Ketika Maskulinitas Tak Memihak Lelaki
Pada submisi column kali ini, Nariyati menulis tentang pentingnya bagi kita untuk meredefinisikan ulang konsep maskulinitas.
Words by Whiteboard Journal
Tak mampu ereksi membuat Ajo Kawir merasa sebagai pecundang ulung. Berkali-kali ia mempertanyakan marwah kejantanannya, berkali-kali pula ia mengupayakan segala cara untuk membangkitkan (burung) rasa percaya dirinya. Semua, semata-mata demi memenuhi konsep maskulinitas buta yang ada dan telah turun-temurun di masyarakat. Konon, gak bisa ngaceng bukan laki!
Meskipun fiksi, Ajo Kawir adalah contoh kecil betapa maskulinitas seringkali tidak berpihak kepada pria.
Johnny Depp merupakan korban dari rentetan fenomena maskulinitas selanjutnya. Maskulinitas menuntut pria tampil sebagai orang yang adidaya, gagah, pantang takut, macho, segala apa bisa, dan terpenting, tak boleh kalah dari perempuan.
Kenyataannya, fakta-fakta di persidangan yang diungkap Depp menunjukkan bahwa dirinya justru jadi korban kekerasan domestik hingga harus rela kehilangan ujung jari tengah akibat timpukan botol vodka si mantan istri, Amber Heard.
Dengan konsep maskulinitas yang telah terpatri sedemikian rupa, publik ragu jika Depp–seorang pria dewasa yang punya pamor dan kuasa–merupakan korban KDRT dari pasangannya, seorang perempuan.
Dia kan laki, kok, bisa-bisanya dipukuli perempuan?
Konsep maskulinitas semu yang otomatis disematkan kepada semua lelaki, pada akhirnya menjadikan Depp korban dari prasangka publik yang meragukan pengakuannya.
Orang menganggap pengakuan Depp sebagai korban kekerasan tidaklah valid awalnya. Alih-alih mendapat dukungan, Depp justru didepak dari salah satu judul filmnya yang prestisius karena tekanan publik yang masif. Padahal, saya kira ada aturan tak tertulis di komunitas yang cukup melek isu sosial, bahwa lebih baik percaya korban kekerasan dan pelecehan seksual terlebih dahulu, terlepas dari pembuktian yang bisa dikesampingkan sementara. Apakah hal itu tak berlaku jika korbannya adalah laki-laki?
Tapi tak usah lah jauh-jauh ke barat dan menengok kasus Johnny Depp-Amber Heard untuk melihat contoh nyata betapa maskulinitas bisa sedemikian jahatnya kepada pria.
Saya punya teman bernama Ikal. Tubuhnya gempal, menyenangkan, pemikirannya cemerlang, bicaranya halus. Ia adalah sedikit orang yang saya kenal menjalani hidup ‘lurus-lurus saja’, tak banyak tingkah, dan berprestasi.
Kerap kali saya mendapati Ikal berkumpul bersama saya dan teman-teman perempuan lainnya.
Jarang ia bercokol dengan kumpulan geng cowok kampus yang tampilannya seperti begundal, bau rokok, dan acap kali ngomong ndakik-ndakik di tongkrongan.
Suatu waktu, Ikal datang kepada saya dan menanyakan suatu hal yang tak disangka-sangka,”Saya bencong, ya?”
Entah karena syok atau ingin menghiburnya, saya sigap langsung menggelengkan kepala, “Enggak lah.”
“Soalnya saya gemulai gitu,” kata Ikal menimang-nimang. Ada nada keraguan di suaranya. Seolah, dalam pandangan sok tahu saya, ia yakin bahwa dirinya tidak masuk dalam kelompok yang dilabeli sebagai ‘bencong’, namun di sisi lain, ia juga tak merasa layak untuk dibilang maskulin.
Saya paham betul dari mana keresahan Ikal bermuara. Ia tak mendapati dirinya sama dengan laki-laki kebanyakan alias antitesis dari stereotip maskulin. Mungkin karena gestur tubuh dan gaya bicaranya yang halus. Mungkin juga karena lingkungan pertemanannya yang didominasi perempuan. Entahlah. Absurd bagi saya.
Pada kesempatan berbeda, teman saya yang lain secara gamblang mengaku jijik saat dirinya mulai menunjukkan gestur gemulai. Ia anti terhadap semua hal yang dianggapnya kurang laki.
“Gue pernah jadi kayak gemulai gitu semenjak temenan sama dia,” katanya. Maka saya tanya, “Emang gemulainya gimana?”
“Yang tadinya ngomong anjing jadi anjay.”
Hah, tercengang saya. Ternyata, bagi laki-laki sendiri, kata gemulai bisa didefinisikan sedemikian cetek. Kalau cuma itu tolok ukurnya, bukankah menjadi lucu ketika mencap orang lain tak maskulin lantaran perkara remeh-temeh, seperti pemilihan diksi.
Saya percaya, ada banyak orang di luar sana yang juga menggunakan parameter absurd untuk menentukan mana yang maskulin dan tidak. Laki-laki yang pandai kelahi, penuh pemberontakan, vokal menyuarakan protes, kerap dapat label maskulin secara cuma-cuma. Tapi ada pula laki-laki yang pakai minyak penumbuh jambang, merokok, dan mempertahankan bau badannya karena percaya hanya dengan cara-cara sepele nan konyol macam itu mereka bisa disebut laki.
Kerancuan pemberian label maskulin ini barangkali tanda bahwa kita, mungkin termasuk para laki-laki itu sendiri, sebenarnya kebingungan pada hakikat maskulin yang sesungguhnya.
Saya tak bisa membayangkan proses perenungan dan refleksi diri macam apa yang sudah dilalui Ikal hingga ia bisa mencetuskan pertanyaan konyol macam itu. Mempertanyakan kelelakian diri sendiri, saya yakin pasti sangat membingungkan–jika tidak bisa dibilang menyakitkan. Ikal lahir dengan penis, tentu saja. Ia juga tak punya keinginan mengubah kelamin karena ada dorongan dalam diri untuk menjadi perempuan. Maka, relevan kah jika ia disebut ‘kurang laki’?
Di sekitar kita, barangkali banyak pria yang diam-diam mengutuk diri sendiri karena anggapan ‘gak laki’ yang kadung melekat pada mereka. Tak kalah penting, ada juga pria yang menjadi korban kekerasan dari pasangannya.
Ada banyak Ikal, Johnny Depp, maupun Ajo Kawir lainnya yang justru tercekik oleh konsep maskulinitas itu sendiri.
Kalau bukan kepada lelaki, lantas, kepada siapakah ide-ide tentang maskulinitas berpihak sebenarnya?
Entahlah. Saya percaya pemahaman kita tentang konsep maskulinitas sudah selayaknya diperbaharui. Meredifiniskan maskulinitas berarti meninggalkan pola-pola lama konsep kelelakian kaku, yang seringkali tidak menguntungkan siapa-siapa, bahkan acap kali merugikan para lelaki sendiri.
Intinya, saya risih setiap kali sikap lembut dianggap sebagai kelemahan pria. Seolah-olah, menjadi sok keras adalah cara paling masyhur bagi kaum Adam untuk membuktikan keperkasaan mereka. Saya juga risih setiap kali label maskulin diagung-agungkan, seolah-olah dengan label tersebut, laki-laki sudah menggenggam seluruh dunia dan isinya.