Lusifer! Lusifer! dan Ritual Fanatisme Keagamaan
Sebuah ulasan untuk buku karya Venerdi Handoyo, yang dipersembahkan langsung oleh salah seorang anggota WBJ Bookclub di Discord server kami
Words by Whiteboard Journal
Teks: Alisya Fachriza
Tahun ini saya penasaran untuk mencicipi lebih banyak karya “segmented” yang diproduksi oleh penerbit indie. Jatuhlah pilihan saya pada karya kedua dari Venerdi Handoyo yaitu “Lusifer! Lusifer!”. Buku ini merupakan terbitan keenam dari penerbit Post Press.
“Setahu Ibu, iman, kerohanian, atau kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Bahkan tidak bisa diukur… dan tidak semestinya diukur.”
Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Endang Saifuddin pernah memaparkan bahwa agama secara terminologis merupakan sistem credo atau tata keimanan dan tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak diluar diri manusia, dan sistem ritus sebagai tata peribadatan manusia kepada sesuatu yang dianggap mutlak secara sistem norma. Dan yang kemudian mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.
Loyalitas dan keyakinan dalam beragama, di sisi lain, terkadang melahirkan dogma-dogma yang tidak dapat dipertanyakan kebenarannya, sekalipun bertentangan dengan akal dan logika. Beberapa individu merasa bahwa apapun yang berasal dari agama adalah mutlak dan harus diteruskan kepada orang lain untuk mencegah mereka dari jeratan setan atau jalan iblis. Apa yang tidak sesuai dengan keyakinan dan prinsip-prinsip agama dianggap tidak patut, dan segala sesuatu yang dilakukan tanpa izin Tuhan dianggap sia-sia dan tersesat.
…
Adalah Markus Yonatan, remaja tanggung yang sedang dilanda krisis eksistensial. Seperti jutaan remaja lainnya, Markus dipenuhi dengan ketegangan, stres, dan kebutuhan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungannya. Ia lahir dan besar ditengah keluarga yang tidak begitu harmonis. Sampai pada suatu hari, kakaknya, Martius, membawa secercah harapan dengan lahir baru. Pertobatan Martius menjadi mukjizat yang membawa angin perubahan dalam keluarga Markus, namun sekaligus menyisakan Markus dilema akan penyigian spiritual dirinya sendiri. Ditengah usahanya mengampu diri tentang momentum lahir baru nya, ia bertemu dengan perempuan sundal dan binal bernama Mawarsaron.
Terungkaplah bahwa Mawarsaron sedang hamil empat bulan dengan usianya yang masih menginjak 16 tahun. Orang-orang percaya bahwa Mawarsaron hamil anak Lusifer. Bahwa ia telah dihinggapi roh perzinahan dan kerasukan setan. Bahwa ia adalah perempuan najis, cabul, dan nista. Para Barisan Pendoa di Gereja menganggap roh jahat sudah bercokol sedemikian kuat dalam diri Mawarsaron sehingga satu-satunya cara untuk mencegah bayi Lusifer itu lahir adalah dengan melenyapkannya.
Sadar bahwa tidak ada institusi sosial yang dapat mempertanggungjawabkan dan mengontrol ego kemunafikan para Barisan Pendoa dan isme-isme destruktif lainnya yang dihasilkannya, Markus mengemban misinya sendiri. Ia bersama kakak Mawarsaron di Perth, sekuat tenaga menolong Mawarsaron dari jeratan cambuk orang-orang yang mabuk agama. Markus tahu betul bahwa Mawarsaron tidak hamil anak Lusifer. Markus tahu betul bahwa kebinalan Mawarsaron bukan dikarenakan oleh roh perzinahan ataupun ulah Legion atau Akatharton, tetapi ekperimen dirinya sebagai bagian dari momen aktualisasi diri dan hanya menggali atensi ditengah keluarga yang terlalu sibuk mengobati jiwa-jiwa yang sakit di Gereja, sehingga lupa pada hak dan kewajiban utamanya sebagai makhluk yang beranak-pinak. Karena ketika segala kesibukan dan glorifikasi atas nama Tuhan dan agama tersebut gagal memberikan rasa damai dan sejahtera, juga tidak menumbuhkan sukacita, maka Kerajaan Tuhan masih jauh dari kita.
Melalui kisah Markus dan Mawarsaron, kita disadarkan lagi bahwa kepedulian spiritual satu sama lain masih menjadi nilai moral atau acuan bagi masyarakat kita. Tidak ada lagi ruang sakral sebagai hak setiap individu untuk beragama dan berhubungan dengan Tuhannya sendiri. Dalam anotasi satir nya, Venerdi Handoyo membawa kita menilik bagaimana di dalam agama minoritas pun kerap kali ada pemaksaan dan pengajaran belas kasihan dan ketaatan sebelum rasionalitas. Juga ortodoksi keagamaan, dan penafsiran agama masing-masing yang masih menjadi momok yang menakutkan, digunakan sebagai dalih untuk merugikan orang lain dengan bergantung pada keputusan hitam putih tentang apakah seseorang itu suci atau berlumur dosa.
Banyak diantara kita yang masih menggunakan agama seolah-olah sebagai “tiket” menuju surga, dengan praktik-praktik parsial keagamaan hanya menjadi checklist yang harus dilengkapi untuk memenuhi syarat untuk masuk surga, tanpa memahami dan mengimplementasikan substansinya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Identitas agama sering digunakan untuk “membedakan”, daripada mengidentifikasi landasan bersama yang menyatukan semua pihak.
Lagi-lagi, buku ini menyadarkan sekaligus menampar saya dan pembaca lainnya bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. Setiap orang berhak dilihat dalam keutuhannya sebagai manusia biasa — kadang berbuat kebajikan, kadang berbuat hina. Dalam beragama, semestinya tidak ada yang secara eksklusif merasa dirinya lebih baik atau lebih buruk dari orang lain. Kita semua sama. Kita semua adalah pendosa. Dan yang pantas menilai hanyalah Tuhan semata.