Menguak Perspektif Modern dan Unsur Kultural dari Kostum Era Regency di Series “Bridgerton”
Bridgerton season 2 memasuki situs streaming Netflix dan kostum-kostum mewahnya mencuri banyak perhatian mulai dari detail, keunikan hingga keakuratan sejarah.
Teks: Inaya Pananto
Foto: Netflix
Period drama berlatar belakang Inggris tahun 1800 awal, “Bridgerton”, kini telah memasuki situs streaming Netflix dengan season keduanya yang banyak dinanti. Selain dari ceritanya yang sarat akan drama berpadu dengan referensi historis, alasan lain “Bridgerton” begitu istimewa adalah tata kostumnya. Menurut costume designer Sophie Canale, kostum-kostum mewah tersebut bukan hanya cantik di mata namun juga memiliki nilai keakuratan dan atensi terhadap detail yang tinggi.
Produksi kostum untuk syuting “Bridgerton” ini melibatkan kurang lebih 120 pekerja in-house dan lepasan yang bekerja dalam deadline membuat sekitar 160 set pakaian per 6 minggu. Dalam keseluruhan proyek syuting ini, Sophie dan timnya membuat tak kurang dari 700 kostum. Skema produksi ini terhitung cukup high demand mengingat tiap pakaian datang bersama aksesoris khusus dan pernak-pernik seperti sepatu, jepit rambut, mahkota, atau sarung tangan yang semuanya dirancang khusus agar selaras dengan pakaiannya.
Selain dari memastikan rancangan kostum-kostumnya sesuai dengan periode latar dari “Bridgerton”, Sophie juga berusaha memasukkan unsur-unsur kultural dan keragaman. Sophie memadukan gaya gaun-gaun era Regency dengan kain dan seni bordir khas India ketika mendesain kostum untuk keluarga Sharma yang diceritakan berlatar belakang India. Melalui kacamata keakuratan memang hadirnya ragam latar belakang kultural di serial ini dinilai tidak sesuai dengan sejarah. Akan tetapi, serial ini ditujukan kepada generasi saat ini yang memiliki kesadaran akan pentingnya representatif keragaman dalam film. Karena itu hadirnya aktor-aktor dari berbagai latar belakang di kalangan bangsawan Inggris ini menjadi modifikasi yang modern dari sudut pandang yang diambil oleh “Bridgerton”.
Selain pertimbangan kultural, pemilihan warna dan detail dari setiap pakaian juga disesuaikan dengan keunikan tiap karakter. Sophie menonjolkan tiap karakter dengan keunikan tangible melalui pemilihan detail kostumnya. Sophie menuturkan bahwa di season sebelumnya “Bridgerton” telah memiliki pondasi yang sangat solid sehingga ia hanya perlu mendambahkan detail asosiatif per karakter yang lebih kuat lagi.
Menghadirkan aliran fashion yang begitu lekat dengan sebuah era 2 senturi yang lalu di era modern memiliki tantangannya sendiri. Gaya busana “Bridgerton” yang berat terinspirasi dari era Regency (1811-1820) memiliki unsur puitis romantis dan etiket spesifik yang sudah tidak lagi berlaku di abad ke-21 ini. Namun melalui drama serial yang diperankan oleh aktor-aktor populer di kalangan muda dan alur ceritanya yang sarat akan drama yang masih relevan hingga saat ini, drama yang sering disebut-sebut sebagai “Gossip Girl di era Regency” ini justru memberikan fokus khusus terhadap sejarah berpakaian.
Walaupun pakaian yang hadir di “Bridgerton” adalah tren-tren yang populer di era 1800-an, diangkat kembalinya tren ini ke layar kecil “Bridgerton” bisa membawanya kembali relevan. Sophie sendiri mengutarakan bahwa ia dapat melihat banyak tren seperti gaya rambut dan penggunaan aksesoris di “Bridgerton” menarik perhatian publik dari segi fashion modern. Karena tren memang berjalan dalam lingkaran, bukannya tidak mungkin “Bridgerton” yang begitu digandrungi oleh banyak kalangan masa kini menggiring arah tren kembali ke masa lalu.