Antara City Pop dan Menjadi Diri Sendiri bersama Aya Anjani
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Aya Anjani untuk mendengar evolusi sound yang ia sajikan sebagai musisi, kembalinya musik lama, hingga eratnya kaitan antara fashion dan musik.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with Bobo Tokyo
Foto: Ardi Widja
Ketika membicarakan soal musik, atau ragam bentuk kesenian lainnya, satu hal yang pasti adalah pentingnya menjalani proses dalam berkarya. Dari mencari sound yang cocok, menulis lirik yang tepat, hingga mempelajari instrumen untuk melengkapi bagian lagu, semua butuh proses agar bisa berkembang menjadi apa yang ingin dicapai.
Perjalanan untuk menikmati proses dalam bermusik pun yang dirasakan oleh Aya Anjani. Lahir sebagai seorang anak dari maestro musik Tanah Air, Yockie Suryo Prayogo, tentu memiliki privilege tersendiri. Namun, Aya bersiteguh untuk menjadi diri sendiri dan menjalani karirnya sebagai musisi sesuai dengan jalur dan proses yang ia mau.
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Aya untuk mendengar evolusi sound yang ia sajikan sebagai musisi, kembalinya musik lama, hingga eratnya kaitan antara fashion dan musik.
Besar dengan pengaruh musik yang kuat, bagaimana sampai akhirnya Aya memutuskan untuk fokus di ranah tersebut?
Sebetulnya, waktu kecil gue emang suka musik dari dulu secara bokap gue emang musisi, jadi suka ikut beliau rekaman kemana-mana. Cuma dari dulu sebenernya gue pemalu banget dan nggak berani tampil, jadi baru serius mungkin pas kuliah. Berani ngeband, berani tampil dan ketemu teman-teman yang satu selera musik dan akhirnya seiring waktu mereka kayak “yuk, gue bantuin rekaman”.
Tadinya, gue nggak ada pikiran sama sekali untuk memilih musik sebagai karir, tapi semenjak teman-teman yang lain membantu, gue jadi tergerak dan merasa kalau mungkin memang hal tersebut bisa gue menjadi fokus gue.
Jadi sebenarnya pas baru-baru kuliah ya?
Musik mungkin sudah jadi passion dari dulu, tapi gue nggak ada keinginan untuk jadi penyanyi karena menurut gue untuk tampil di depan banyak orang itu nggak ‘gue’ banget. Tapi, semakin kesini gue akhirnya memberanikan diri untuk tampil di depan orang dan di atas panggung.
Sebelumnya Aya dikenal sebagai salah satu dari Choco Miruku, boleh ceritakan tentang ketertarikannya dengan musik Jepang?
Sebetulnya, waktu akhirnya gue serius di musik dan dibantu teman-teman itu, banyak dari mereka yang datang dari komunitas Jepang. Pada saat itu sebetulnya lagi hype-hypenya banget JKT48. Dulu gue memang suka banget nonton anime dan musik-musik Jepang sampai akhirnya ketemu teman-teman yang suka jejepangan.
Waktu itu sempat ada acara “Tribute to JKT48” dan akhirnya gue diajak untuk ikut tampil di sana. Di saat itu belum dalam formasi Choco Miruku, tapi gue tampil berdua sama teman padahal gue pun sama sekali nggak tahu lagu-lagu JKT48. Akhirnya, setelah didengarkan beberapa lagu, gue mencoba untuk kulik lagu mereka satu-satu. Ternyata, keisengan itu membuahkan antusiasme yang lumayan besar sampai kami memutuskan untuk upload beberapa cover lagu ke YouTube. Dari sana, lahirlah Choco Miruku yang kemudian membuat kami sering diundang ke beberapa acara bertema Jepang.
Tapi maksudnya di awal tuh bukan yang emang mau ke sana tapi diajarin gitu ya?
Dari dulu gue sebenarnya sudah suka dengan hal-hal berbau Jepang, tapi untuk JKT48 itu sama sekali belum tahu sampai akhirnya diajarkan sama teman-teman. Sekeliling gue pada saat itu memang semuanya wota, session player gue pun juga.
Terus itu berarti berapa lama tuh sama Choco Miruku?
Nggak lama sih waktu itu mungkin dua tahunan. Choco Miruku kan sebetulnya juga project senang-senang yang ternyata banyak yang mengundang untuk tampil. Teman gue yang satu lagi juga bekerja, gue pun saat itu sedang kuliah semester akhir, jadi semakin lama sibuk masing-masing aja sampai hilang.
Setelahnya, Aya kembali merilis musik namun dengan approach yang berbeda. Bagaimana sampai akhirnya Aya menemukan sound yang sekarang?
Gue memang dari dulu senang eksplor musik dan gue tipe orang yang nggak bisa denger satu genre musik seumur hidup. Buat orang yang dengar Choco Miruku, EP pertama gue mungkin terdengar sangat familiar karena sound-nya Jepang banget.
Setelah rilis EP pertama, gue juga lagi suka banget mendengarkan lagu-lagu city pop, seperti dari Tatsuro Yamashita dan lain-lain. City pop kan dari Jepang, tapi pas gue mendengarkan musiknya, gue merasa kalau musiknya itu indonesia banget. Zaman Fariz RM pun mirip seperti sound city pop. Anehnya, pada saat itu, elemen city pop belum banyak dijadikan inspirasi sama musisi-musisi kita. Makanya, gue mengajak teman-teman untuk bikin lagu dengan elemen city pop, dan lahirlah “Romansa Romansa”. Tidak lama setelah single itu rilis, city pop jadi naik banget. Gue juga nggak surprised karena memang seharusnya begitu.
Lalu, pas akhirnya gue merilis EP kedua sama Petra Sihombing, sound-nya berubah jadi lebih elektronik. Pada saat itu memang proses penulisannya lebih ke ‘apa yang gue mau, gue bikin’ dan menurut gue Petra adalah orang yang tepat untuk memproduksi album tersebut.
Apa yang akan gue rilis ke depannya pun akan berubah lagi. Cita-cita gue itu selalu ingin punya sesuatu di vokal maupun songwriting yang bisa jadi benang merah walaupun genrenya berbeda-beda. Gue nggak mau terpaku pada satu genre karena gue suka semuanya. Rasanya dalam hidup itu sia-sia kalau gue nggak mencoba semuanya. Makanya, gue jadi ingin coba eksplor ranah-ranah lain juga walaupun masih dalam satu benang merah.
Menjadi anak dari Yockie Suryo Prayogo, tentu hadir ekspektasi tersendiri ketika Aya memutuskan untuk mengikuti jejaknya. Bagaimana Aya menyikapi hal itu?
Menjadi diri gue sendiri aja sih. Gue nggak pernah merasa punya bokap seorang musisi itu membebani, gue malah merasa punya privilege. Gue nggak pernah bawa nama bokap sejak awal rilis. Pemikirannya bukan karena gue nggak mau dibilang anaknya Yockie Suryo Prayogo, karena pasti ada pengaruh bokap di karya gue. Gue itu tipe anak yang justru malah nggak pernah kasih tahu kalau gue sedang bikin lagu ke bokap, karena malah takut duluan. Bokap gue pun tahu gue nyanyi akhirnya dari YouTube.
Jadi gue itu nggak pernah mengajak orang tua untuk nonton gue pas manggung, karena gue berpikir rasanya gue belum ada di titik di mana mereka bakal bangga melihat gue. Ada rasa seperti itu karena bokap gue orangnya kritis dan tipe musisi yang sangat idealis – yang akhirnya gue banyak belajar dari bokap.
Banyak orang yang menyebut bokap gue sebagai maestro atau legend dalam musik. Sementara gue nggak ada pikiran untuk menjadi legend, gue mau menjadi musisi yang apa adanya.
Apa pelajaran terbesar yang dapat diambil dari sang ayah dalam bermusik yang masih Aya pegang hingga sekarang?
Bokap gue selalu mendorong gue untuk jadi diri sendiri dan harus peka sama lingkungan sekitar. Ketika membuat karya, harus lihat lingkungan sekitar dengan cara bergaul dan mengobrol sama orang lain. Itu yang gue pelajari dari bokap.
Bokap itu malah bukan tipe orang yang mendorong gue jadi musisi. Justru, bokap yang selalu mewanti-wanti ke anak-anaknya, “Jadi musisi di Indonesia itu ngggak gampang, lho. Kerja aja mendingan, nggak usah ngeband.” Dia malah tipe yang seperti itu karena mungkin dia tahu industri musik di sini belum stabil dan dia struggle banget sejak awal karirnya.
Soal genre dan sound, apakah Aya pernah melihat ke repertoar ayah untuk mencari inspirasi?
Sampai saat ini sejujurnya belum, sih (tertawa). Tapi nggak tahu ya, nanti bagaimana. Gue itu di musik nggak neko neko, memang apa yang gue tulis saat itu adalah permasalahan gue saat itu juga. Jadi, gue belum pernah melihat karya-karya bokap sampai kemudian ingin membuat suatu karya yang serupa. Kebetulan, kemarin gue sempat diminta untuk meng-cover lagu bokap “Terbanglah Lepas”. Nggak tahu juga ya, pernah ada yang bilang beberapa karya gue itu “Yockie banget”, tapi mungkin secara nggak sadar seperti itu. Mungkin karena gue kebetulan anaknya.
Bokap gue itu tipe orang yang dari dulu kalau dia latihan akan mengajak sekeluarga ikut. Bahkan, pernah dari malam sampai jam 3 pagi di studio, padahal besoknya ujian. Jadi, secara nggak langsung terpatri lah nada-nadanya, atau obrolan bokap dengan teman-teman musisinya. Pengalaman itu mungkin membentuk mindset gue sebagai musisi sekarang.
Elemen city pop dapat terdengar di repertoire Aya, bagaimana Aya melihat come back genre ini di generasi sekarang?
Senang-senang aja, sih. Memang roots kita ada di situ, jadi sudah sewajarnya revival. Apalagi, vinyl juga lagi naik, jadi kayaknya kita memang sedang ada di fase di mana kita kembali kangen ke analog. Gue pernah dengar kalau musik itu sudah tidak ada yang baru semenjak 80-an, jadi kita akan berputar terus. Menurut gue, ini adalah satu fenomena yang wajar dan bagus. Kita jadi punya karya yang bervariasi dan membangun lifestyle yang baru juga.
Kini suara ‘musik lama’ yang mengingatkan kita pada musik pop Indonesia tahun 80-an pun kembali populer, salah satunya ketika Aya merilis cover dari lagu “Juwita” serta “Terbanglah Lepas”. Bagaimana Aya melihat ‘revival’ ini?
Gue tiba-tiba diajak Irama Nusantara untuk cover lagu itu di mana gue dipasangin sama Randy MP dari Parlemen Pop. Pas ngobrol, ternyata dia sudah paham banget sama lagu-lagu bokap dan di itu membuat gue lumayan lega. Ketika meng-cover “Terbanglah Lepas”, gue juga nggak mau hasilnya terlalu jauh dari aransemen asli. Gue ingin jiwanya tetap sama, tapi lebih modern aja. Gue nggak mau menghilangkan esensi lagunya. Beberapa hari kemudian, dikirim lah track yang sudah hampir mau selesai. Jadi, gue kayak karaokean aja, benar-benar cuma mengisi vokal. Gue bersyukur banget dipasangkan sama Randy.
Saat gue meng-cover “Juwita”, itu juga prosesnya mirip. Gue nggak mau “Juwita” ini terlalu beda dan masih memiliki jiwa yang sama.
Gue juga nggak menyangka, ternyata bisa lagu-lagu tersebut dinikmati orang banyak. Karena kalau dipikir-pikir, lagu seperti ini bukan tipikal lagu pop yang easy-listening. Senang juga ternyata anak-anak zaman sekarang bisa relate sama lagu seperti itu.
Selain musik, Aya juga memiliki fashion style yang menarik. Bisa ceritakan bagaimana akhirnya bisa menemukan style Aya sekarang?
Fashion itu kan seni juga, jadi gue menganggap fashion sebagai bentuk berekspresi gue juga. Hampir sama dengan pendekatan gue ke musik. Jadi, apa yang gue rasakan saat itu jadi apa yang gue tunjukan. Misalnya, ketika zaman Choco Miruku, gue lagi ingin merasa kawaii, jadi fashion style gue itu ala Jepang yang kawaii. Sempat juga pas awal pandemi, karena gue lagi suka mendengarkan lagu-lagu Eropa, gue jadi pengen gaya pakaian gue menjadi seperti itu. Secara nggak langsung, pencarian fashion gue hampir sama seperti musik. Apa yang gue rasakan saat itu jadi apa yang ingin gue tunjukan.
Fashion dan musik memiliki keterikatan kuat, bagaimana Aya melihat pengaruh fashion dalam musik Anda sendiri?
Sangat berpengaruh, apalagi cara gue bisa deliver entah itu video klip atau artwork, karena gue ingin menghasilkan itu secara lengkap. Musik yang sama dengan fashion yang berbeda bisa jadi dua hal yang berbeda. Sebagai contoh, ada artis yang dua-duanya musik pop tapi yang satu gayanya nyentrik dan satunya diva, itu bisa beda banget branding-nya. Jadi fashion dan musik sangat memiliki keterkaitan.
Gue itu sangat mengusung visual. Makanya gue senang budaya Jepang dan Korea karena mereka sudah lebih lama melek tentang itu. Musik itu memang seharusnya full-package, jadi apapun harus dipikirkan, dari style hingga moodboard dan warna.
Apalagi kalau melihat beberapa artwork Aya itu juga konseptual.
Iya, baru akhir-akhir ini gue punya stylist. Sebelumnya, gue styling sendiri. Untungnya, gue punya stylist yang satu halaman sama gue. Gue ingin lebihh dikenal bukan sebagai penyanyi yang cantik, tapi penyanyi yang gayanya unik atau nyentrik. Gue lebih suka agak sedikit mencolok dibanding pop diva.
Apa must-have item di wardrobe Aya?
Outer, baggy pants, sama topi.
Outer karena gue gampang banget kedinginan. Baggy pants karena nyaman dan gue merasa paha gue besar jadi pakai baggy pants itu cocok. Kalau topi, itu aksesoris yang paling sering gue pakai dibanding anting atau kalung.
How would you describe your style?
Casual, quirky dan elegan.
Quirky karena gue suka hal-hal yang unik, misalnya sandal rumah berbentuk roti dan topi kelinci. Gue suka hal-hal yang mungkin menurut orang lain kayak, “lo ngapain sih punya hal-hal kayak gitu?” tapi gue punya. Mungkin orang lain nggak akan beli hal itu, tapi gue beli.
View this post on Instagram
Adakah proyek atau rilisan dalam waktu dekat?
Selama pandemi gue lagi bikin album dan inysa Allah akan rilis paling dekat tahun depan. Mungkin, album ini juga beda lagi genrenya. Gue suka memberi kejutan kepada orang-orang, jadi nantikan saja. Apalagi pandemi kemarin gue benar-benar nggak kemana-mana, jadi akhirnya gue belajar sendiri pas rekaman. Sebelumnya, kalau rekaman itu gue benar-benar cuma mengisi gitar dan vokal. Sekarang, gue mempelajari teknis digitalnya, dari Logic Pro dan lain-lain. Terus, gue juga sempat belajar gitar elektrik. Ada hikmahnya, lah. Harapan gue adalah untuk albumnya keluar dengan baik.
Dalam “The Beauty of Everyday”, kami akan membedah hal-hal sederhana melalui berbagai sudut pandang filosofi Jepang. Nantikan artikel selanjutnya dengan mengikuti media sosial kami dan Bobo Tokyo!