Wahai Kaum Bergajulan Sedunia, Menyanyilah!
Pada submisi column kali ini, Muhammad Rizki Ardhana menulis tentang fenomena bernyanyi dan berkaraoke bagi kalangan muda pada akhir-akhir ini.
Words by Whiteboard Journal
Sering sekali kita menerima segala hal by taking it for granted. Terlebih lagi, kita akan melakukannya jika hal tersebut mudah didapat dan kita anggap sepele. Dari yang telah kita dapat semenjak kita lahir di dunia: organ dan indera yang lengkap dan berfungsi dengan baik, tubuh yang sehat, kemampuan berpikir, dan hal-hal lain; maupun yang ada di luar diri kita: orang tua yang penyayang, saudara-saudara yang baik, sahabat-sahabat setia, dan semua “berkah” yang kita dapat secara cuma-cuma. Semua hal tersebut yang jika harus kusebutkan satu per satu hingga selesai, bisa-bisa membuat umurku habis hanya untuk mendiktekan seluruhnya. Bahkan, mungkin baru akan selesai kurapal pada saat aku telah dikafani dan terbaring miring di dalam liang lahatku.
Mendadak aku teringat, jika sedang menonton video musik lagu-lagu jadul keluaran tahun ‘40–’90an di Youtube, seringkali aku melihat di kolom komentar banyak orang berucap “I was born in the wrong generation”, yang bermaksud bahwa orang itu ingin hidup pada zaman lagu itu dirilis dan grup band maupun penyanyi yang menciptakan lagu tersebut sedang berada pada masa jaya-jayanya, karena tidak menyukai musik masa sekarang, yang menurut mereka superfisial, tidak berselera, dan rendahan. Anjing, snob betul. Elitis sekali memang. Memangnya dia tidak tahu hidup di masa itu lebih susah di masa kini? Hidup tak sebebas sekarang, pemerintah yang mengungkung, tidak punya handphone, tak ada listrik dan internet, ancaman kemiskinan dan kelaparan di mana-mana, serta kenahasan lainnya. Memang, bila dipikir-pikir, kehidupan zaman dahulu sangat simpel dan damai sekali, tapi apa benar kau mau menggadaikan semua nikmat di dunia modern yang “busuk” ini demi hidup pada zaman lalu yang memerlukan kegigihan super ekstra untuk menjalaninya? Bisa-bisanya orang bilang ingin hidup di masa lampau hanya untuk mendengarkan musik kesukaannya, padahal ia dapat mendengar lagu-lagu keluaran zaman itu dengan sangat mudah di masa sekarang, tinggal mengetiknya di kolom pencarian dan mendengarnya secara gratis. Bahkan, tak hanya musik abad ke-20, musik-musik dari ratusan tahun sebelumnya pun bisa kaudengarkan. Dari alunan piano Chopin; lantunan musik jazz dari Nat King Cole; hentakan keras dari lagu Blur, and you name it, bisa kaudengarkan hanya dengan menggerakkan jari ke layar ponsel pintarmu.
Ah, panjang sekali ocehan remeh yang kutulis di atas. Maaf. Namun, paling tidak hal tersebut bisa jadi contoh bahwa orang-orang seringkali tidak bersyukur atas apa yang telah mereka dapatkan. Lagu-lagu yang nikmat didengarkan juga jadi berkah tak terkira yang sering kita terima dengan cuma-cuma. Maka, agaknya kita perlu mengapresiasi penyanyi dan pencipta lagu tersebut. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berterima kasih kepada mereka: membeli karyanya yang berupa album fisik maupun digital, menonton konsernya, mendukung dengan memberi komentar di media sosial, atau usaha-usaha lainnya. Dan cara paling simpel yang dapat kita lakukan, adalah dengan menyanyikan lagu mereka.
Cintaku bertepuk
Harap yang tak ada
Rintihan nada asmara
Ingin ku kembali ke masa remaja
Serasa Galih dan Ratna
Yang kumau kau untukku, meskipun kau tak rindu
Engkau aku suka~
Bagaimana mungkin kamu tidak berdendang dan menari ketika mendengar lagu C.H.R.I.S.Y.E, yang dinyanyikan oleh Eva Celia dengan diiringi alunan musik city pop ‘80-an dari Diskoria ini? Lagu ini sangat cocok jadi salah satu lagu yang wajib dimasukkan dalam daftar putar saat sedang berkaraoke bersama kawan-kawan. Begitu pula Satu-satunya dari Hivi!, Berpisah itu Mudah dari Rizky Febian dan Mikha Tambayong, serta Putri Iklan-nya ST12. Bila tidak sedang berada dalam mood yang ceria, kau bisa menyenandungkan lagu lain sesuai keadaanmu: senang maupun susah, gamang dan bimbang, atau sedang bingung untuk memilih antara kau atau dia.
Harold Bloom, salah satu kritikus sastra ternama dari Amerika, menulis dalam bukunya yang cukup kontroversial, Shakespeare: The Invention of the Human, bahwa Shakespeare “bertanggung jawab” atas “penemuan manusia, pengukuhan jenis kepribadian seperti yang kita pahami”. Bloom tidak hanya mengklaim bahwa Shakespeare adalah penulis pertama yang berhasil menulis tentang manusia; dia percaya bahwa Shakespeare menciptakan kita — atau menciptakan kita kembali. Menurut Bloom, semua perasaan dan watak kepribadian manusia telah berhasil digambarkan (atau diciptakan) oleh Shakespeare dalam drama yang telah ia gubah, yang dibagi menjadi 3 jenis: sejarah, tragedi, dan komedi. Cukup gila memang, bila berpendapat bahwa sifat dan perasaan manusia, yang telah hidup selama kurang lebih seratus ribu tahun, bisa dirangkum dan dimampatkan “hanya” dalam 37 drama yang telah dramawan Inggris itu buat, lebih-lebih menciptakannya.
Namun, kita semua tahu ada pendapat yang lebih masuk akal. Berkebalikan dari pendapat Bloom yang berujar bahwa “karya” (Shakespeare) yang menciptakan manusia dan perasaannya, kurasa karya diciptakan oleh manusia berdasarkan atas apa yang telah dirasakan dan dialaminya. Banyak karya terkenal diciptakan karena terinspirasi oleh pengalaman pribadi si penggubah, dari buku, film, serta lebih khususnya lagu. Tercatat, sudah lebih dari 1 miliar lagu yang diciptakan oleh manusia. Angka yang fantastis itu pun masih hitungan kasar. Belum lagi ada lagu-lagu yang tidak dirilis, yang berakhir membusuk di tempat sampah, atau hanya dinyanyikan sekali di teras rumah dan menguap di udara.
Oleh karena itu, dalam 1 miliar lagu itu manusia bisa mengekspresikan perasaannya yang terpendam dengan mudah. Tinggal cari saja lagu yang sesuai dengan mood yang sedang dirasakan, dan share link Spotify-nya ke story Instagram-mu, agar sedunia bisa tahu apa yang kau rasakan. Yang sering kudengar, sih, ada juga yang menyembunyikan story-nya dari semua followers kecuali crush-nya, sebagai media ngode secara subtil dan agar orang lain tidak tahu. Ckck, ada-ada saja memang kelakuan anak muda.
Namun, bila merasa tidak ingin untuk membagikan lagu yang mewakili perasaanmu kepada banyak orang karena malu ataupun gengsi, satu-satunya jalan adalah dengan menyanyikannya di kubik 3x4x3 meter yang kedap suara. Berkaraoke jadi salah satu cara manusia menghadapi ketidakberuntungan hidup yang melanda sehari-hari — wa bil khususon anak muda kelas menengah perkotaan. Lebih seru lagi jika ada barengan untuk menyewa bilik karaoke: semua berebut memilih lagu, semua bergantian memegang mikrofon, tak peduli entah suaranya bagus maupun tidak. Salah satu teman yang sering jadi partner saya dalam bernyanyi, pernah meyakinkan teman yang lain untuk ikut berkaraoke dengan berkata “Yo karaoke ki satu-satunya nggone awak dewe gawe iso nyanyi sepenuh hati dengan pede, og.” dan aku sangat mengamininya. Karaoke jadi tempat bernaung bagi orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang bersuara sumbang, dan malu untuk berjoget di depan umum, to sing and dance their heart out without anyone judging. Paling-paling kau akan ditertawakan teman duetmu saja, dan berlanjut berangkulan sambil menyanyikan lagu Sewindu dari Tulus, yang liriknya sangat mewakili apa yang sama-sama kalian alami.
Jika tidak punya uang untuk menyewa bilik karaoke pun, kau tetap bisa menikmati hidup ini dengan bernyanyi, kok. Cukup siapkan handphone dengan speaker yang bekerja dan aplikasi Youtube yang telah ter-install di dalamnya, serta kubur dalam-dalam rasa malumu. Menyanyilah di kamar dengan ekspresif — sambil menangis, tertawa, atau lainnya. Seperti sebuah kutipan Descartes, seorang filsuf zaman pencerahan, yang sangat terkenal: “I think, therefore I am”; dengan berpikir dan merasakan sesuatu saja kita dapat membuktikan bahwa kita memang benar-benar hidup. Begitu juga dengan bernyanyi, maka dapat juga disimpulkan: “Aku bernyanyi, maka aku ada.”
Semoga tulisan ini dapat berakhir menjadi sebuah manifesto kacangan. Sebuah deklarasi yang mengobarkan semangat bagi pembacanya untuk bersama-sama membiasakan bernyanyi kencang dan penuh penghayatan, entah di karaoke, konser, ataupun kamar mandi. Menyanyi sebagai upaya pelarian dari keseharian yang kelewat mundane ini, untuk sejenak bergembira, bersedih, dan merasakan semuanya secara berjamaah. Bernyanyi bersama-sama untuk menghabiskan hidup yang akan usai tidak lama lagi. Dan dengan ini kututup Manifesto Karaoke dengan sebuah seruan, yang kuubah sedikit dari salah satu judul esai Dea Anugrah: “Wahai Kaum Bergajulan Sedunia, Menyanyilah!”