Laki-Laki Korban Pemerkosaan: Antara Belenggu Maskulinitas, Mitos, dan Stigma
Pada submisi column kali ini, Riana Romadhon menuliskan mengenai bagaimana hegemoni maskulinitas menjadi dasar adanya mitos-mitos dan stigma yg salah dalam memandang laki-laki korban pemerkosaan.
Words by Whiteboard Journal
Sejak lama, laki-laki selalu ditempatkan sebagai pelaku utama jika berbicara soal kasus-kasus pemerkosaan. Sehingga jika ada kasus pemerkosaan yang korbannya laki-laki, rasanya menjadi begitu asing dan anomali. Seperti kasus pemerkosaan di Probolinggo pertengahan April tahun lalu, remaja laki-laki berusia 16 tahun menjadi korban pemerkosaan oleh perempuan selama tiga hari berturut-turut. Kita juga bisa berkaca pada kasus Reynhard Sinaga yang memperkosa 159 laki-laki di Inggris pada tahun 2020 lalu. Dari kedua kasus ini saja sudah banyak reaksi victim blaming yang muncul di media sosial. Menjadikan korban sebagai bahan candaan, dianggap menikmati, atau lemah karena tidak bisa melawan balik. Beberapa justru menjadikan kasus Reynhard untuk menjustifikasi kebencian terhadap LGBT. Dari reaksi di atas dapat dilihat bahwa masyarakat masih saja percaya pada mitos yang menyebutkan bahwa laki-laki tak bisa jadi korban pemerkosaan.
Pada kenyataannya, kasus pemerkosan terhadap laki-laki memiliki rekam jejak panjang meski sering kali tak terdengar. Misalnya, seperti yang disinggung Vanggaard (1969) dalam buku berjudul “Phallos: A Symbol and Its History in the Male World“. Buku tersebut membeberkan fakta bahwa pemerkosaan terhadap laki-laki ditemukan dalam berbagai kebudaayan kuno seperti Yunani-Romawi, abad pertengahan, pasca abad 17, bahkan disinggung dalam Alkitab. Data lain yang dilansir Crime Survey For England And Wales pada tahun 2017 menemukan 631.000 laki-laki mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual sejak umur 16 tahun. Serta sekitar 12.000 laki-laki dengan rentang usia 16-59 tahun menjadi korban pemerkosaan tiap tahunnya di UK.
Tetapi, bagaimana sebenarnya definisi dari pemerkosaan pada laki-laki? Menurut Aliraza Javaid pemerkosaan terhadap laki-laki dapat diartikan sebagai kekerasan secara psikologis, fisik, dan emosi yang berbentuk tindakan seksual, dilakukan kepada laki-laki oleh laki-laki lain atau perempuan tanpa disertai dengan persetujuan, seperti penetrasi menggunakan benda, termasuk anal dan oral. Dampaknya, korban bisa mengalami syok, ketakutan, krisis identitas dan mempertanyakan seksualitasnya, serta beresiko mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Hal ini belum terhitung luka-luka fisik seperti luka pada alat genital dan bagian tubuh lain. Beberapa korban juga mengalami disfungsi seksual setelah terjadi pemerkosaan. Lalu, mengapa laki-laki sering kali dianggap tidak mungkin menjadi korban pemerkosaan?
Mitos bahwa laki-laki tak bisa menjadi korban pemerkosaan sebenarnya berdasar pada konstruksi gender dan maskulinitas. Konsep bahwa menjadi lelaki berarti harus kuat, tidak emosional, menjadi mahluk yang pertama kali menginisiasi tindakan seksual. Melalui sosialisasi peran gender, maskulinitas dibentuk secara hierarki dan puncaknya disebut sebagai hegemoni maskulinitas. Raewyn Connell memperkenalkan hegemoni maskulinitas sebagai bentuk maskulinitas paling ideal yang dianut masyarakat, yang melegitimasi hierarki gender dan relasi kuasa di antara laki-laki dengan perempuan, maskulinitas dengan feminitas (feminitas juga bisa melekat pada tubuh laki-laki) serta di antara maskulinitas.
Hegemoni maskulinitas secara umum merupakan norma yang menjadi standar bagaimana laki-laki harus berperilaku, sekaligus memberikan laki-laki kuasa dan dominasi atas perempuan atau laki-laki lain yang dianggap tidak memenuhi standar. Meski dianggap sebagai sesuatu yang normatif nyatanya hanya sedikit laki-laki yang bisa mencapai standar ini. Untuk itu, menjadi korban pemerkosaan merupakan antitesis dari hegemoni maskulinitas sebagai standar yang ideal. Sebab, laki-laki korban pemerkosaan merupakan simbol dari maskulinitas subordinat: mereka dianggap rentan, marginal dan juga dianggap ‘liyan’. Hal ini dikarenakan representasi sosial laki-laki pada umumnya didasarkan pada ekspresi kuasa, kekayaan, kontrol dan kepemimpinan. Laki-laki juga selalu digambarkan memiliki kuasa penuh secara seksual. Kemudian hal ini menjadi dasar mengapa di masyarakat laki-laki dianggap tidak mungkin diperkosa. Sebab ekspektasi masyarakat tentang laki-laki adalah kebal, mereka tak pernah bisa dipandang sebagai korban.
Ekspektasi masyarakat bahwa harusnya laki-laki kebal terhadap kejahatan seksual, meninggalkan fakta bahwa korban beresiko mengalami tonic immobility. Kondisi dimana mereka tidak bisa bergerak, atau mengalami kelumpuhan di luar kendali. Tonic immobility merupakan reaksi alami tubuh ketika mengalami ketakutan yang luar biasa. Penelitian yang dilakukan oleh Hodge dan Center (1998) menemukan bahwa pada 119 kasus pemerkosaan terhadap laki-laki, 60 persen korban mengalami kelumpuhan diluar kendali sebagai respon ketika terjadi tindak pemerkosaan. Pada kasus lain, korban juga mengalami ereksi dan ejakulasi. Hal ini seringkali membuat korban dituduh ‘menikmati’, padahal ereksi dan ejakulasi merupakan respon fisiologis yang terjadi karena manipulasi dan tekanan terhadap prostat. Serta tidak berarti korban menikmati tindakan pelaku.
Mitos lainnya adalah anggapan bahwa pemerkosaan terhadap laki-laki merupakan isu homoseksual. Pada kenyataanya, pemerkosaan terjadi pada laki-laki dengan orientasi seksual apapun. Jika pelaku dan korban sama-sama laki-laki, orientasi seksual korban dianggap tidak relevan, masyarakat yang homofobik akan tetap memberi label homoseksual terhadap korban. Pasalnya, dalam male on male rape terjadi penetrasi yang dilakukan oleh laki-laki kepada laki-laki lain dan menurut hegemoni maskulinitas, laki-laki tidak seharusnya menjadi objek seksual laki-laki lain. Perempuanlah yang dianggap menjadi ‘objek’ paling tepat bagi laki-laki. Sehingga relasi lain selain hubungan heteroseksual dianggap sebagai patogen, tidak normal, atau menyimpang.
Selain itu, akan semakin sulit untuk diterima jika pelaku pemerkosa adalah perempuan. Mengingat adanya stereotip bahwa laki-laki selalu lebih kuat secara fisik, dan dominan secara seksual. Membuat korban cenderung tidak dipercaya, diolok-olok, dan dianggap lemah. ditambah anggapan bahwa tidak mungkin terjadi penetrasi jika laki-laki tidak terangsang secara seksual. Meski pada kenyataanya terjadi rangsangan seksual bisa jadi hanya bentuk respon fisiologis atau karena berada dalam ketakutan dan kemarahan. Kemudian, seringkali luput untuk dibicarakan bahwa pada beberapa kondisi, korban diancam, dimanipulasi, dibuat mabuk, dibius, tidak dalam kesadaran penuh atau menderita disabilitas. Pada tahun 2014, American Psychological Association mempublikasikan penelitian yang berjudul “Sexual Coercion Context And Psychososial Correlates Among Diverse Male”. Penelitian yang melibatkan 284 laki-laki menemukan bahwa 43 persen korban dipaksa terlibat dalam aktivitas seksual (termasuk melakukan hubungan seksual), dan 95 persennya melaporkan perempuan sebagai pelaku.
Mengapa kemudian banyak korban memilih diam? Salah satu alasannya adalah karena hegemoni maskulinitas, mitos dan stigma menyangkal keberadaan laki-laki korban pemerkosaan, membuat mereka menjadi tidak tampak dan terasa sangat asing. Mitos dan stigma juga membawa dampak buruk terhadap persepsi publik mengenai laki-laki korban pemerkosaan serta bagaimana korban melihat dirinya sendiri. Selain itu, ketika korban heteroseksual dilabeli sebagai homoseksual dan laki-laki yang gay dipersekusi sebab orientasi seksualnya, maka homofobia juga menjadi alasan mengapa korban jarang sekali speak up. Korban akan cenderung lebih disalahkan, mengingat segala jenis orientasi seksual non heteroseksual dianggap sebagai penyimpangan yang kemudian menghasilkan diskriminasi dan penolakan. Jadi, semakin orang menganggap mitos-mitos di atas benar, akan semakin tinggi budaya victim blaming terjadi. Hasilnya, tetap diam merupakan salah satu coping mechanism korban untuk tetap mencapai standar hegemoni maskulinitas serta melindungi mereka dari pertanyaan yang mengintimidasi, victim blaming, ketidakpercayaan publik, serta label-label yang mengerikan.
Penting untuk digarisbawahi bahwa pemerkosaan bukan soal kepuasan seksual, tetapi perilaku untuk merendahkan, bentuk penghinaan, menunjukan kekuasaan, kemarahan atau bentuk perilaku sadisme. Nicholas Groth, psikilog klinik yang menulis buku “Men Who Rape: The Psychology of the Offender”, mengatakan bahwa pemerkosaan adalah bentuk serangan, tidak peduli berapa usia dan gender pelaku. Ia juga mengatakan bahwa kepuasan seksual bukanlah motif utama, tetapi bentuk ekpresi kuasa dan kontrol pelaku atas tubuh si korban.
Pemerkosaan dan segala bentuk kekerasan seksual adalah musuh bersama, tidak terkhusus pada gender tertentu. Kita perlu belajar berempati dengan mengabaikan standar maskulinitas yang rigid. Sibuk mempertanyakan korban, sibuk menghakimi serta melabeli hanya akan memberikan ruang yang luas bagi pelaku untuk terus bebas. Kita perlu merawat lingkungan yang aman untuk korban. Bukan terus merawat mitos dan stigma yang memperkokoh budaya victim blaming, serta menempatkan korban dalam rasa bersalah dan ketakutan. Sebab, yang menjadi musuh bukan hanya pelaku kejahatan seksual, tetapi juga mitos dan stigma yang terus membelenggu para korban.