Terkadang yang Kita Perlukan Hanya Kerja Secukupnya
Dalam submisi column ini, Hanindito Buwono merefleksikan pengalamannya selama kurang lebih setahun berkecimpung dalam dunia kerja dan bagaimana pengetahuannya tentang fenomena quiet quitting mengubah pandangannya tentang hustle culture.
Words by Whiteboard Journal
Aku teringat pada sebuah momentum yang mengubah hidupku. Pada 2021 lalu, kegiatan dan tujuan terpenting yang harus kulakukan ialah melepaskan gelar mahasiswa yang sudah diemban selama hampir 4.5 tahun. Kewajiban itu telah kuselesaikan dengan jerih payah, namun ternyata kesulitan tersebut tidak sebanding dengan apa yang aku hadapi setelahnya.
Sebagai seorang yang baru lulus, aku ditempa dengan banyaknya informasi-informasi yang mengagungkan hustle culture. Dari media sosial misalkan, banyak sekali konten-konten anak muda yang membanggakan dirinya bisa bekerja tanpa istirahat. Saat aku melihat konten tersebut, aku hanya mengernyitkan dahi keheranan. Satu hal yang langsung terpikirkan: persaingan kerja bukanlah hal main-main.
Bisa dikatakan bahwa aku merupakan orang yang cukup beruntung. Setelah lulus, rentang waktuku menganggur tidak selama orang pada umumnya. Dua bulan setelah sidang aku mulai bekerja sebagai intern sampai dengan Agustus, kemudian September pindah tempat kerja di perusahaan media yang aku dambakan. Tiidak kusangka ternyata keputusan itu merubah jalan pikiranku.
Awalnya, aku sangat antusias saat masuk pertama kali ke kantor. Bagaimana tidak, perusahaan tersebut sedang lancar-lancarnya memanjat tangga kepamoran. Selain itu, lokasinya sangat strategis bagi pengguna transportasi publik. Sebagai orang yang baru lulus, bisa mendapatkan kerja secepat mungkin adalah hal yang sangat patut disyukuri. Tetapi selama hampir setahun di perusahaan tersebut, aku kehilangan diriku.
Kehilangan ini berarti aku tidak mengenal diriku lagi. Beragam cara kulakukan untuk bisa membuat atasan senang dengan kinerjaku. Salah satunya dengan berinisiatif mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari rekan kerja yang lain. Namun, pekerjaan tidak ada habisnya. Selalu ada pekerjaan yang tiba-tiba datang dan membuatku berpikir, “Kenapa aku melakukan ini terus?”
Aku benar-benar kehilangan diriku. Oh betapa tidak enaknya jika kamu merasakan hal yang aku alami. Idealisme yang aku bangun semenjak kuliah lama-kelamaan tergerus selama setahun itu.
Aku seperti orang yang tidak hidup. Kegiatan sehari-hari cuma pergi ke kantor, kerja di kantor, ngobrol dengan rekan kerja di kantor, lalu pulang ke rumah dan tidur. Siklus itu selalu berulang-ulang hingga aku merasa hidup di dalam goa.
Kehilangan tersebut semakin diperburuk dengan penjadwalan kerja. Ya, karena bekerja di industri media televisi, jadinya aku bekerja shift. Hal itu memperburuk keadaan diriku. Waktu weekend yang bisa digunakan untuk berkumpul dengan keluarga dan orang tersayang, ternyata tidak bisa aku rasakan.
Baru mengerti ternyata inilah yang namanya bekerja. Semua nilai-nilai yang kamu punya, lambat laun tergerus, atau bahasa halusnya, terkubur karena gengsi dan juga kenikmatan materi.
“Gaji lu berapa sekarang?”
“Gila, dengan gaji lu sekarang, gua bisa abis dalam 2 minggu kali”
“Gua kan lulusan PTN ternama, ya, setidaknya gaji gua minimal 8 juta, lah!”
Semua pertanyaan dan pernyataan itu lambat laun membuat diriku seperti layaknya mereka. Aku jadi tergila-gila dengan gaji. Patokan kebahagiaan bukanlah tentang pengalaman dan proses yang sudah kulalui, melainkan materi dan hal-hal yang secara instan bisa dinikmati.
Suatu hari, aku menemukan informasi yang menarik di internet. Informasi itu menjelaskan tentang fenomena quiet quitting yang sedang marak dilakukan oleh anak muda. Aku tertarik untuk menguliknya lebih dalam.
Tentunya, fenomena tersebut menimbulkan banyak pro dan kontra. Banyak yang bilang bahwa sebenarnya ada dampak baiknya jika melakukan quiet quitting. Salah satunya, bisa terhindar dari burnout dan gejala kesehatan mental lainnya seperti depresi dan kecemasan.
Tidak hanya itu, kamu bisa jadi punya waktu luang untuk mengembangkan hobi dan passion yang terpendam karena tidak punya waktu untuk menggelutinya. Kamu bisa saja memulai bakat terpendammu dalam fotografi, melukis, hingga musik. Siapa tahu jadi menambah pundi-pundi uang, menarik bukan?
Tidak melulu berkilauan, banyak juga komentar negatif tentang quiet quitting ini. Misalnya, kamu bisa saja terlalu menyepelekan pekerjaanmu dan berimbas kepada performa kerja. Hal ini akan berdampak pada kesempatan naik jabatan atau posisi yang bisa dibilang akan menambahkan gajimu juga. Nah lho, makin bingung gak tuh?
Melihat pro dan kontranya, aku akan berusaha untuk menyimpulkannya supaya bisa bermanfaat bagi diriku dan juga yang membaca tulisan ini.
Terkadang yang kita perlukan hanya kerja secukupnya. Apa sih sebenarnya definisi cukup? Nah, itu kembali kepada pemahamanmu: apa sih yang membuat kamu cukup dan tidak. Aku percaya, memutuskan sebuah pilihan pasti ada konsekuensinya. Aku tidak menyesal dengan pengalaman kerjaku sebelumnya, malah menjadi pelajaran bahwa mencari uang itu susah. Aku jadi belajar bahwa uang harus dipergunakan dan dikelola sebaik mungkin. Pemikiran itu tertanam dalam diriku dan mencoba bersyukur dengan apa yang sudah dilakukan.
Hal penting yang bisa kupetik dari pengalaman dan informasi quiet quitting adalah seberapapun kerasnya dirimu bekerja, jangan lupa untuk tetap menjaga dan merawat dirimu dengan baik. Kenali kekuatan tubuhmu dalam bekerja, jika sudah mengetahui limitmu, tidak ada salahnya, kok, untuk istirahat sebentar. Kita dilahirkan di dunia ini bukan untuk bekerja, melainkan untuk hidup dan bermanfaat bagi sesama makhluk hidup.