tergantung jari-jemari? Mengingat sekarang sudah tidak terkungkung akan fretboard dan scales.
Menurut aku tuh, itu merupakan kombinasi juga, sebenarnya. Jadi, biarpun… taruhlah ada satu piano seharga 13 miliar namanya Steinway & Sons, dan ada pianis yang baru belajar setahun, dan ada pianis yang sudah belajar [selama] 30 tahun. Pasti sound-nya beda. Karena, menurut aku, sound yang kita hasilkan dan kita produksi itu tergantung visi kita; mau kita bawa ke mana berdasarkan referensi yang kita punya. Misalnya, nih, aku suka banget suara Telecaster yang twangy, aku suka banget. Aku dikasih Stratocaster, ujung-ujungnya pasti aku ubah sound-nya ke Telecaster: dari modernisasi yang ada, dari efek-efek yang ada, dari preamp, dari amplifier, segala macam.
Ujung-ujungnya, pasti, kayak, entah aku beli gitar yang nggak ada kepalanya, gitu, beli gitar Strandberg, misalnya aku beli gitar 8 senar, segala macam, karena referensi sound yang aku suka adalah Telecaster itu, jadi apapun alat yang aku punya, pasti bakal aku arahkan visi sound-nya pasti ke arah sana—secara nggak langsung, ya. Karena, buat aku, visi sound atau referensi itu yang membuat si musisi itu punya karakter masing-masing: Mungkin mereka sukanya Telecaster, ya nggak masalah, tapi, bisa jadi mereka visi sound-nya tuh, tiba-tiba ada yang; “gue pengen tuh ada paduan dari Telecaster, tapi entah kenapa, pengen ada sedikit mid-nya tuh dari Stratocaster,” gitu.
Nah, mungkin si jarinya dan visi sound-nya sudah ke arah sana, tapi modernisasi belum mendukung, saat itu. Mungkin, ya. Tapi, karena sekarang modernisasi sudah mendukung, akhirnya mereka bisa nge-push lagi boundaries, dan akhirnya bisa menciptakan satu sound baru yang nggak pernah didapat sama sound-sound dari Fender tersebut. Karena si instrument builder, pun, mereka juga punya arah atau sound masing-masing. Misalnya, Fender, mereka punya sound khasnya sendiri, terus Gibson, terus misalnya gitar baru sekarang yang Strandberg itu punya sound khasnya sendiri. Mereka nggak pengen juga gitar mereka tuh diarahkan untuk menjadi kayak; “gue nggak pengen, nih gitar gue bunyinya kayak Stratocaster atau Telecaster,” gitu. Dan itu kan keinginannya si instrument builder-nya itu, kan?
“Tapi kalau misalnya gua pengennya ngarahin punya gua biar bunyinya kayak Telecaster, lu mau apa? Kan gitarnya udah punya gua?” Jadi, ya, balik lagi: si alat tersebut bakal bunyi sesuai dengan apa yang kita arahkan mereka mau ke mana. Jadi, tone itu penting banget, tapi modernisasi itu bakal ngebantu kita menuju ke tone apa yang kita pengen, dan mengarahkan kita menjadi jauh lebih cepat. Kasarnya, kayak, gue tinggal di Bekasi, dan gue mau ke Jakarta.
Gue bisa milih nih: mau ke Jakarta bisa naik sepeda, atau bisa naik mobil Kijang butut tahun 70-an, atau bisa pakai Alphard, atau bisa pakai mobil Ferrari ke sana, dan kita bisa tinggal pilih aja—semua medianya ada, nih. Nggak apa-apa juga mau naik sepeda, mungkin emang kita pengen keringetan. Nggak apa-apa juga naik Kijang, mungkin karena kita punya sisi historical dan sentimentil, dan ada juga orang yang pengen ngebut, sampai sana cuman butuh satu menit pakai Ferrari, ya nggak masalah juga, gitu. Modernisasinya sudah ada, tujuannya sudah persis seperti apa, tinggal medianya aja yang mau mengantarkan kita ke visi lebih cepat dan ke arah mana.
Mau beli Kemper, ya, kalau punya duit Rp 30 juta, dapet tuh Kemper. Tapi kalau misalnya lu punya duit Rp 500.000, nggak apa-apa juga, ada Boss DS-1, cuman ada distorsi, mana tau justru dari situ sound kita jadi lebih khas, misalnya.
Misalnya pengen suara-suara dari Centaur, tapi pakai Joyo juga bisa sebenarnya, ya?
Hahaha, bener banget. Pakai Joyo bisa.
Sekarang, yaa, macam-macam banget pilihannya. Kalau ternyata kita punya Kemper, malah kita jadi nggak suka, gitu? Malah jadi nggak enak main gitarnya? Kenapa kita nggak pakai Joyo yang selama ini kita ternyata nyaman di situ, gitu.
Ini kembali ke komunikasi kita terhadap alat-alat kita itu, ya?
Setuju banget. Itu penting banget menurut aku. Karena, seperti yang Garrin cerita tadi bilang, “sentimental terhadap alat tersebut tidak pernah bisa kita lepas karena itu yang membawa kita menjadi lebih peduli sama apa yang kita punya sekarang,” gitu.
Mungkin suatu saat bakal nambah alat, misalnya mereka bakal manggung di tempat stadion besar, Wembley Stadium, nah itu penting untuk punya alat-alat yang canggih. Ya, mungkin itu seiring berjalannya waktu mereka bakal harus meng-upgrade gear mereka, dan disesuaikan dengan space yang bakal mereka mainin. Tapi, sound-nya, tetap pas mereka main pakai Joyo itu—itu sudah pasti, karena mereka sudah nyaman di situ. Biarpun gear-nya secanggih apapun, itu cuman mendukung, kasarnya, permainan mereka di space yang lebih besar, atau stadium, atau speaker yang lebih canggih, gitu. Tapi, visi sound yang kita punya, itu adalah sound-sound yang kita bentuk saat kita pakai efek Joyo tersebut, yang kita beli dengan harga Rp300.000–600.000-an itu.
Akun Twitter @teslamanaf cukup aktif dalam membuat konten. Melihat fenomena—dan segala kontroversi—musisi-musisi yang aktif di platform tersebut, apakah penggunaan media sosial itu sebenarnya bagian dari marketing ploy untuk musik, atau sebagai medium ekspresi untuk pribadi?
Sebenarnya itu gimmick, sih ya, dan itu nggak masalah banget—seniman itu pasti punya gimmick masing-masing. Entah si Ozzy Osbourne dengan kesatanikannya, entah Cannibal Corpse dengan dengan… kekanibalannya, Alice Cooper dengan makan kelelawar,
Slipknot dengan topengnya, ya?
Slipknot dengan topengnya, gimmick tuh penting banget. Tapi, kita punya pilihan gimmick kita bisa jadi cheesy yang akhirnya menjadi bumerang buat kita sendiri, atau gimmick tersebut bisa nge-push kita ke arah musikal yang kita tuju, gitu. Misalnya kayak, nggak masalah juga sebenarnya misal si artisnya pengen punya akun sosial media tapi isinya pokoknya ngelawak semua, dan mana tau dengan jokes-jokes kayak gitu mereka jadi lebih dikenal dan akhirnya mereka bisa di-hire, bisa dapat banyak panggung, dan akhirnya bisa menyuarakan musik-musiknya mereka di berbagai panggung, gitu.
Yang jadi masalah adalah kalau misalnya kita mengangkat diri kita dengan cara menjatuhkan orang lain. Itu nggak cuman di musik; mau di kesenian apapun, di bidang pekerjaan apapun, kita menjadikan kepala orang lain untuk tumpuan kita untuk menjadi lebih tinggi, itu selalu amat sangat tidak dibenarkan, gitu. Dan itu merupakan cara menuju lebih tinggi dengan cara yang rendah, menurut aku.
Nggak masalah misalnya lagi ada bahasan isu apa dan akhirnya kita ikutin—biarpun kesannya itu kayak poser, lah, kasarnya— itu nggak masalah juga, ya, kalau misalnya kita bisa lebih peduli terhadap sekitar kita, kenapa nggak? Tapi, selama kita tidak menyinggung atau tidak membuat orang lain menjadi kesannya lebih kecil dan kita merasa kita lebih besar, menurut aku itu adalah… tidak hanya bodoh, tapi juga membuat mereka menjadi tidak punya perasaan sama sekali sebagai manusia. Apapun, menurut aku sih sah-sah aja, sih. Yang penting tidak ada orang yang terlukai.
It’s about being civil, ya Mas?
Yes. Yah, sefundamental itu dulu aja, lah. Maksudnya, elu sebelum jadi musisi elu kan manusia. Lu sebelum jadi seniman, kita semua manusia gitu. Waktu balita, lu ngapain sih, pengennya? Cuman main doang, kan? Pengen ketemu sama banyak orang, pengen ngobrol, pengen main selamanya—sampai tua pun kita kayak gitu. Dan, ya, kita sering lupa, sebenarnya. Tapi, karena kita banyak referensi sekitar kita yang membuat kita akhirnya menjadi lebih jahat, itu bahaya banget. Karena itu bakal terrefleksi di keseharian kita nantinya, entah perlakuan kita terhadap waiters, perlakuan kita terhadap sopir kita, misalnya.
Di akun @teslamanaf, ada video ROLI Seaboard dipakai. Untuk aspiring musicians, kira-kira ada rekomendasi rekomendasi MIDI controller atau synthesizer macam Teenage Engineering, yang kira-kira yang orang semestinya harus tahu, kah?
Apa yaa yang lucu-lucu ya. Saat ini yang paling populer, alat yang lucu, dan powerful, emang Teenage Engineering, sih, terutama di OP-1, kan. Wah, itu emang powerful banget. Bentuknya aja kayak mainan, putih, gemes gitu, kan? Ya Allah, suaranya itu… Tapi sebenarnya aku udah ngumpulin Teenage Engineering dari tahun 2017, kali ya. Sudah [ngumpulin] lumayan banyak Pocket Operator, berapa biji ya… kayaknya sekitar 4–5 biji, di saat Melodia belum masukin di Indonesia. Itu sudah aku jualin satu-satu karena makin pengen cari alat, tuh, yang lebih simpel dan lebih compact, tapi lebih powerful juga, gitu.
Tapi menurut aku tuh, Seaboard itu adalah sisi populernya dari Continuum. Jadi, Continuum itu sama [seperti Seaboard] bisa glide, bisa slide, segala macam, tapi mereka cuman terkenal di kalangan musisi eksperimental, atau musisi-musisi sound design, dan itu nggak ada yang ngalahin. Lalu, tiba-tiba muncul ROLI dengan design yang cantik, intuitif juga—harganya memang lumayan mahal, sih—cuman itu muncul dengan ke-gimmick-an yang canggih, dan dibawa ke ranah popular dengan di-endorse ke banyak artis, dan sayangnya mereka bangkrut gara-gara terlalu ambisius dengan sisi promosinya itu, gitu. Sedangkan, orang-orang merasa MIDI controller doang dengan harga segitu, kayak; “ah, ini gue buat apa, ya, kalau gue punya juga? Kalau misalnya lu bisa main cielo kayak gitu, ya lebih baik gue nge-hire orang pemain cielo beneran,” kasarnya kayak gitu. Misalnya, kalau orang mikir ke arah microtonal, ke arah drone, atau ke arah musik yang sinematik, ROLI emang udah canggih banget, dibanding Continuum yang harganya lebih mahal, gitu.
Aku rasa, yang paling breakthrough banget sih sementara ini tuh ROLI dan Arturia kali, ya? Arturia juga banyak banget mode dan banyak banget fitur gitu yang ngebuat musisi elektronik itu bisa eksperimen banget, kayak gitu.
Tapi, jalan paling singkat adalah dengan melihat channel YouTube-nya Andrew Huang. Entah kenapa tuh, orang itu tuh bisa ngebungkus semuanya dengan eyecandy banget, serba bright, terus dia pakai baju yang warna-warni, studionya juga amat sangat cantik, gitu. Itu manusia jenius banget. Bayangin, konten-konten se-detailed, berbobot seperti itu bisa dia keluarin dengan seminggu tiga kali, seminggu lima kali—aku nggak ngerti, dia kayaknya sehari punya 80 jam, kayaknya. Tapi, biarpun dia dikasih alat baru, dia bisa memaksimalkan di saat yang bersamaan, juga. Menurut aku tuh channel yang amat sangat berbobot banget, sih, untuk cari alat-alat baru.
Balik lagi dulu aja ya, menjadi manusia sebelum kita jadi seniman.
Adakah pesan-pesan untuk those aspiring musicians?
Mungkin yang tadi sempat kita bahas, ya? Balik lagi dulu aja ya, menjadi manusia sebelum kita jadi seniman. Karena seniman yang bunyinya bisa bertahan sampai ratusan tahun itu adalah musisi yang memanusiakan musik mereka sendiri, menurut aku, ya.
Biarpun nggak semuanya sih, ya? Banyak juga sampai sekarang musisi-musisi asshole yang sampai sekarang juga bisa didenger, banyak banget, gitu! Musisi-musisi klasik asshole yang sampai sekarang musiknya tuh tetap diagungkan, banyak juga sih, sebenarnya. Cuman, dunia alangkah jauh lebih indah kalau misalnya kita nggak berhenti bereksperimen dan kita menjunjung tinggi kebebasan, tapi tidak lupa juga bahwa kebebasan kita dipagari atau dibatasi oleh sisi-sisi humanis itu sendiri—balik lagi ke fundamental kita sebagai manusia. Boleh sebebas apapun, selama kita tidak merugikan atau melukai orang lain, itu menurut aku adalah kebebasan yang paling absolut.