Bagaimana Wujud Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Seksual di Indonesia Saat Ini?
Kami mengumpulkan pendapat dari berbagai wanita mengenai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan penghapusan kekerasan seksual dan kesetaraan gender.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Nada Salsabila dan Hafiza Dina
Ilustrasi: Mardhi Lu
Nampaknya, tiada hari tanpa melihat berita kekerasan seksual di linimasa media sosial akhir-akhir ini. Mulai dari pelecehan di dalam institusi yang sering terjadi akibat dari penyalahgunaan kekuasaan, pemaksaan di dalam hubungan atas nama cinta, dan juga modus operandi lainnya seperti membius hingga menjebak korban dalam ruangan tertutup. Banyak penyintas yang harus membungkam suaranya karena tebalnya budaya victim blaming dan juga sanksi sosial yang masih sering mentargetkan mereka. Terlebih lagi seringkali tanggung jawab untuk memitigasi pelecehan dibebankan pada korban untuk lebih berhati-hati, alih-alih menekankan pentingnya mendapatkan izin. Untuk memahami hal tersebut, kami mengumpulkan pendapat dari beberapa perempuan dari berbagai kalangan untuk mengungkap tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan penghapusan kekerasan seksual dan kesetaraan gender.
Charlenne Kayla Roeslie
Mahasiswi (UMN)
Sebagai seorang perempuan, seberapa seringkah kalian mendapat peringatan untuk menjaga diri dan berpakaian tertutup ketika sedang berada di dekat laki-laki?
Masih sering banget, sih. Bukan cuma pas dekat sama laki-laki, kalau aku lebih sering dinasehati bahwa perempuan harus jaga diri karena society. Jadi jaga diri di mana aja. High alert at all times karena posisi kita rentan. Kalau aku pribadi, sih, (metode jaga diri) enggak nerapin yang gimana-gimana banget, paling kalau lagi ketemu orang baru, orang yang suspicious, atau pergi ke mana, aku ngabarin orang rumah atau teman-teman dan bikin escape plan.
Akhir-akhir ini sedang banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke permukaan media sosial. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Aku rasa bagus, sih. Maksudnya, berarti orang mulai aware bahwa ini bukan hal yang normal. Kayak kata Mbak Kalis, KS itu dari dulu ada, cuma ditutupi. Tapi, fenomena banyak kasus yang mencuat di medsos, kayak thread spill atau call out, sih, lebih banyak buruknya, dalam artian, call out atau spill, kalau nggak pakai strategi yang tepat, bisa membahayakan penyintas, apalagi kalau spill-nya pakai thread di medsos. Bisa kena UU ITE, bisa juga kena julid warganet. Nah, fenomena begitu muncul karena apa? Ya, karena selama ini sistem hukum dan masyarakat kita nggak berpihak sama penyintas. Coba kalau semua kasus KS yang dilaporkan ke polisi ditangani dengan baik, aku rasa, sih, bakal jarang atau enggak bakal ada, tuh, spill ke medsos. Semuanya pasti mau menempuh jalur yang lebih aman.
Banyak orang yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan seksual dalam suatu hubungan (baik dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga). Bahwa, eksistensi hubungan tersebut secara otomatis merupakan bentuk pemberian izin. Apa pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Orang yang ngomong begitu, perlu diedukasi lagi soal consent, sih. KDH (baik KDP maupun KDRT) itu ada dan nyata. KS itu, kan, salah satu bentuk kekerasan. Ya, intinya sama aja kayak kekerasan lain dalam hubungan. Emangnya, kalau udah pacaran, otomatis boleh dipukul? Kan, enggak. Aplikasikan itu di KS. Emang kalau udah pacaran, otomatis boleh diperkosa? Enggak juga.
Kekerasan seksual dalam institusi pendidikan maupun korporasi kerap terjadi karena munculnya relasi kuasa (e.g. agar tidak dicoret dari daftar Yudisium, agar tidak kehilangan klien, dsb). Menurut Anda, mengapa fenomena tersebut masih bertumbuh kuat di Indonesia?
Sebenarnya yang namanya kekerasan seksual, dimanapun dan kapanpun itu pasti soal relasi kuasa. Enggak cuma di institusi pendidikan atau korporat. Nggak cuma di Indonesia. Kenapa bisa ada relasi kuasa? Ya, karena beberapa orang memandang orang lain bukan sebagai setaranya. Orang-orang, tuh, perlu diingatkan bahwa pada dasarnya, kita semua ini setara, meski punya jabatan atau posisi sosial yang beda-beda.
Terbentur dengan berbagai norma yang hadir di Indonesia, banyak penyintas yang dipaksa mempertahankan kandungan hasil kekerasan karena tidak didukungnya fasilitas aborsi yang aman. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Soal ini, menurutku kita perlu punya regulasi soal klinik aborsi. Di UU, kan, dibilang bahwa aborsi itu diperbolehkan kalau itu janin hasil pemerkosaan atau janinnya membahayakan keselamatan Ibu. Peraturannya ada, tapi sarana-nya nggak ada. Aneh.
Gusti Arirang
Musisi (Tashoora)
Sebagai seorang perempuan, seberapa seringkah kalian mendapat peringatan untuk menjaga diri dan berpakaian tertutup ketika sedang berada di dekat laki-laki?
Dulu iya, apalagi saat masih tinggal bareng orang tua.
Akhir-akhir ini sedang banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke permukaan media sosial. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Situasinya semakin mengkhawatirkan karena angka kasus terus naik tapi payung hukumnya belum ada, khususnya hukum/peraturan yang punya keberpihakan terhadap korban dan berperspektif kesetaraan gender. Di sisi lain, saya sangat salut dan bangga terhadap kawan-kawan korban yang berani angkat bicara dan melawan. Kita semua perlu menciptakan ruang aman supaya lebih banyak lagi yang berani bersuara.
Banyak orang yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan seksual dalam suatu hubungan (baik dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga). Bahwa, eksistensi hubungan tersebut secara otomatis merupakan bentuk pemberian izin. Apa pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Jangan lupa bahwa konsen itu bisa dimanipulasi. “Yes” doesn’t always mean “yes” karena ada relasi kuasa. Tidak ada kaitannya komitmen hubungan dengan pemberian konsen, it’s such a bullshit.
Kekerasan seksual dalam institusi pendidikan maupun korporasi kerap terjadi karena munculnya relasi kuasa (e.g. agar tidak dicoret dari daftar Yudisium, agar tidak kehilangan klien, dsb). Menurut Anda, mengapa fenomena tersebut masih bertumbuh kuat di Indonesia?
Kembali lagi, karena payung hukumnya belum ada. Korban sangat rentan untuk dikriminalisasi, dijerat dengan UU ITE (pencemaran nama baik) misalnya. Di sisi lain, budaya patriarki yang mengakar bertahun-tahun ikut melanggengkan praktik kekerasan seksual. Salah satu buktinya adalah pelaku kekerasan seksual tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan itu merupakan kekerasan seksual. Maka selain terus mendorong RUU PKS sebagai payung hukum yang didalamnya terdapat perlindungan untuk korban, diskusi-diskusi tentang kesetaraan gender juga harus terus dimunculkan setiap waktu. Kanalnya macam-macam dan bisa lewat hal yang dekat dengan kita seperti media sosial atau bahkan obrolan tongkrongan sehari-hari.
Terbentur dengan berbagai norma yang hadir di Indonesia, banyak penyintas yang dipaksa mempertahankan kandungan hasil kekerasan karena tidak didukungnya fasilitas aborsi yang aman. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Ini bukti kegagalan negara dalam menjamin keselamatan dan keamanan warganya. Alasan tidak ada fasilitas aborsi yang mendukung ini konyol sekali. Tidak hanya lari dari tanggung jawab, negara bahkan ikut melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Anindya Restuviani
Program Director (Jakarta Feminist)
Sebagai seorang perempuan, seberapa seringkah kalian mendapat peringatan untuk menjaga diri dan berpakaian tertutup ketika sedang berada di dekat laki-laki?
Secara pribadi aku merasa “peringatan” ini adalah makanan sehari-hari yang pastinya dirasakan banyak perempuan sepanjang hidup mereka. Perempuan selalu dituntut untuk berperilaku sedemikian rupa, diatur cara kita berbusana dengan dalih untuk melindungi diri kita. Sayangnya, jelas sekali ini bukan solusi, karena kita semua tahu bahwa kekerasan/pelecehan seksual bukan disebabkan oleh hal tersebut, bukan disebabkan oleh bagaimana korban berbusana dan/atau berperilaku. Sayang sekali jika narasi ini yang masih terus digulirkan tanpa mengakui bahwa kita selama ini tidak pernah mengajarkan laki – laki untuk tidak melecehkan.
Akhir-akhir ini sedang banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke permukaan media sosial. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Yang perlu dipahami dari fenomena ini adalah, kita harus sadar bukan akhir-akhir ini kasus kekerasan makin banyak, melainkan kasus kekerasan sudah banyak dari dulu hanya saja masyarakat sudah banyak yang mulai sadar tentang bentuk-bentuk pelecehan dan sudah enggan untuk menormalisasi hal tersebut. Namun sayangnya, kesadaran masyarakat ini tidak dibarengi dengan ruang aman yang tersedia untuk korban untuk melaporkan ke jalur hukum yang ramah dan berpihak pada korban, akhirnya sulit bagi korban dan penyintas untuk mendapatkan keadilan melalui jalur hukum. Maka dari itu, banyak dari mereka yang memilih untuk mencari keadilan melalui hukuman sosial melalui medsos, sayangnya, ternyata medsos pun belum ruang yang aman, masih banyak masyarakat yang belum memiliki mindset yang berpihak pada korban, lebih parah lagi, ternyata kriminalisasi yang dialami korban menggunakan alat hukum seperti UU ITE dan UU Pornografi juga bisa terjadi, hasilnya korban mengalami re-viktimisasi tidak hanya dari masyarakat tapi juga dari negara.
Banyak orang yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan seksual dalam suatu hubungan (baik dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga). Bahwa, eksistensi hubungan tersebut secara otomatis merupakan bentuk pemberian izin. Apa pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Sangat tidak setuju. Consent atau persetujuan tidak ditentukan berdasarkan status hubungan. Walaupun berada dalam relasi romantis/rumah tangga bukan berarti konsep persetujuan tidak lagi berlaku. Masing-masing individu masih memiliki haknya sebagai pemilik tubuh dan memiliki hak untuk menolak atau memberikan persetujuan. Hubungan yang tidak berdasarkan pada penghargaan terhadap kebebasan hak atas persetujuan merupakan hubungan yang berdasarkan kekerasan.
Kekerasan seksual dalam institusi pendidikan maupun korporasi kerap terjadi karena munculnya relasi kuasa (e.g. agar tidak dicoret dari daftar Yudisium, agar tidak kehilangan klien, dsb). Menurut Anda, mengapa fenomena tersebut masih bertumbuh kuat di Indonesia?
Banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa kekerasan seksual itu tidak jauh dari budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, budaya korupsi yang sangat mengakar di indonesia juga menyebabkan banyak masyarakat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dimana disaat kita bicara tentang kekerasan seksual, salah satu hal kunci yang mendasari kekerasan seksual adalah penyalahgunaan kekuasaan seperti yang dicontohkan. Banyak pula masyarakat yang masih menormalisasi hal-hal seperti ini dan malah memberikan stereotip kepada korban. Budaya pengkultusan, juga masih sangat kuat di Indonesia, di mana disaat pelaku adalah orang yang memiliki ketenaran, kekuasaan, banyak orang yang akhirnya memilih berpihak pada pelaku bukan pada korban.
Terbentur dengan berbagai norma yang hadir di Indonesia, banyak penyintas yang dipaksa mempertahankan kandungan hasil kekerasan karena tidak didukungnya fasilitas aborsi yang aman. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Jika fasilitas yang dimaksud adalah produk hukum, sebetulnya produk hukum yang menjamin hak aborsi di Indonesia sudah ada yaitu UU Kesehatan, sayangnya, jaminan ini sangat dibatasi, seperti usia kandungan maksimal 40 hari dan harus mendapatkan persetujuan dari banyak pihak. Maka dari itu, semenjak UU Kesehatan yang mengatur hak aborsi korban/penyintas kekerasan ini dibuat, hingga sekarang belum ada penyintas/korban yang berhasil melakukan aborsi. Ini sangat-sangat disayangkan, belum lagi negara juga tidak menjamin bentuk perlindungan lain yang dapat diberikan kepada korban apabila korban dipaksa untuk melanjutkan kehamilan. Bahkan dalam proses persalinan dari biaya, dampak fisik dan mental, semua korban harus menanggung sendiri.
Bivitri Susanti
Lecturer (Indonesia Jentera School of Law)
Sebagai seorang perempuan, seberapa seringkah kalian mendapat peringatan untuk menjaga diri dan berpakaian tertutup ketika sedang berada di dekat laki-laki?
Sering. Apalagi karena saya memang bekerja di wilayah politik, yang sangat maskulin, sehingga penilaian diri pertama-tama akan didasarkan pada penampilan, bukan isi kepala.
Akhir-akhir ini sedang banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke permukaan media sosial. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Di satu sisi tentu saja ini membuat kita merasa semakin perlu intervensi negara dan Kebijakan yang sifatnya sistemik untuk bisa mengatasi kasus-kasus KS. Sebab kasus-kasus ini mencuat krn korban seringkali tidak punya pilihan selain membuatnya menjadi perhatikan agar segera diatasi. Setelah viral baru diurus. Ini yang sering terjadi, karena tidak ada perspektif korban di kalangan penegak hukum. Tapi di sisi lainnya, banyaknya kasus ini punya sisi positif karena menggambarkan adanya ruang Publik yang lebih terbuka untuk membahas KS. Paling tidak untuk generasi muda (krn pengguna Utama medsos adalah generasi muda). Dan ini baik karena jadi ada Pendidikan Publik juga mengenai apa itu KS, bagaimana KS terjadi, dan bagaimana mengatasinya. Saya kira karena banyak pembahasan di medsos, ada pemahaman yang lebih luas juga soal KS, sehingga bisa berkontribusi untuk menghancurkan “budaya” patriarkis dan pandangan misoginis. Krn kasus naik, banyak juga organisasi dan individu (influencers) yang bergerak di sini jadi punya momentum untuk menyebarluaskan kesalahan yang selama ini terpatri di masyarakat kita, misalnya bahwa KS itu bukan karena pakaian perempuan, bahwa KS dalam pacaran juga ada, KBGO, dll.
Banyak orang yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan seksual dalam suatu hubungan (baik dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga). Bahwa, eksistensi hubungan tersebut secara otomatis merupakan bentuk pemberian izin. Apa pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Sangat tidak setuju. Consent atau pemberian izin atas diri (tubuh, pikiran, dan termasuk seksualitas tentunya) tidak didasarkan atas suatu relasi kontraktual (perkawinan adalah relasi yang legal, tetapi pacaran pun, dalam arti ini, juga relasi kontraktual, krn berdasarkan kesepakatan), karena manusia bukan barang, bukan komoditas yang bisa menjadi objek kontrak. Dalam hubungan apapun, bahkan perkawinan yang sah secara hukum, yang ada adalah kesepakatan untuk bermitra secara setara, bukan “penguasaan” mutlak seperti halnya pada benda. Manusia itu secara natural memiliki martabat – human dignity. Martabat manusia atau human dignity ini adalah dasar dari HAM, dasar dari semua relasi antar manusia. Jadi tidak bisa seperti benda mati yang berdasarkan kesepakatan bisa dimiliki mutlak. Penguasaan atas diri tidak bisa berpindah tangan karena setiap manusia merdeka. Karena itu, setiap tindakan yang dilakukan terhadap pasangan terhadap diri pasangannya sebagai individu merdeka, harus tetap berdasarkan persetujuan.
Kekerasan seksual dalam institusi pendidikan maupun korporasi kerap terjadi karena munculnya relasi kuasa (e.g. agar tidak dicoret dari daftar Yudisium, agar tidak kehilangan klien, dsb). Menurut Anda, mengapa fenomena tersebut masih bertumbuh kuat di Indonesia?
Karena masyarakat kita secara umum memang masih hidup dengan pandangan dan kebiasaan yang didasarkan pada penguasaan atas orang lain. Selama cara pandang ini belum diruntuhkan, soal relasi kuasa ini akan terus ada dan mungkin malah bertumbuh.
Terbentur dengan berbagai norma yang hadir di Indonesia, banyak penyintas yang dipaksa mempertahankan kandungan hasil kekerasan karena tidak didukungnya fasilitas aborsi yang aman. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Ini memang satu hal yang penting untuk dibahas. Basis pembahasannya harusnya pada keselamatan si perempuan dan bayi itu sendiri. Seharusnya pemerintah fokus pada fasilitasi aborsi yang aman. Tentangan aborsi biasanya dilandaskan pada moral, padahal moral tertinggi yang harus jadi pegangan adalah keselamatan (well-being, bukan cuma “safety”) manusia-manusia, dalam konteks ini adalah ibu dan bayinya. Masyarakat harus berhenti mengatur tubuh perempuan, karena pada akhirnya perempuan lah yang akan mengalami apapun yang akan dialami, apakah ia memutuskan untuk aborsi atau tidak. Pengambilan keputusan dan eksekusi pengambilan keputusan bila akan aborsi itulah yang harus difasilitasi oleh negara. Jadi memang aborsi yang aman itu harus jadi perhatian. Kalaupun harus ada pembatasan misalnya pada umur kandungan berapa minggu boleh diaborsi atau tidak, dasarnya harus pada ilmu pengetahuan tentang keamanan aborsi bagi kesehatan ibu dan bayi itu sendiri.
Ika Setyowati
Direktur Humas dan Jaringan HopeHelps Network
Seberapa seringkah perempuan mendapat peringatan untuk menjaga diri dan berpakaian tertutup ketika sedang berada di dekat laki-laki?
Peringatan tersebut juga disampaikan agar seseorang terhindar dari tindak pelecehan/kekerasan seksual. Namun, seorang perempuan, laki-laki atau siapapun itu memiliki hak atas tubuh mereka. Mereka memiliki hak untuk berekspresi atas tubuh mereka. Tidak ada hubungan antara pakaian seseorang dengan tindak kekerasan seksual. Seseorang sering kali disalahkan atas perbuatan atau pakaian mereka yang tidak sesuai dengan “norma” ketika mereka mengalami kekerasan seksual. Namun, tindak pelecehan/kekerasan seksual bukan merupakan salah korban atas pakaian mereka.
Faktanya tidak sedikit korban kekerasan seksual yang memakai pakaian panjang, dan bahkan pakaian menutupi semua bagian tubuh mereka. Tindak kekerasan seksual terjadi karena pelaku yang tidak bisa mengontrol nafsu dan dirinya.
Akhir-akhir ini sedang banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke permukaan media sosial. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Kekerasan seksual merupakan kasus yang sudah ada sejak lama, namun belum banyak korban dan penyintas yang mengetahui mereka harus melapor kemana. Tidak sedikit juga dari mereka yang belum memiliki tempat aman untuk bercerita di lingkungan sekitar mereka (baik keluarga, teman, kolega, maupun komunitas terdekat). Korban kekerasan seksual lebih sering untuk memendam cerita mereka sendiri karena takut. Mereka takut kalau mereka akan disalahkan oleh orang disekitar, takut tidak ada yang mempercayai mereka, takut kalau pelaku kekerasan seksual akan mengancam mereka, dan lain sebagainya.
Korban kekerasan seksual juga sering sekali menyalahkan diri sendiri atas kekerasan seksual yang mereka alami. Padahal, setiap kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap korban bukanlah salah korban, tapi salah pelaku. Pelaku kekerasan seksual-lah yang seharusnya menanggung trauma, depresi yang terjadi pada korban karena perilaku mereka.
Fenomena kasus kekerasan seksual yang muncul di media sosial terjadi karena korban atau bahkan teman korban merasa bahwa ketika mereka bercerita di media sosial, maka akan ada banyak orang yang membantu kasus kekerasan seksual yang sedang terjadi dan korban akan mendapatkan keadilan yang mereka inginkan. Namun, tidak jarang juga ketika seorang korban bercerita tentang kasus kekerasan seksual yang mereka alami di media sosial, pelaku melaporkan kembali korban dengan dalih pencemaran nama baik menggunakan UU ITE. Hal ini menjadi boomerang bagi korban yang seharusnya mendapatkan keadilan, malah menjadi korban untuk kedua kalinya.
Maka dari itu, ketika kita sebagai masyarakat awam mengetahui sebuah postingan di media sosial yang mengarah ke sebuah kasus kekerasan seksual, kita bisa membantu korban dengan melakukan tiga hal, yaitu melihat, mendengar, dan menghubungkan. Pertama amati beranda sosial media kalian. Ketika kita melihat ada sebuah postingan yang mengarah ke kasus kekerasan seksual, kita bisa menghubungi pihak yang terkait untuk memberikan empati. Kita bisa mengatakan “Aku turut prihatin atas kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap kamu. Nama aku …, jika kamu membutuhkan tempat untuk bercerita, aku ada untuk kamu.” Setelah korban mempercayai kalian untuk menjadi tempat aman untuk bercerita, maka dengarkanlah cerita korban tanpa menghakimi. Kalian juga bisa tawarkan bantuan dan berkata “Kira-kira apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kamu?”. Jika korban mengatakan bahwa dia ingin melaporkan kasus kekerasan seksual, namun kita masih bingung harus menghubungi siapa terlebih dahulu, maka kita bisa menghubungkan korban dengan lembaga atau organisasi yang bisa membantu menyelesaikan kasus kekerasan seksual seperti Komnas Perempuan, HopeHelps Network, Lembaga Bantuan Hukum di daerah domisili korban, dan lain sebagainya. Korban akan bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual melalui lembaga yang ahli dalam bidangnya. Kita bisa terus mendampingi korban sampai permasalahan kekerasan seksual yang dialami korban bisa terselesaikan sesuai dengan keinginan korban.
Kalian bisa mengetahui banyak sekali informasi mengenai penanganan kasus kekerasan seksual melalui Instagram kami yaitu @hopehelpsnet. Kalian juga bisa mengajak kami untuk berdiskusi atau bekerjasama berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual di sekitar kampus, melalui email kami yaitu: hq@hopehelps.net.
Banyak orang yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan seksual dalam suatu hubungan (baik dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga). Bahwa, eksistensi hubungan tersebut secara otomatis merupakan bentuk pemberian izin. Apa pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut?
Kekerasan seksual bisa terjadi terhadap siapa saja dan dalam hubungan apapun (pacaran, suami-istri, guru-murid, dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiswa, antar teman, antar kolega, bos-bawahan, dsb). Seseorang harus bisa menghormati, menghargai orang lain dalam hubungan apapun dengan siapapun. Meskipun dalam sebuah hubungan romantis sekalipun (pacaran dan pernikahan) bukanlah hubungan yang bisa dilandaskan kepada pemberian izin atas segala macam hal yang akan dilakukan di awal komitmen hubungan tersebut. Permasalahan pemberian izin atau persetujuan dalam sebuah hubungan harus memperhatikan konsep FRIES (Freely given, Reversible, Informed, Enthusiastic, and Specific). Hal ini bisa diterapkan kepada orang lain dalam hubungan apapun.
Freely given berarti seseorang memberikan persetujuan atau sering disebut dengan konsen kepada orang lain secara bebas. Tidak ada unsur manipulatif dalam pemberian konsen tersebut. Reversibel berarti seseorang bisa menarik kembali consent atau persetujuan yang diberikan sebelumnya. Informed berarti seseorang harus mengetahui bahwa mereka akan
diminta persetujuan atas sesuatu. Enthusiastic berarti seseorang memberikan consent atau persetujuan secara antusias, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketika seseorang memberikan persetujuan dengan ragu-ragu, maka persetujuan tersebut tidak bisa dinyatakan valid. Specific berarti seseorang yang meminta persetujuan orang lain harus memberikan detail mengenai apa yang ingin dilakukan. Contoh: B ingin meminjam laptop C untuk membuka resep makanan di Google dan menonton video di Youtube. Maka B tidak boleh membuka folder di dalam dokumen atau membuka link lain yang tidak disebutkan sebelumnya.
Kekerasan seksual bisa terjadi ketika salah satu pihak dalam sebuah hubungan mengabaikan konsep persetujuan yang telah dijelaskan sebelumnya. Seseorang tidak memiliki kuasa atas orang lain ketika mereka berada dalam sebuah hubungan. Sebuah hubungan harus tetap dilandaskan kepada saling menghormati dan menghargai satu sama lain melalui konsep FRIES.
Kekerasan seksual dalam institusi pendidikan maupun korporasi kerap terjadi karena munculnya relasi kuasa (e.g. agar tidak dicoret dari daftar Yudisium, agar tidak kehilangan klien, dsb). Menurut Anda, mengapa fenomena tersebut masih bertumbuh kuat di Indonesia?
Kekerasan seksual terjadi ketika terdapat ketimpangan relasi kuasa di dalamnya. Hal ini terjadi karena terdapat salah satu pihak yang merasa bahwa dirinya memiliki kuasa yang lebih atas lainnya. Ketimpangan relasi kuasa dalam institusi pendidikan bisa muncul dalam hubungan antar Kepala sekolah-Guru, Guru-Murid, Dosen-Mahasiswa, Pegawai fakultas- Mahasiswa, Ketua BEM-Anggota, Ketua kelas-Teman sekelas, bahkan Mahasiswa- Mahasiswa. Sedangkan ketimpangan relasi kuasa dalam korporasi bisa terjadi dalam hubungan Direktur-Manager, HRD-Karyawan, Karyawan-Karyawan, dsb. Relasi kuasa yang muncul dalam institusi pendidikan maupun korporasi karena masih ada budaya patriarki yang masih melekat erat pada masyarakat. Selain ketimpangan relasi kuasa, budaya patriarki juga menyebabkan terjadinya ketimpangan gender. Terdapat gender mayoritas yang merasa bahwa mereka lebih kuat dan punya kuasa lebih terhadap gender minoritas.
Sebuah kekerasan yang menyerang seseorang karena gender mereka disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender.
Kekerasan seksual maupun kekerasan berbasis gender yang muncul akibat dari budaya patriarki bisa merugikan korban. Namun, seringkali korban disalahkan oleh masyarakat karena tidak melawan, tidak berteriak ataupun tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain: korban takut untuk melawan
karena mereka mendapatkan ancaman oleh pihak pelaku, korban takut melapor karena tidak akan ada yang mempercayai cerita korban, korban bingung harus bercerita atau melapor ke siapa, korban tidak mempunyai tempat aman untuk bercerita di lingkungan pendidikan maupun korporasi, lingkungan disekitar korban masih mengedepankan budaya patriarki, pelaku akan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk membungkam korban agar pelaku tidak mendapatkan hukuman.
Terbentur dengan berbagai norma yang hadir di Indonesia, banyak penyintas yang dipaksa mempertahankan kandungan hasil kekerasan karena tidak didukungnya fasilitas aborsi yang aman. Apa pendapat Anda mengenai fenomena tersebut?
Penyintas yang merupakan korban kekerasan seksual perkosaan atau kehamilan yang tidak direncanakan memiliki akses yang sulit terhadap fasilitas aborsi, terutama penyitas yang terdapat di daerah terpencil di Indonesia. Hal ini terjadi karena tidak semua orang mendapatkan akses terhadap pendidikan seksual dan reproduksi yang sama dan kurangnya pengetahuan mengenai fasilitas aborsi yang aman di Indonesia.
Terdapat salah satu lembaga yang menyediakan pemenuhan akses informasi kesehatan seksual dan reproduksi melalui konseling. Lembaga tersebut bernama Samsara. Samsara menyediakan konseling bagi perempuan yang mengalami hamil yang tidak direncanakan agar mereka mengetahui pilihan apa saja yang bisa diambil. Semua keputusan akan diberikan kepada perempuan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Selain itu, Samsara juga tersedia untuk korban/penyintas kekerasan yang mau mencari informasi seperti bagaimana cara dan layanan kesehatan untuk deteksi dini/screening IMS. Kalian bisa menghubungi konselor Samsara melalui nomor-nomor berikut ini: 0821-2345-8700; 0821-2345-8500; 0821-2345-8400. Apabila ingin mengakses informasi lebih lanjut mengenai layanan ini, kalian dapat menghubungi Samsara melalui Hotline: 0812345830 atau Email: hello@samsara.or.id. Kalian juga dapat mengikuti Samsara di Instagram (@perkumpulansamsara) untuk bertanya seputar konseling dan edukasi.