Bermain dan Mainan: Apa Bedanya? Dan Mana yang Lebih Baik untuk Anak?
Para orang tua kerap kali merasa khawatir dengan anak yang hobi bermain, merasa bahwa kegiatan tersebut tidak berguna, sehingga memutuskan untuk membelikan mainan yang edukatif bagi anak. Namun, bagaimana faktanya?
Teks: Hafiza Dina
Foto: Yogi Purnama/Unsplash
Anak-anak mana yang tidak suka dengan mainan? Rasanya, hampir semua anak menggemari mainan, dengan preferensi mainan yang berbeda. Menghadirkan mainan sebagai hadiah bagi para anak pun bukan satu hal yang asing; ia banyak dilakukan, baik di hari spesial seperti ulang tahun, atau pada perayaan tahunan seperti natal.
Kegemaran anak untuk bermain pun melahirkan kekhawatiran baru bagi para orang tua, yang justru mendorong terciptanya sebuah inovasi: mainan yang edukatif. Padahal, menurut Deirdre Brandner, seorang Psikolog Anak, mainan yang dihasilkan oleh perusahaan tertentu akan sama edukatifnya dengan barang-barang yang ada di rumah. Yang lebih penting dan berpengaruh terhadap proses ‘pembelajaran’ ini justru ragam mainan━atau medium bermain apa pun━dan keterlibatan orang tua.
Brandner menjelaskan, belum ada sumber valid yang menyatakan bahwa mainan-mainan tertentu, termasuk yang memiliki klaim “edukatif”, dapat membantu proses pembelajaran anak. Sebab, pada dasarnya, mainan hanya sebuah medium yang membantu anak untuk mengeksplorasi berbagai hal. Proses eksplorasi inilah yang melahirkan banyak pengalaman, yang juga menjadi pelajaran dan pegangan bagi sang anak.
Bermain pada dasarnya merupakan salah satu bentuk alami perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Oleh sebab itu, proses bermain seharusnya menyenangkan━menurut Brandner, jika tidak menyenangkan, itu namanya kerja━dan tidak dibatasi oleh terlalu banyak peraturan. Peraturan memang diperlukan, tetapi hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan keselamatan anak, dan interaksi yang positif dengan anak-anak lainnya. Dengan begitu, anak bisa mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, kontekstualisasi, pengambilan kesempatan, dan berdamai dengan kemenangan serta kekalahan; anak diberikan otonomi untuk ‘mengontrol’ luaran dari proses belajar ini.
Dr. Siobhan Kennedy-Costantini, seorang Pakar Perkembangan Anak yang mengelola Science Minded, pun menyampaikan hal yang serupa. Bermain adalah fondasi dari pembelajaran tingkat lanjut anak, termasuk sekolah. Bermain dan belajar bukanlah dua hal yang terpisah, tidak seperti anggapan bahwa belajar dapat menggantikan proses bermain, atau sebaliknya. Justru, keduanya berkaitan, dan nyatanya, permainan dapat berguna bagi segala jenis pembelajaran. Bahkan, permainan-permainan fisik yang sering disepelekan seperti trampolin, nyatanya berguna untuk melatih anak dalam mengontrol tubuhnya━yang lagi-lagi, berguna untuk kesiapan sang anak bersekolah.
Perilaku playful merupakan salah satu sifat dasar manusia, yang nyatanya, membantu mereka untuk berkembang dari masa ke masa. Kennedy-Costantini menekankan bahwa mendukung anak untuk bermain dapat membantu mereka memahami dunianya sendiri: mereka mencoba dan menyesuaikan teori, membangun koneksi, mengerti tentang relasi, dan mencari tahu bagaimana dunia bekerja.
Jayne Pavic, Pencetus toko mainan Monti and Me━toko yang bertujuan untuk mengubah pandangan orang dewasa tentang pentingnya bermain bagi anak, sepakat dengan menyatakan bahwa sangat tidak mungkin tidak ada proses belajar dalam suatu permainan. Terlepas dari usaha yang dimilikinya, Pavic pun menyetujui bahwa anak cenderung lebih bahagia jika bermain dengan mainan yang lebih sedikit. Apalagi, jika definisi permainan di kepala para orang dewasa diubah menjadi kegiatan sehari-hari dengan perlengkapan rumah umum juga merupakan salah satu bentuk permainan yang mendorong perkembangan anak, Pavic yakin mainan-mainan edukatif yang menjual satu aspek tertentu menjadi tidak relevan lagi.
Manfaat bermain, dan bukan spesifik mainan tertentu, dapat para orang tua pahami dengan dedikasi waktu dan perhatian pada kegiatan bermain anak. Sebab, menurut Brandner, ke depannya kehidupan anak akan dipenuhi oleh banyak kesempatan untuk belajar. Jadi, sangat tidak bijak untuk menghalangi kesenangan anak dalam bermain dengan berbagai batasan yang orang tua ciptakan.