Jangan Salahkan Cinta, Salahkan Ekspektasimu
Pada submisi column kali ini, Muhammad Rizki Ardhana melihat fenomena percintaan modern yang sering kali kandas dalam usia singkat, bahkan beberapa di antaranya belum sampai tahap “resmi” berhubungan. Selain pengaruh teknologi, menurutnya hal tersebut dapat diamati dari bagaimana cinta menjadi hiperrealitas dalam kehidupan masyarakat modern.
Words by Whiteboard Journal
Beberapa hari yang lalu, ketika sedang mengerjakan suatu kegiatan sambil memutar lagu agar tidak merasa sepi-sepi amat, tiba-tiba fitur auto-play secara otomatis memutar ‘The Feeling’, lagu underrated Justin Bieber dari album ‘Purpose’ (2015). Lagu ini sering kudengarkan pada masa putih abu-abu dulu. Di bagian reffnya, Halsey (yang jadi pasangan duet Justin di lagu ini) melantunkan bagiannya:
“Am I in love with you? Am I in love with you?
Or am I in love with the feeling?
Trying to find the truth, trying to find the truth
Sometimes the heart is deceiving”
Ketika mendengar bagian tersebut, aku menghentikan kegiatanku dan terlentang menatap langit-langit kamar. Sial, aku jadi berefleksi tentang pengalaman cintaku yang sebelum-sebelumnya. Yah, tidak banyak memang. Namun, semuanya berakhir sama: kandas di tengah jalan, sebelum terikat secara “resmi” (pacaran, maksudnya). Penyebabnya macam-macam: ada lucu-lucuan masa sekolah, ada yang merenggang karena terpisah jarak, ada yang cuma cinta searah, dan ada yang (sepertinya) resiprokal, tapi entah mengapa hilang rasa.
Tentu saja semuanya menyakitkan, tapi yang terakhir rasanya agak berbeda. Setelah jatuh bangun memperjuangkan perasaan dan akhirnya mendapat timbal balik dari pihak lain, “percikan-percikan” itu perlahan padam. Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin salah satunya karena ekspektasiku yang berlebihan dan tak sesuai kenyataan.
Seperti yang terjadi pada film 500 Days of Summer, ketika Tom (aku) mempunyai some sort of perfect, fantasized, delusional projection kepada Summer (dia), yang membuat Tom terobsesi untuk mendapatkan hati si pihak perempuan. Namun, pada akhirnya Tom sadar bahwa Summer dalam kenyataan berbeda dari Summer yang selama ini ia damba dan fantasikan di pikirannya. “You know what sucks? Realizing that everything you believe in is complete utter bullshit,” ujar Tom dalam momen epifaninya di akhir cerita. Ya, sebenarnya Tom-lah yang salah, karena telah berdelusi dan berpikiran bahwa Summer is what she’s actually not. We fell in love with the idea of a person, not with the actual person.
Namun, jika Tom marah dan nelangsa karena ditinggalkan Summer dan baru sadar setelahnya bahwa yang ia lakukan salah, yang terjadi padaku malah sebaliknya. Setelah menyadari bahwa ekspektasiku berbeda dari kenyataan, malah aku yang perlahan berhenti untuk mendekati dia. Tidak, aku tidak bangga menjadi seorang douchebag dan merasa superior karena tiba-tiba meninggalkannya. Toh, barangkali ia malah merasa bersyukur karena tak akan ada lagi parasit yang mengganggu hari-hari tenangnya. Namun, aku hanya takut bila hal ini akan terulang di masa depan.
Can I really be able to love a person unconditionally? Or can I only love “the feeling of loving someone” and then lose her eventually?
Am I in love with you? Or am I in love with the feeling?
Simulakra Cinta
Mari lihat hal ini dari perspektif yang lebih luas. Mungkin, ekspektasi dan standar yang kita inginkan dalam memilih pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya teknologi dan modernisasi. Efek modernisasi mempermudah kegiatan kita sehari-hari, dan produk teknologi jadi kawan menjalani hidup yang terlampau mundane ini.
Layaknya koin, ada sisi lain yang perlu dipahami dalam perkembangan teknologi, yakni efek negatif yang kita terima akibatnya. Salah satunya yakni memperpendek tingkat perhatian (attention span) kita. Menurut sebuah artikel di The Science Times, menonton gempuran video-video pendek di media sosial, seperti Tiktok, Youtube Shorts, Instagram Reels (yang kontennya kerap kali cuma berdurasi 15 detik), secara eksesif dan terus menerus dapat mengurangi attention span kita secara gradual — bahkan dapat mengganggu kesehatan mental.
Bukan mustahil bahwa efek negatif berkurangnya tingkat perhatian ini akan menjalar ke unsur lain dalam kehidupan kita. Dan jika boleh menarik sebuah hipotesis, pendeknya attention span mungkin dapat berefek pada tindakan mencintai (the act of loving) yang kita lakukan.
Mencintai seseorang, wabil khusus dalam pernikahan, membutuhkan usaha yang cukup berat. Katakanlah sebuah pasangan menikah di umur medio 20-an, dan bila dihitung secara kasar dengan angka harapan hidup di Indonesia, 73,5 tahun, pasangan tersebut akan hidup bersama selama ±40 tahun — jika hubungan lancar dan tidak berpisah di tengah jalan. Ah, aku sendiri, sebagai seorang gen z, zoomer, zilenial, atau apapun istilah yang akan beranak nantinya, tidak bisa membayangkan sekuat apa komitmen dan mental yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang (kemungkinan) akan berefek seumur hidup itu. Dan ya, ironisnya, akulah contoh nyatanya. Dan bisa saja salah satu faktor penyebab ketidaknyamanan dan ketakutan untuk menjaga komitmen dalam waktu yang lama berawal dari semakin pendeknya attention span generasi kita yang diakibatkan teknologi, sehingga membuat kita ragu dan bahkan segan untuk berkomitmen dalam melakukan suatu hal yang bakal berlangsung lama.
Lalu, bagaimana modernisasi teknologi memengaruhi ekspektasi kita tentang cinta? Menurut Jean Baudrillard, seorang pemikir posmodern dari Prancis, pada masa kiwari ini kita lebih banyak berinteraksi dengan apa yang disebutnya ‘hiperrealitas’ daripada realitas itu sendiri.
Baudrillard mencontohkan hiperrealitas dengan sederhana, yakni melalui film ‘Apocalypse Now’, sebuah film tentang Perang Vietnam. Akting, efek khusus, set, pengeditan, segala sesuatu tentang film tersebut dibuat sedemikian rupa. Sehingga ketika menontonnya di layar, kita merasa adegan-adegannya terlihat sangat nyata. Film ini jadi terlihat lebih nyata daripada kenyataan perang yang sebenarnya.
Sebagian besar pemahaman kita tentang Perang Vietnam berasal dari video-video online dan beberapa artikel berita yang mendokumentasikannya. Mereka memberi tahu kita berapa banyak orang yang tewas dalam bentuk bilangan biner, menunjukkan video pendek tentara yang bertempur, dan penduduk tidak bersalah yang terluka. Namun, bagaimana dengan ribuan cerita yang tidak terdengar? Lantas, ‘Apocalypse Now’ akhirnya benar-benar terasa lebih nyata daripada perang yang sebenarnya. Di Indonesia, ini mirip seperti film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ yang berhasil mendoktrin masa kecil kita.
Media-media yang semula merupakan tiruan dari realitas akhirnya menjadi lebih nyata dari kenyataan. Hiperreal awalnya merupakan salinan dari sesuatu yang nyata. Namun, kemudian kita mulai berinteraksi dengan yang hiperreal melebihi kenyataan, lalu produk-produk baru dari media akhirnya meniru hiperrealitas daripada kenyataan, dan berujung menjadi sebuah “lingkaran salinan”: salinan menyalin kenyataan, lalu salinan menyalin salinan, dan salinan menyalin salinan dari salinan, hingga hidup kita akhirnya melihat sebuah ‘salinan dari salinan dari salinan’.
Kita kerap melihat dalam serial atau film drama romantis tentang cinta pandangan pertama, yang kemudian memupuk harapan untuk mendapati perasaan ‘magis’ yang sama dalam kehidupan nyata. Begitu juga dalam film/novel dan media-media lainnya, kita sering membuat ‘character tropes’ , yang mana malah karakter-karakter semu itulah yang kemudian membentuk hubungan nyata antarmanusia. Contoh lebih dekatnya yaitu unggahan di media sosial tentang ‘relationship goals’, orang-orang berlomba untuk memamerkan hubungan mereka dengan pasangan yang terlihat sempurna, padahal kenyataannya bisa saja berbeda, antara di depan dan belakang layar.
Harapan dan kiasan ini membatasi dan membuat standar baru bahwa cinta perlu dibentuk dengan cara tertentu. Imagination dictates reality. Namun masalahnya, harapan dan kiasan ini tidak didasarkan pada kenyataan. Inilah yang Jean Baudrillard sebut dengan ‘simulakra’: sebuah keadaan di mana dunia diambil alih oleh konstruksi kebenaran yang bersifat fiktif, citraan, dan realitas semu.
Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), Baudrillard berteori bahwa ada beberapa tahapan dalam pembentukan simulakra: berawal dari sebuah simulasi yang meniru kenyataan, lalu simulasi tersebut membentuk realitasnya sendiri, dan berakhir pada simulakra, keadaan di mana pada akhirnya realitas awal meniru simulasinya yang telah berubah menjadi kenyataan itu sendiri. Ada sebuah anekdot yang diciptakan Zen RS dalam suatu esainya yang membahas sepakbola melalui teori milik Baudrillard tersebut: “Jika pornografi dianggap lebih sensual dibandingkan seks, apakah menonton sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?”
Thus, does the desire to be in love with someone is now more desirable than the act of loving someone itself?
Seni Mencinta
Setelah membaca paragraf-paragraf di atas, mungkin pembaca menganggap bahwa tulisanku bernada sinis, memandang cinta dari yang buruk-buruk saja. Faktanya, tidak sama sekali. Malahan, dengan menulis ini, aku berusaha untuk berefleksi dan mempelajari ulang tentang apa itu “cinta”. Dan upayaku akhirnya membawaku kepada Erich Fromm, seorang cendekiawan Jerman yang tergabung dalam kelompok ilmuwan Frankfurt School.
Pertama-tama, apa itu cinta? Bagaimana kita mendefinisikannya? Kenikmatan indrawi, pengorbanan tanpa pamrih, atau anugerah yang menakjubkan? Fromm berpendapat bahwa cinta dimulai dari diri kita sendiri. Cinta tidak bergema dari sumber eksternal, melainkan kegiatan sukarela berupa tindakan yang datang dari dalam diri. Ketika berada dalam keadaan yang sudah “terpenuhi”, kita akan berusaha untuk menjangkau subjek lain guna mencapai cinta; dan dengan cara inilah kita menghubungkan diri kita dengan orang lain.
Dalam upaya kita untuk membentuk ikatan khusus, Fromm menjelaskan bahwa cinta adalah sebuah ‘aktivitas’, bukan kegiatan pasif. Kita “mencinta” bukan “jatuh cinta”. “Love” is a verb, not a noun. Oleh karena itu, cinta perlu “diwujudkan” melalui tindakan sukarela, bukan hanya “ditunggu”.
Mencintai bukanlah suatu kegiatan yang tidak sengaja kita lakukan, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara sadar. Itulah sebabnya seseorang yang tidak dapat “berdiri di atas kedua kakinya sendiri” tidak dapat mengambil tugas yang sangat besar, yakni mencinta.
Jadi, jika menginginkan cinta, apa yang harus kita lakukan? Dalam bukunya, The Art of Loving (1956), Fromm menganggap bahwa cinta adalah sebuah seni. Untuk memahami dan menciptakan kesenian, kita perlu berlatih secara teoritis dan praktis, sama seperti seorang musikus yang harus terus berlatih agar menjadi seorang pandai.
Fromm berteori bahwa karakter aktif cinta sejati melibatkan empat elemen dasar: kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Unsur tersebut sulit untuk didefinisikan secara gamblang dan bisa sangat berbeda tergantung pada subjek yang terlibat dan keadaan mereka. Apabila dilihat dari segi ini, cinta merupakan suatu kerja keras, tapi juga merupakan usaha yang berharga tiada tara jika kita berhasil mencapainya.
Dan ya, pada akhirnya cinta memang perlu diupayakan semaksimal mungkin: karena cinta adalah landasan dari semua belas kasih dan pengampunan; karena cinta adalah dasar dari semua hal baik di dunia; dan karena cinta adalah satu-satunya yang kita punya.