Asam Garam Menjadi Pekerja Startup di Indonesia
Kami mengumpulkan beberapa pegawai startup untuk memahami seluk beluk menjadi bagian dari startup di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Ilustrasi: Mardhi Lu
Teks: Titania Celestine
Sedang marak didiskusikan pro dan kontra-nya menjadi pegawai startup. Sebuah niche industri yang sempat menjadi idaman banyak fresh graduate kini mulai banyak menunjukkan wajah yang berbeda. Mulai dari bayaran yang tidak pasti, kebebasan yang sering menjadi pisau bermata dua (e.g. bebas masuk jam berapa asal kerjaan beres; tapi kerjanya gak beres-beres), dan juga sistem kerja yang jalan dulu sambil lalu. Kami mengumpulkan beberapa pegawai startup untuk memahami seluk beluk menjadi bagian dari startup di Indonesia.
Asti Candramaya
Ex Public Relations Officer for Fintech
Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan bekerja di Startup?
Kelebihannya, aku merasa bisa belajar dan tahu hal lebih banyak diluar PR, dibanding ketika aku kerja di PR consultant, yang cuma mengembangkan skills yang sesuai PR aja. Kalo di startup aku bisa tau, “Oh ada ya, divisi yang urusin marketing, social media, dan creatives.” Jadi aku lebih paham gitu mengenai divisi-divisi lain walaupun memang aku gak bekerja di divisi itu, aku bisa belajar a certain understanding untuk proses kerja divisi tersebut.
Di sisi lain, di startup itu kebanyakan dalam satu departemen cuma ada satu atau dua orang, jadi segala sesuatu itu dikerjakan sendiri. Terus atasan aku juga belum tentu backgroundnya PR juga, jadi apapun harus bisa kita kerjain sendiri, dari situ aku juga sebenernya jadi lebih berani untuk do something by myself and make my own decisions juga.
Kekurangannya, aku merasa keluar dari startup gak terlalu bawa ilmu apa-apa. Kayak yang tadi aku bilang, biasanya atasan kita backgroundnya gak sesuai dengan kita, mungkin dia digital marketing, atau yang lain, meanwhile aku kan expertisenya PR. Jadi dari situ aja kurang nyambung.
Nah, karena itu, aku gak tau tuh apa yang aku kerjain benar atau salah. Jadi susah juga cari growing skills, karena aku yang menentukan dan mengerjakan sendiri. Meanwhile coba kalo kita kerja in-house nih, PR kita pasti punya division sendiri, jadi dari situ kita bisa grow skills dari atasan kita juga.
Secara general, aku merasa gak ada jenjang karir setelah kerja di startup. Kalo misalnya kita kerja di in-house ato korporat, kita naik the corporate ladder, jadi kita masuk sebagai junior, tapi ada kesempatan untuk naik jadi manajer, senior, jadi VP dan lainnya. Di startup itu tuh gak ada. Misal kita masuk jadi junior, tapi VP dan seniornya sering mereka ambil dari big companies atau startup lain.
Setelah mereka dapat funding biasanya mereka ambil senior atau VP dari perusahaan luar negeri. Jadi ketika kita mau naik jabatan, kita harus pindah kantor. Jadi kita emang gak bisa remain kerja di startup for very long. Karena lo bakal selalu tergantikan, dan atasan lo selalu di hijack dari tempat lain.
Makanya banyak banget isu tentang gap salary, masalah pekerja, dan lain lain. Misal kita lihat kita dibayar lebih sedikit, karena kebanyakan salarynya dialokasikan untuk senior yang di hijack dari luar negeri itu. Jadi kalo memang kita mau cari posisi dan gaji yang lebih tinggi, kita harus cari kerja di tempat lain.
Konon katanya, tingkat turnover di Startup biasanya cukup tinggi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Seperti apa dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Kayaknya kalo turnover tinggi itu kembali ke perusahaannya masing – masing. Tapi balik lagi ke yang aku bilang tentang startup gak ada jenjang karir, jadi selain turnover tinggi, mungkin culture dari perusahaannya juga berpengaruh ya.
Kebijakan Startup yang banyak memberikan keleluasaan bagi para pekerjanya seringkali membuyarkan batasan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagaimana cara mewujudkan work-life balance ala pekerja Startup?
Di salah satu startup tempat aku kerja dulu, ada sih itu yang work-life balance nya oke, nggak ada kerja sampe malem dan lain lainnya, tapi tetep ada kekurangannya, semua perusahaan juga pasti ada begitu.
Kalo perusahaan startup yang baru gencar dapet funding, ngejar user, atau mau mengalahkan kompetitor, pasti ada banget yang gak kerasa sama sekali work-life balance nya. Bahkan walaupun aku udah gak kerja di startup, temen-temen aku juga masih ada yang online meeting sampe malem banget. Itu gak bakal ada hasil yang secara signifikan bersifat produktif juga menurut aku.
Waktu itu aku di startup pas lagi transisi belom dan baru mau pandemi. Disaat itu susah sih untuk balance work-life experience. Akhirnya di hari Jumat itu selalu jadi titik dimana kita harus menghabiskan waktu dengan sangat baik biar bisa dapet reward juga akhirnya di weekend.
Banyak kasus nya dimana orang kerja startup tuh weekend masih kerja. Kalo untuk cara balance work-life ya mungkin kembali lagi ke perusahaannya, mungkin bisa menuhin passion sebagai side hustle kita, ato jam selfcare buat nonton Netflix.
Again, itu semua tergantung perusahaannya, beberapa temenku yang punya kerja sampingan untuk menuhin passionnya tetep nggak sempet untuk ngejalanin bisnis mereka on the side. Kalo untuk menuhin work-life balance, pastinya balik ke masing-masing dari setiap orang sih sistemnya.
Tapi tentunya jangan lupa to take care of yourself, jadikan diri sendiri itu prioritas pribadi, jangan sampe kerja malah jadi prioritas, kasian mental dan fisiknya. Semua pekerjaan pasti punya tantangannya masing masing, tergantung di diri orang masing-masing aja bisa diterima atau nggak
Apa pendapat Anda mengenai budaya “Palugada” (apa yang lu mau, gue ada) yang kerap ditemui di banyak Startup saat ini?
Menurut aku kalo Palugada tuh nggak harus di startup aja sih, pastinya perusahaan yang belum well established juga pasti masih begitu. Cuma kalo emang di startup kadang nyebelin aja, mereka dapat funding, dan bukannya dipake buat existing staff tapi malah dipake buat ambil orang dari perusahaan lain dengan higher salary demand.
Ada banget tuh, startup yang bukan ngumpulin atasan dulu, tapi baru kumpulin junior, baru kumpulin atasannya setelah dapet funding. Ini yang bikin staff di startup itu suka merasa berat, karena adanya gap wage di antara staff dan c-level positions yang lumayan jauh. Kalo pemotongan gaji, atau PHK, pastinya nanti yang kena duluan itu juniornya bukan c-level stafnya.
Banyak startup yang masih mengembangkan sistem kerja sambil berjalan. Seperti contoh; banyak trial and error yang harus dilalui, sering terjadi rombak struktur organisasi, dan perubahan deskripsi pekerjaan yang berganti-ganti. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Jobdesc sih nggak pernah ganti ya, tapi mungkin you can say dia berkembang. Misalnya aku jadi harus pegang event, dan lain – lain. Kesulitannya ya itu, aku nggak tau apa yang aku kerjain itu bener apa nggak. Startup itu seringkali cuman liat outputnya aja, dan it’s in numbers, jadi susah untuk melihat prosesnya untuk sampe kesana.
M. Tia
Consumer Research Intern and Freelance Tutor
Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan bekerja di Startup?
Kekurangannya, nggak ada BPJS ketenagakerjaan saat ini di perusahaan gue, jadi otomatis kalo misalnya device yang gue pake kenapa kenapa, ya pendapatan gue semakin berkurang. Tapi mereka juga nggak consider kalo kerjaan mereka tuh bikin pengeluaran gue, seorang mahasiswa yang notabene “independen” jadi makin besar karena biaya listrik buat kerja, kemudian juga Wi-Fi harus yang memadai jadi harus yang tingkat koneksinya bagus dan lumayan mahal.
Mungkin kekurangannya yang lain, pelatihannya tuh sangat kurang buat divisi gue. Kalo soft skills memang dapet banget, tapi gue masuk di startup tuh buat dapet mentor yang bisa ajarin gue kiat-kiatnya tuh kayak gimana sebenarnya. Jadi dari segi itu mungkin agak nggak cocok ya bagi yang mau ikut startup buat experience, tapi sebagai landasan CV ya pastinya cukup.
Masalah serikat pekerja juga agak kurang, jadi bener-bener yang semua hal terlalu masing-masing jadi gue nggak kenal sama orang-orang di kantor gue.
Kalo kelebihannya, ini pasti bisa jadi pondasi belajar buat gue, ketimbang belajar di perusahaan yang besar, mungkin gue ada keharusan untuk punya prior experience. Kantor gue sekarang provide pelatihan buat gue juga, menurut gue itu salah satu kelebihan yang positif banget ya.
Selain itu, gue ngerasa fleksibel kerja dan fleksibelnya nyaman, dan juga berbeda dari budaya fast-paced startup lain. Gue nggak ngerasa keharusan buat memaksa diri gue buat kerja keras yang ekstrim, walaupun gajinya gak seberapa, tapi lumayan gue bisa tenang di weekend, dan setimpal dengan jumlah kerja yang gue kerjain, rasanya kayak kerja di organisasi kampus, tapi at the same time gue juga dapet skills dan pengalaman serta network kerja juga.
Konon katanya, tingkat turnover di Startup biasanya cukup tinggi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Seperti apa dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Jujur sebagai divisi consumer research kayaknya nggak bener sih hal tentang turnover itu. Tapi perasaan gue juga mungkin karena banyak startup yang udah nawarin jasa semacam ini, jadi segi konsumen baru dan pemasukannya bisa dikatakan kurang, karena gue juga firsthand manage accounting dan finance, jadi gue tau turnovernya gimana.
Tapi kalo di perusahaan yang gue ngerasa kompetitif nih, dia kembangin servisnya dan dia menambahkan program baru, tentunya dia dapat lebih banyak pendanaan sebagai hasilnya gitu. dari sisi pertumbuhan pastinya lebih bagus.
Kebijakan Startup yang banyak memberikan keleluasaan bagi para pekerjanya seringkali membuyarkan batasan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagaimana cara mewujudkan work-life balance ala pekerja Startup?
Secara pribadi, gue ngerasa kayak wacana yang “Oh ini kerja fleksibel dan kantor kita utopis” itu rada omong kosong. Kata ‘fleksibel’ itu sendiri tuh udah menyimpang, jadi orang nggak tau batasan hidup kerja sama pribadi. Tentunya lo nggak bisa ambil jam istirahat orang dengan dalih “Oh kita kan kerja fleksibel”, itu bukan sebuah alasan buat lo contact orang malem-malem buat urusan kerja.
Gue sendiri merasa cukup beruntung ya, karena tempat kerja gue sangat mempertimbangkan hidup orang lain, dan ada batasan – batasan tertentu, jadi kapan lo boleh unggah tugas, batasan waktu buat hubungi atasan, hubungin coworkers yang lain juga waktunya sudah di alokasi.
Untuk perusahaan yang memang banyak operasionalnya di jam malam, misalnya memang yang demografi pekerja dan konsumennya juga mahasiswa, jadi cuma bisa bagi waktu di malam hari, dari gue sarannya ya cuma dari diri lo sendiri, gimana caranya lo bisa negosiasi sama perusahaan lo.
Gue pribadi sangat merekomendasi pisah device, jadi satu device emang buat kerja, dan satu device buat hidup pribadi lo, jadi misalnya lo udah gak pake device buat kerja, jadi coworkers lo bisa liat gitu “Oh, dia udah off udah nggak bisa dihubungi” karena memang sudah bukan jamnya untuk dihubungin.
Kalo saran gue buat startup ya, menurut gue lo harus utilisasi platform yang lebih profesional, jangan cuma mengandalkan messaging apps kayak WhatsApp, karena lo tau pastinya orang banyak banget yang pake WhatsApp dalam kesehariannya, mungkin bisa dimulai dari pisah platform, kayak mungkin di Telegram atau Slack, pokoknya sehingga kehidupan pribadi sama urusan kerja karyawan lo tuh jadi kepisah gitu.
Apa pendapat Anda mengenai budaya “Palugada” (apa yang lu mau, gue ada) yang kerap ditemui di banyak Startup saat ini?
Kalo gue pribadi, nggak pernah ngalamin atau ngerasain yang namanya Palugada ya, karena sistem startupnya juga udah punya pembagian divisi yang jelas. Gue ngerasa adopsi sistem Palugada sendiri itu kebanyakan di startup yang pembagian kerjanya kurang jelas, mungkin lebih cenderung punya sistem itu.
Menurut gue prinsip Palugada itu sendiri kurang efektif aja buat consumer satisfaction. Karena yang seharusnya mungkin suatu hal bisa dikerjain sama orang yang memang lebih berpengalaman atau memang spesialis, malah ditugaskan ke orang yang mungkin punya pemahaman yang lebih minim atau sebatas cukup aja.
Dan juga budaya kayak gitu menurut gue gak boleh dilanjutkan kedepannya, karena sifatnya kurang profesional, kalo memang mau bersistem Palugada, mending satu perusahaan itu tim nya memang punya visi yang sama, jangan melibatkan dan merugikan orang lain gitu.
Banyak startup yang masih mengembangkan sistem kerja sambil berjalan. Seperti contoh; banyak trial and error yang harus dilalui, sering terjadi rombak struktur organisasi, dan perubahan deskripsi pekerjaan yang berganti-ganti. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Belum pernah ya, paling kalo misalnya memang ada event-event tertentu, paling divisi gue dipecah jadi beberapa kelompok atau orang biar handle hal yang berbeda beda, tapi sebatas itu aja sih.
Ujungnya lo juga harus selektif akan pemilihan tempat kerja lo, karena beberapa perusahaan juga nggak ada sistematika yang jelas, lo juga nggak yakin mereka bakal berkembang untuk menjadi lebih baik, minimal coba cari informasi di akun Instagramnya, kalo dari pengalaman gue, coba lo pelajarin sistem workloadnya gimana, atau coba mungkin cari yang perusahaan connected di LinkedIn buat yang lebih profesional.
Lo sebenernya juga bisa tau sistem kerja mereka dari interview kerja. Lo pasti bisa nanya, atau lo baca kontrak kerja lo dengan sangat teliti, ekspektasi mereka apa, karena ya itu hak lo. Interview kerja itu dua arah, kalo dikasih kesempatan bertanya ya mending bertanya biar lo juga tau sebenernya what you’re signing up for, gitu.
A. Salsa
Graphic Designer
Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan bekerja di Startup?
Kelebihannya itu, lingkungan kerja yang santai, apalagi banyak yang seumuran juga, jadi lebih nyambung kalo ngobrol. Bebas mau setel lagu juga, ngemil, nyantai.
Juga, menurut aku, kamu bisa belajar banyak di perusahaan startup. Jadi, meski kamu apply jadi social media specialist, kamu bisa belajar design, taktik promosi dan copywriting juga.
Kekurangannya, jam kerja yang berlebihan, terkadang merasa underpaid juga. Agensi startup itu jarang sekali ada uang lembur atau bonus. Jadi kadang sampai waktu weekend juga terganggu.
Selebihnya, Pengalamanku kalau meeting dengan klien itu kadang sering di underestimate, dibilang masih muda, dan terlihat kayak tidak punya pengalaman, apalagi dengan latar belakang kerja di perusahaan startup.
Konon katanya, tingkat turnover di Startup biasanya cukup tinggi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Seperti apa dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Sebenarnya cukup tinggi ya.. kalo di agensi aku sekarang lumayan cepet turnovernya, dan orang-orang juga saat ini mulai sadar akan pentingnya promotion through social media, jadi klien memang bertambah mulu rasanya.
Kebijakan Startup yang banyak memberikan keleluasaan bagi para pekerjanya seringkali membuyarkan batasan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagaimana cara mewujudkan work-life balance ala pekerja Startup?
Agak susah sebenarnya untuk imbangin work-life balance ya, karena di agensi seperti perusahaan aku sekarang selalu 24/7 dikejar kejar klien. Jadi paling aku harus inisiatif sendiri, nabung konten atau desain, biar weekend aku nggak diganggu.
Aku kurang bisa ngejelasin juga sih karena aku sendiri juga belum menemukan work life balance, kerja di startup itu harus siap nggak tidur dan dikejar-kejar kapanpun.
Apa pendapat Anda mengenai budaya “Palugada” (apa yang lu mau, gue ada) yang kerap ditemui di banyak Startup saat ini?
For me, it’s a big no. Karena kan udah ada job description yang tertera, aku nggak dibayar lebih untuk ngerjain ini itu. Pas awal awal mungkin masih semangat– foto, ayoo, bikin content plan, ayooo, bikin animasi, okee, tapi sekarang aku ngerasa aku lebih menegaskan kerjaan aku cuma desain aja, nggak lebih dan gak kurang.
Banyak startup yang masih mengembangkan sistem kerja sambil berjalan. Seperti contoh; banyak trial and error yang harus dilalui, sering terjadi rombak struktur organisasi, dan perubahan deskripsi pekerjaan yang berganti-ganti. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Pernah, dan sering terjadi… Bahkan sampai tukeran title kerjaan juga pernah dan menurutku itu messed up banget.
Struktur pernah berubah, servis yang diberikan berubah, yang awalnya socmed jadi bikin perusahaan influencer mikro, cukup bingung juga. Yang awalnya sudah dikasih tanggung jawab satu, eh diubah-ubah. sebagai karyawan aku jadi bingung dan merasa waktuku buat belajar tuh kebuang. Kadang ada startup yang sedikit maruk ya, cuma karena klien mulai nanya “Kalo bikin ini bisa nggak?” dan dari situ harus belajar ulang lagi buat ini itu…
Ini juga kenapa banyak banget yang baru kerja sebentar, udah resign.
Nadya Larasati
Chief Marketing Officer and Co-Owner of Wrap It Reusable Food Packaging
Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan bekerja di Startup?
Kelebihannya, sebagai pendiri startup sendiri aku lebih punya control akan planning, executing dalam bisnisku sendiri, jadi sangat fleksibel dan langsung hands on.
Sebagai pekerja di startup, aku merasa workload dan work schedulenya cukup jelas, dari segi payroll dan salary itu konstan setiap bulannya, jadi financial management juga lumayan gampang. Selain itu, kalo kita berniat belajar, pasti bekerja di startup itu salah satu cara buat dapet experience yang paling cepat. Karena biasanya startup sendiri kan kebanyakan anak muda dan sangat minim senioritas.
Kekurangannya sebagai pendiri startup itu, harus committed banget, dan gak ada yang kasih schedule dan jobdesc, jadi semua pekerjaan harus dilakukan dari inisiatif. Terus secara pribadi aku merasa banyak banget yang harus aku korbankan, saat ini aku merasa cenderung jauh di belakang temen-temenku yang sudah kerja korporat.
Sebagai pegawai startup, aku merasa kekurangannya itu ruang berkembang untuk long term career development, dan juga ide-ide yang kita punya gak bisa sepenuhnya dituangkan dan disalurkan ke perusahaan kita, karena ujungnya harus disesuaikan sama objective dan culture dari perusahaan tersebut.
Konon katanya, tingkat turnover di Startup biasanya cukup tinggi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Seperti apa dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Aku setuju banget! Aku sendiri pernah kerja di dua perusahaan startup yang konon dibilang sama akun-akun HR yang suka spill (kayak @hrdbacot di Twitter), sebagai perusahaan dengan turnover rate yang tinggi.
Mostly, aku merasa it happens karena sistem dari startupnya itu sendiri yang fleksibel dan mengedepankan performance success dibanding periode kerja, jadi banyak yang merasa mereka deserve to get promoted as soon as possible, tapi realitanya tidak semudah itu.
Banyak juga yang merasa tekanan yang sangat tinggi dan gak sesuai kompensasi atau benefit yang diberikan perusahaan. Yang paling menarik itu aku tau sih beberapa orang kadang resign karena social pressure, melihat temen-temen seangkatannya kerja di korporat atau BUMN dengan struktur yang lebih jelas dan udah memiliki jabatan yang lebih tinggi, jadi merasa kayak mereka deserve better than that.
Kebijakan Startup yang banyak memberikan keleluasaan bagi para pekerjanya seringkali membuyarkan batasan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagaimana cara mewujudkan work-life balance ala pekerja Startup?
Work-life balance versi startup itu sebenernya beda banget ya artinya tergantung masing masing individu. Menurut aku karena keleluasaan sistem startup sendiri, generasi muda jadi gak terpatok waktu, dan tempat buat kerja bikin mereka jadi jauh lebih efisien dan efektif.
Gak banyak juga sih aku melihat yang menyalah artikan terms itu dengan melarutkan arti work-life balance dengan liburan, misalnya. Kayak fenomena Work From Bali, atau Work From Cafe, yang lagi hits belakangan ini.
Menurut aku itu salah satu cara gimana para pegawai startup bisa menjalankan work-life balance yang sama sekali gak salah dan boleh-boleh aja, selagi mereka bisa enjoy.
Tapi aku pribadi sih kerja ya kerja, dan main atau enjoy life ya harus dipisah, karena saat kalo mencoba menggabungkan dua hal tersebut, buat aku pribadi ya malah kurang efektif.
Apa pendapat Anda mengenai budaya “Palugada” (apa yang lu mau, gue ada) yang kerap ditemui di banyak Startup saat ini?
Budaya ini (Palugada) muncul karena mungkin banyak startup apalagi yang masih tahap development, punya human capital dan finance resource yang terbatas tapi mereka sadar betul kalau sebenernya kebutuhan dari company mereka banyak.
Alhasil, satu orang bisa dikasih beberapa jobdesc dengan workload berbeda-beda yang seharusnya dilakuin sama beberapa orang. Didukung sama personality generasi millenial dan gen z yang cenderung bisa multitasking dan juga suka tantangan kali ya, kali menurut aku pas aja gitu, kadang para pegawainya juga gak merasa keberatan dengan melakukan hal tersebut makanya terbentuk budaya seperti ini.
Menurut aku sebenernya hal ini gak wajar sih, karena realistisnya aja gitu mungkin kemampuan manusia gak bisa disamaratakan kalau semua orang bisa keep up dengan sistem Palugada ini, tapi karena banyak fresh graduate atau employee yang mewajarkan hal itu, jadi terbentukan stigma kalau kerja di startup lo harus bisa palugada, karena lo harus agile dan adaptif dengan zaman.
Banyak startup yang masih mengembangkan sistem kerja sambil berjalan. Seperti contoh; banyak trial and error yang harus dilalui, sering terjadi rombak struktur organisasi, dan perubahan deskripsi pekerjaan yang berganti-ganti. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Setuju banget dan aku merasa it is the truth behind startup life. Prosesnya panjang dari development produk atau service-nya sampai ke tahap funding itu pasti gak mudah. Perlu bisa konsisten dan commit sama apa yang dilakuin dan gak bisa berhenti ditengah jalan karena alasan sepele, dan gak bisa disalahkan ke founder atau productnya.
Karena balik lagi, sistem startup, dimana suatu bisnis harus bisa lean dan berputar cari problem untuk di solve dan adapt, buat prototype, testing, dan terus berputar kayak begitu sampai beneran dapet hasil yang sesuai dengan customer.
Kalo rombak struktur organisasi aku rasa sih itu hal yang wajar banget, bukan hanya di startup, yang memang sering terjadi. Tapi mungkin industri startup lebih ter-highlight karena memang pergerakannya cenderung lebih cepat daripada industri lainnya.
Rossy Anggraini
Accounting Admin for BoxMe Indonesia
Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan bekerja di Startup?
Secara pribadi, kelebihannya itu bisa eksplorasi kemampuan aku dalam melakukan laporan keuangan, apalagi untuk berbagai pihak yang berbeda ya, karena tim pusat BoxMe itu di Vietnam, jadi harus dikondisikan agar sesimple mungkin biar bisa dimengerti lewat language barrier.
Aku sendiri bisa belajar banyak kosakata juga dari Bahasa Inggris maupun Bahasa Vietnam, karena kita gak ada staff senior, jadi semua mulai dari nol, dan belajar menyelesaikan masalah sendiri, tiap hari pastinya ada hal baru yang bisa dipelajari.
Kekurangannya, ya pasti dari language barrier itu sendiri sih, karena tim pusatnya di luar negeri, jadi kita agak sulit mengerti kalau ada kendala, terus komunikasi yang via chat aja menghambat waktu resolusi masalah itu sendiri.
Konon katanya, tingkat turnover di Startup biasanya cukup tinggi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Seperti apa dinamika yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Sebelum COVID, tentunya kita masih rame, dan banyak vendor serta klien yang masuk dan berdampak pada tingkat turnover BoxMe juga. Jadi masih banyak konsumen yang beli produk, reseller yang mau kerjasama, jadi otomatis gudang tuh rame.
Tapi semenjak 1 tahun COVID berjalan, kita turunnya lumayan drastis, bahkan sampai ada pengurangan karyawan, jadi sayang banget. Buat karyawan yang udah bantu kita dari bawah harus kena pengurangan. Tapi alhamdulillah, aku malah dapet promosi menjadi admin accounting, yang tadinya cuma customer service aja… hehe
Kebijakan Startup yang banyak memberikan keleluasaan bagi para pekerjanya seringkali membuyarkan batasan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagaimana cara mewujudkan work-life balance ala pekerja Startup?
Kalau aku pribadi sih aku lebih suka di kantor ya walaupun lagi WFH, karena aku lebih fokus kalau kerja di kantor, dan lebih fresh rasanya kalo dikelilingi temen kerja juga.
Di kantor itu peraturannya gak terlalu ketat, fleksibel aja selama yang penting, kerjanya selesai. Sejauh ini ya mungkin pribadi aja ya kalo masalah keseimbangan work-life, jatuhnya masing-masing gimana dan kecepatan penyelesaian kerjanya bagaimana sehingga bisa dapet waktu rehat setelah kerja.
Apa pendapat Anda mengenai budaya “Palugada” (apa yang lu mau, gue ada) yang kerap ditemui di banyak Startup saat ini?
Pribadi, aku belum ngerasa sampai situ sih di perusahaan saat ini, masih nerusin sistem yang ada dan belum ada modifikasi atau ekspansi services yang bersifat Palugada. Di saat ini kayaknya perusahaan kita masih fokus terpaku sama menuhin slot pekerja, karena tim kita juga masih kurang personil, karena kebanyakan masih bolong-bolong
Mungkin kalo misal dari tim nya udah mulai lengkap, nanti prinsip Palugada bisa bantu memperluas reach dan appeal BoxMe juga, aku sendiri sih berharap bakal mulai diterapkan, jadi meminimalisir kemungkinan terjadinya pengurangan lagi. Udah betah banget kerja disini soalnya hehehe.
Mungkin karena BoxMe itu sendiri startup Vietnam, mungkin mereka kurang aware akan budaya Palugada yang tren-nya sebatas di Indonesia. Kalo bisa dikomunikasikan dan diajarin, mungkin mereka juga malah bisa memperluas consumer basenya. Secara pribadi itu aja sih pandangan aku mengenai kultur Palugada.
Banyak startup yang masih mengembangkan sistem kerja sambil berjalan. Seperti contoh; banyak trial and error yang harus dilalui, sering terjadi rombak struktur organisasi, dan perubahan deskripsi pekerjaan yang berganti-ganti. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Pasti pernah… aku pertama masuk jadi customer service, dari awal hanya di train untuk kasih info ke customer yang sudah bikin deal pembelian. Tapi 5 bulan berjalan, tiba-tiba disuruh jualan. Jadi aku sendiri harus cari taktik persuasi buat bikin mereka mau beli dan pake segala jurus marketing.
Aku sempat komplain ke atasan, karena tiba-tiba mereka ambil keputusan kalau tidak sampai target jualan akan potong salary. Tapi untungnya atasan aku berpihak sama kita, dan akhirnya dia yang bantu bikin peraturan itu dihapus.
Itu salah satu contoh peraturan yang mereka asal main ubah sendiri secara tiba-tiba. sampai saat ini juga jobdesc ku sering gonta-ganti dan tambah, tapi Alhamdulillah masih bisa aku handle. Tapi ya sudah, setiap pekerjaan itu pasti ada plus minusnya, pelan pelan juga pasti tugas kita selesai satu per satu kan…