Berbincang Dengan Psikolog tentang Mekanisme Coping Stres Di Saat Pandemi
Kami berbincang dengan para psikolog mengenai bagaimana kondisi stres bisa muncul, menyikapi ketidakpastian karena pandemic fatigue, hingga cara memberikan ketenangan bagi yang ditinggal oleh orang tersayang.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Hanindito Buwono
Gelombang kedua pandemi COVID-19 menyapa Indonesia dengan dampak yang tidak main-main. Varian terbaru yang lebih ganas ini sudah merebak di masyarakat, mengakibatkan pemerintah melakukan penginjakan rem darurat terhadap seluruh aktivitas di luar melalui PPKM Darurat. Seperti kembali ke kondisi awal pandemi, masyarakat dihadapi keharusan untuk berkegiatan di rumah saja, dengan dibayangi oleh ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi ini serta banyaknya berita duka yang berdatangan bisa memicu kondisi stres pada setiap individu. Karena itu, kami berbincang dengan para psikolog mengenai bagaimana kondisi stres bisa muncul di situasi ini, mengetahui cara untuk pulih dari pandemic fatigue, hingga upaya memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Anak-Remaja di Pulih at the Peak, Pyscoach Human Integra dan Enlightmind
Sudah setahun lebih sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bagaimana Anda melihat perbandingan situasi pandemi awal dengan sekarang?
Di awal masa pandemi banyak yang shock dan membutuhkan waktu untuk adaptasi. Sekarang ini, masih banyak yang gak pasti tapi kita sudah punya banyak pengetahuan. Dan sebagian memang sudah ada yang beradaptasi dengan kebiasaan baru dalam kehidupan.
Namun perlu disadari kondisi mental health dan support sistem setiap orang berbeda. Pada yang memiliki kerentanan kesehatan mental, seperti simptom gangguan kesehatan mental dan kondisi disabilitas, serta mereka yang memiliki keluarga atau lingkungan sosial yang berkekerasan atau toxic tentu akan lebih sulit dan mungkin mengalami dampak yang lebih mendalam dibanding mereka yang lebih stabil kondisinya.
Jadi, jika dampak psikologis akibat pandemi tidak dikelola dengan baik dan misal sejak awal pandemi belum menemukan cara-cara yang membantu menstabilkan kondisi, bisa saja dampak ini berkembang menjadi simptom gangguan kesehatan mental yang lebih serius.
Pandemi ini tidak hanya berdampak ke kondisi kesehatan fisik seseorang, namun juga ke kondisi kesehatan mental. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Ketika ada kondisi yang mengguncang, tidak pasti, dan mengancam diri kita, maka secara otomatis otak kita mengaktifkan fungsi survival, yang akan mengaktifkan sistem tubuh tertentu. Dan jika dialami terus menerus tanpa pengelolaan yang tepat, alarm survival seakan terus menggaung dan memicu timbulnya beragam respon psikologis seperti beragam emosi yang intens, reaksi flight/fight/freeze, serta reaksi tubuh lainnya.
Salah satu dampak karena pandemi ini pada kesehatan mental yaitu munculnya pandemic fatigue. Bagaimana cara untuk pulih dari situ?
Tips mengelola kesehatan mental saat pandemi yang berkepanjangan:
– Refleksikan dan sadari apa yang paling mengganggu untuk kita.
– Sadari usaha apa yang selama ini dilakukan untuk membantu kita lebih optimal.
– Tetap jaga koneksi dengan orang-orang yang membuat kita merasa nyaman.
– Pastikan adanya rutinitas baik sehari-hari yang membuat kita seimbang. Misalnya memiliki pola tidur dan makan yang sehat, memiliki kebiasaan melakukan hobi yang enjoyable, melakukan latihan-latihan mindfulness, memiliki kesempatan melatih gerak badan dan sebagainya.
– Jika kondisi psikologis dirasa kurang optimal dan bahkan sudah mengganggu fungsi sehari-hari, jangan ragu untuk meraih bantuan profesional seperti ke tenaga kesehatan mental.
Kini berita buruk hadir di mana-mana, bagaimana kita bisa menemukan ketenangan di situasi yang seperti ini?
Untuk mengelola berita buruk tipsnya:
– Tentukan batasan jumlah dan saluran (akses) yang mampu kita terima dalam satu waktu.
– Tetapkan prioritas akses saluran mana kita update berita dan merespon. Misal yang utama adalah membaca dan merespon dari WA grup keluarga dan temen deket. Sisanya sesuai kapasitas dan kesediaan kita merespon, tidak perlu merasa harus merespon semua. Terutama jika kita sudah punya fokus masalah pada kelompok prioritas kita.
– Selingi akses internet /gadget dengan kegiatan lain yang kita sukai. Biasakan ada jeda antar berita yang kita terima.
– Bacalah berita mengenai pandemi dari sumber yang dipercaya, tips mengelolanya :
1. Baca berita dan fakta pandemi sebagai cara untuk menjadi realistis menyadari situasi saat ini.
2. Cerna berita tersebut menggunakan cara berpikir kritis, jika perlu mengecek kebenaran informasi kepada sumber-sumber yang bisa dipercaya dan berdiskusi dengan pihak yang mendukung pemikiran logis.
3. Jika sudah memahami, bisa membuat planning untuk keselamatan diri dan keluarga.
Berita kematian semakin sering terdengar, bagaimana kita bisa memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan?
Kedukaan adalah respon yang manusiawi saat kita kehilangan orang yang bermakna untuk kita. Maka ketika kita memiliki kerabat yang sedang berduka, coba sampaikan rasa empati kita dengan mengucapkan turut berdukacita misalnya. Dan berikan kesempatan ia untuk mengungkapkan rasa dukanya, misalnya bisa tanyakan bagaimana kabarnya. Atau jika kita siap mendengarkan, sampaikan bahwa kita bersedia mendengarkan jika ia perlu sharing /bercerita mengenai perasaan dan pemikirannya setelah yang bersangkutan meninggal. Hindari sikap/ komentar yang menyudutkan dan mengecilkan perasan berdukanya. Misalnya, “Ya udah jangan disesali atau jangan menangis terus dong atau emang udah takdir jangan bersedih terus,” dan yang lainnya. Usahakan untuk memberikan kesempatan nya mengungkapkan rasa berdukanya. Karena proses berduka itu khas di masing-masing orang dan juga sering kali kompleks dan membutuhkan waktu untuk memprosesnya.
Dra. A. Kasandra Putranto
Psikolog Klinis-Forensik, Pendiri Biro Psikologi Kasandra & Associates
Sudah setahun lebih sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bagaimana Anda melihat perbandingan situasi pandemi awal dengan sekarang?
Situasi saat ini lebih parah dibandingkan awal karena tidak belajar dari pengalaman masa lalu untuk melaksanakan tiga hal:
– Memutus rantai penyebaran virus.
– Memastikan rantai kehidupan manusia tidak terputus.
– Menjaga diri dan keluarga dari hoax dan berita bohong.
Pandemi ini tidak hanya berdampak ke kondisi kesehatan fisik seseorang, namun juga ke kondisi kesehatan mental. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Karena pada dasarnya untuk bisa memiliki daya tahan/imunitas tubuh, seseorang harus memiliki kesehatan fisik dan mental, terutama karena imunitas terkait dengan kondisi psikologis seseorang. Mereka yang memiliki kerentanan fisik, mental, sosial rendah berpotensi memiliki imunitas lebih rendah, antara lain kondisi cemas atau dan tertekan dapat memicu penurunan imunitas.
Salah satu dampak karena pandemi ini pada kesehatan mental yaitu munculnya pandemic fatigue. Bagaimana cara untuk pulih dari situ?
Pandemic fatigue terjadi karena daya tahan fisik dan mental terbatas. Strategi mengatasi adalah dengan meningkatkan daya tahan fisik dan mental dengan teknik-teknik psikologis seperti mindfulness, cognitive behavior dan behavior activation, hypnotherapy, serta lain-lain.
Kini berita buruk hadir di mana-mana, bagaimana kita bisa menemukan ketenangan di situasi yang seperti ini?
Ada berbagai teknik menjaga pikiran dan suasana hati:
– Membatasi informasi dan interaksi dengan menghindari sumber-sumber emosi.
– Menyibukkan diri dengan kegiatan aktif, kreatif, dan produktif.
– Menekuni hobi.
– Melakukan relaksasi, stabilisasi emosi dan konsentrasi.
Dari aspek neurologis, kondisi fisik dan mental terbukti saling mempengaruhi. Pikiran negatif akan memicu kecemasan dan ketakutan yang akan berkembang menjadi tekanan / stress. Rasa cemas dan takut akan membebani pikiran, sehingga kita akan lebih mudah dimanipulasi dan percaya berita bohong. Apalagi manusia sebagai makhluk sosial, ketika berada dalam kondisi takut dan terancam, justru memicu hasrat untuk bertemu dan berdekatan dengan orang-orang yang disayangi. Ini yang mungkin kemarin membuat orang-orang tidak bisa mematuhi anjuran untuk tidak mudik dan tidak bepergian. Respon tubuh dan otak kita saat menerima berita buruk, akan tergantung kepada stamina fisik dan mental kita, yang ditandai dengan:
– Kapasitas kesehatan dan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.
– Kematangan dan stabilitas emosi.
– Kondisi psikologis yang sangat menentukan keterampilan mengelola informasi yang diterima untuk bisa menata hati dan menentukan sikap yang tepat.
Sebagai contoh, saat menerima berita positif COVID atau berita duka, seseorang bisa secara spontan menyebarkan berita bahwa yang bersangkutan terkena azab yang akan membawa hal yang sama bagi keluarga. Apalagi jika pesan tersebut ditulis di media sosial, bayangkan berapa orang yang akan membaca, menyimpan dalam memori dan mengolahnya secara negatif. Di Jepang dan banyak negara lain, bencana tidak dieksploitasi, bahkan dilarang untuk dieksploitasi. Kita juga harus melakukan hal yang sama. Karena ada sebagian dari kita yang mungkin memiliki kondisi fisik, mental, dan sosial yang rentan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga diri dan keluarga dari potensi resiko tersebut. Puasa media sosial bisa menjadi solusi, jika kita tidak bisa menyaring informasi yang deras isinya negatif.
Berita kematian semakin sering terdengar, bagaimana kita bisa memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan?
Batasi informasi duka pada anggota keluarga yang sedang dalam tahap perawatan dan isoman. Serta, melaksanakan puasa media sosial juga akan lebih baik.
Cantyo A. Dannisworo, M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Dewasa, Dosen Studi Klinis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Sudah setahun lebih sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bagaimana Anda melihat perbandingan situasi pandemi awal dengan sekarang?
Saat ini kondisi di Indonesia mungkin dapat dikatakan sebagai titik terburuk sepanjang pandemic COVID-19 melanda. Masalahnya, kita pun tidak pernah tahu sampai kapan ini terjadi dan bagaimana kondisi yang akan terjadi di masa depan. Kondisi ini tentunya memberikan dampak psikologis yang sangat besar dan semakin berat kepada masyarakat. Saat ini kabar duka yang didengar sudah berada di 1-2 layer lingkaran sosial kita. Kabar duka juga semakin sering didengar, bahkan mungkin dalam satu hari ada beberapa kabar duka. Tekanan psikologis/stress ini berdampak banyak kepada bagaimana kita berperilaku. Banyak yang menjadi tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja, mood yang cenderung depresif, khawatir dengan berbagai hal, merasa tidak aman, kedukaan, atau bahkan sering muncul pula ekspresi kemarahan yang disalurkan secara tidak tepat. Studi yang dilakukan oleh Laboratorium Cognitive, Affect, and Well-Being, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terkait dengan kondisi masyarakat Indonesia pada bulan Mei-Juni 2021 menunjukan bahwa saat ini, sebagian besar masyarakat memiliki resiliensi yang rendah dalam menghadapi masalah. Resiliensi adalah “daya lenting” atau dorongan untuk “bangkit kembali” ketika dihadapkan dengan masalah. Padahal sebenarnya, resiliensi sangat penting untuk kita miliki, apalagi dalam situasi pandemik global seperti saat ini.
Pandemi ini tidak hanya berdampak ke kondisi kesehatan fisik seseorang, namun juga ke kondisi kesehatan mental. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Situasi yang saat ini sedang kita hadapi adalah kondisi penuh ketidakpastian. Ketidakpastian ini mempengaruhi berbagai rencana hidup yang telah kita susun. Berikutnya, minimnya interaksi sosial juga berpengaruh besar terhadap kondisi kesehatan mental kita. Dalam masa pandemic seperti saat ini, interaksi sosial kita menjadi sangat terbatas. Kita kebanyakan hanya berinteraksi dengan orang yang berada di satu rumah dengan kita. Van Lange dan Columbus (2021) mengatakan bahwa hal yang kita butuhkan pada saat ini adalah Vitamin S: Social Contact. Penelitian tersebut menunjukan bahwa manusia sangat membutuhkan interaksi sosial pada saat pandemic melanda, bahkan interaksi dengan orang yang tidak kita kenal (strangers) dapat membantu meningkatkan kesejahteraan diri kita.
Selain itu, bagi individu yang sudah berkeluarga, ia harus melakukan pekerjaan di rumah sembari mengurus urusan domestik lainnya. Hal ini yang menjadi sumber stress pula. Orangtua dapat mengalami double atau triple burden saat pandemi, yaitu bekerja, mengurus rumah, dan menemani anak belajar atau bermain. Sedangkan orangtua sendiri akhirnya jarang memiliki untuk dirinya sendiri. Meski begitu, beberapa orang merasa sangat stress, beberapa lainnya merasa baik-baik saja (atau tingkat stresnya tidak setinggi orang lainnya). Hal ini dapat dipengaruhi dari bagaimana orang tersebut menginterpretasi kejadian yang dialaminya (subjective appraisal). Misalnya bagi sebagian orang, pandemi ini dinilai sebagai suatu yang sangat mengancam, maka ia akan mengalami stress yang cukup tinggi. Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, pandemi dinilai dapat meningkatkan kualitas interaksinya dengan pasangan dan anak, sehingga ia akan menjadi lebih less stress.
Salah satu dampak karena pandemi ini pada kesehatan mental yaitu munculnya pandemic fatigue. Bagaimana cara untuk pulih dari situ?
Saat ini, kondisi di Indonesia masih dalam keadaan yang relatif darurat. Sehingga yang menjadi tujuan utama memang adalah untuk bertahan hidup (survival). Kondisi ini sangat wajar jika membuat kita menjadi kelelahan. Sehingga saat ini mungkin yang lebih penting adalah bukan untuk langsung pulih dari kelelahan ini, tapi untuk memastikan bahwa kita memiliki energi untuk menghadapi situasi ini selama beberapa waktu ke depan. Hal yang harus diperhatikan adalah untuk menjaga kesehatan mental diri kita sendiri. Kita harus memiliki strategi atau cara untuk mengelola stress yang kita miliki (coping stress). Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda, misalnya saja berolahraga, menonton film, membaca buku, mengurus tanaman, dan lain-lain. Pastikan kita memiliki waktu untuk diri kita sendiri (me-time) tanpa adanya gangguan lain yang bisa menyebabkan kita stress kembali. Jika memiliki anak, kita bisa membuat jadwal bersama pasangan untuk mengatur me-time ini. Pastikan juga pekerjaan tidak mengganggu waktu me-time kita. Kadang kala memang sulit untuk mencari waktu untuk ini, tetapi kita harus berusaha mengalokasikan waktu untuk menjaga diri kita.
Cara berikutnya adalah dengan tidak menuntut diri kita sama atau bahkan lebih dari situasi non pandemi. Kadang kita merasa tertekan karena melihat teman-teman lain mengikuti berbagai seminar/kursus selama pandemi, dan kita tidak melakukan apa-apa. Atau kita merasa bersalah karena tidak dapat bekerja se-produktif sebelumnya. Hal ini merupakan hal yang sangat wajar, karena apa yang diri kita sedang prioritaskan saat ini adalah untuk bertahan hidup. Tidak ada yang dapat memaksa diri kita untuk harus berkembang selama masa pandemi ini. Jangan samakan diri kita dengan orang lain, karena setiap orang memiliki resource dan kondisi yang berbeda di dalam hidupnya.
Selain itu, pastikan kita memiliki dukungan sosial yang kuat. Usahakan pula untuk dapat memiliki atau membangun hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Hal ini mungkin akan sulit dilakukan saat tidak bertemu secara fisik. Namun kita dapat berefleksi, siapa saja orang yang dapat memberikan kita dukungan (social support) yang positif, misalnya keluarga, sahabat, atau bahkan rekan kerja. Kita bisa mengontak mereka untuk menjaga relasi sosial kita.
Kini berita buruk hadir di mana-mana, bagaimana kita bisa menemukan ketenangan di situasi yang seperti ini?
Hal yang sering kita lupa atau tidak sadari adalah sebuah pepatah lama, “The only certainty is uncertainty” — Satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Jika kita memaknai pepatah ini dengan baik, kita tidak perlu untuk menaruh harapan terlalu tinggi dan mengeluarkan banyak energi untuk memprediksi apa yang terjadi di masa depan. Kita juga dapat memfokuskan pikiran kita pada hal-hal yang bisa kita kontrol. Misalnya: kita bisa mengontrol perilaku kita, yaitu dengan meminimalisir exposure terhadap berita-berita negatif, menjaga kesehatan diri dengan berolahraga. Kita tidak bisa mengontrol sampai kapan pandemi ini akan berlangsung, apa yang orang lain lakukan, dan apa kebijakan pemerintah berikutnya.
Menggerakan tubuh dengan berolahraga juga menjadi salah satu cara yang baik untuk menjaga kesehatan mental kita dan mendapatkan ketenangan. Olahraga dapat membantu tubuh kita merilis hormone endorphin yang berfungsi untuk meningkatkan mood dan menurunkan hormone stress (adrenaline dan cortisol). Selanjutnya, kita juga dapat berusaha untuk menjaga kontak sosial kita secara konsisten. Kita bisa mulai mengontak sahabat-sahabat yang mungkin sudah lama tidak berinteraksi.
Berita kematian semakin sering terdengar, bagaimana kita bisa memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan?
Hal utama yang bisa kita lakukan adalah mencoba untuk memahami proses kedukaan orang tersebut. Bayangkan apa yang akan kita rasakan ketika berada di dalam situasinya. Kita dapat menawarkan bantuan sesuai dengan yang kita mampu. Kita juga bisa memastikan bahwa kita dapat dikontak (accessible) jika orang tersebut membutuhkan sesuatu. Misalnya dengan mengatakan, “Jika kamu ingin bicara atau cerita, kasih tau saja ya, aku siap untuk mendengarkan.” Pastikan kita tidak memaksa (pola pikir, ritual, perilaku, atau apapun) apa yang kita anggap benar, karena proses berduka seseorang mungkin berbeda dengan orang lainnya.
Dra. Roslina Verauli, M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Anak, Remaja, dan Keluarga di RS Pondok Indah Jakarta Selatan
Sudah setahun lebih sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bagaimana Anda melihat perbandingan situasi pandemi awal dengan sekarang?
Terkait perbandingan yang dimaksud, we have no data. Jadi, penting untuk mendorong peneliti para akademisi untuk melakukan penelitian agar mampu menjawab pertanyaan yang dimaksud. Sekarang bukan jaman beropini, kasihan masyarakat yang menerima banyak info berseliweran namun bukan informasi yang valid dan ilmiah berbasis data.
Pandemi ini tidak hanya berdampak ke kondisi kesehatan fisik seseorang, namun juga ke kondisi kesehatan mental. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Kita belum punya data tentang seperti apa dampak pandemi atas kesehatan mental orang Indonesia pada umumnya. Coba di ubek lagi, apakah Departemen Kependudukan atau Departemen Kesehatan sudah melakukan riset, atas kondisi kesehatan mental secara umum sebelum pandemi vs. selama pandemi.
Saya dan tiga rekan melakukan penelitian di bulan Mei 2020 atas 519 keluarga di sejumlah wilayah Indonesia terkait stres pada anak usia prasekolah, anak usia sekolah, dan remaja yang dikaitkan dengan resiliensi keluarga. Hasilnya, meski orang tua menyadari anak mengalami stres namun tingkat stres masih dapat diatasi terkait resiliensi keluarga yang tergolong tinggi. Terutama pada aspek religiusitas.
Salah satu dampak karena pandemi ini pada kesehatan mental yaitu munculnya pandemic fatigue. Bagaimana cara untuk pulih dari situ?
Pada dasarnya pandemi mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia. Perubahan merupakan salah satu stressor yang dapat menimbulkan stres pada individu. Secara alamiah, manusia dapat mengatasi stres dengan melakukan berbagai strategi coping.
Stres menjadi masalah saat terjadi berkepanjangan. Individu akan exhausted sehingga mengalami break down berupa burn out. Terutama saat individu bekerja dalam isolasi. Kelelahan inilah yang dimaksudkan sebagai pandemic fatigue.
Respon individu atas pandemic fatigue tentu beragam:
– Secara fisiologis, individu merasakan kelelahan dan ketegangan otot yang berkepanjangan.
– Secara biologis, fungsi imun tubuh menurun, begitupun dengan berbagai fungsi kognitif. Sehingga sukar berkonsentrasi dan berpikir secara kreatif termasuk terhambat dalam memecahkan masalah.
– Secara emosional, individu bereaksi lebih sinis, apatis, mudah marah, takut, bahkan sedih yang berkepanjangan.
Agar segera pulih, memelihara keseimbangan hidup sangatlah penting untuk dijaga. Terutama dengan melakukan berbagai upaya self-care, antara lain:
– Secara fisik pastikan cukup tidur, sekitar 8-9 jam, makan bergizi, dan melakukan latihan setidaknya 30 menit setiap hari.
– Secara mental, penuhi kebutuhan emosional, misalnya dengan membuat jurnal atau catatan emosional.
– Tingkatkan aspek religi di kehidupan dengan memperbanyak ibadah. Termasuk aspek spiritual, seperti melakukan meditasi dan sejenisnya.
Tak kalah penting, membina relasi positif dan mendalam dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga di rumah. Bila masih menampilkan gejala stres berkepanjangan atau kronis, segera konsultasi pada psikolog terdekat yang menawarkan pelayanan kesehatan mental melalui telekonseling.
Kini berita buruk hadir di mana-mana, bagaimana kita bisa menemukan ketenangan di situasi yang seperti ini?
Kesadaran untuk mampu memilah informasi yang dibutuhkan vs. tidak itu sangat penting agar terhindar dari kecemasan yang tidak perlu. Latihan menghayati bahwa perubahan di era pandemi adalah hal yang baik. Terutama untuk slowing down sehingga memiliki kesempatan untuk memahami career path milik pribadi, memahami peluang di masa depan, fokus pada pengembangan potensi diri, bersiap menuju diri dalam versi yang lebih baik.
Berita kematian semakin sering terdengar, bagaimana kita bisa memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan?
Adakalanya memiliki attitude “just be there” dalam membantu memberikan dukungan pada mereka yang tengah berduka atas kehilangan itu lebih dari cukup. Hadir, dalam pengertian, mendengarkan keluhan dan curhatan mereka yang berduka meski hanya via komunikasi online, memberikan dukungan mental agar mereka dapat melalui hari-harinya dengan lebih baik. Agar tak merasa sendiri menghadapi berbagai periode atau fase dalam duka cita.
Tara de Thouars, BA, M.Psi
Psikolog Klinis di RSJ Sanatorium Dharmawangsa
Sudah setahun lebih sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bagaimana Anda melihat perbandingan situasi pandemi awal dengan sekarang?
Waktu di awal pandemi itu orang lagi banyak mengalami shock atau kaget dengan kejadian pandemi ini dan berusaha untuk adaptasi. Sebetulnya proses adaptasi ini masih berjalan ya, mengingat WFH/WFO terus menerus bergantian. Jadi terus menerus harus mengalami perubahan baru, sehingga banyak orang yang belum bisa beradaptasi dengan kondisinya. Tapi mungkin yang membedakan dari awal pandemi adalah sekarang itu orang-orang kebanyakan sudah merasa lelah, jenuh, serta sudah capek dengan kondisi yang tidak segera berubah. Akhirnya banyak orang jadi mulai acuh atau abai dengan protokolnya, karena sudah kelelahan mengalami ini terus menerus.
Hingga akhirnya di kala sudah mulai abai, artinya rasa terancamnya sudah mulai sedikit turun karena sudah mulai membiasakan diri dengan situasinya, ternyata kasus COVID meningkat lagi, sehingga membuat shock dan jadi kembali muncul lagi saat ini. Belum lagi ditambah dengan banyaknya berita duka, jadi situasinya akhirnya bisa dibilang kembali lagi seperti awal.
Pandemi ini tidak hanya berdampak ke kondisi kesehatan fisik seseorang, namun juga ke kondisi kesehatan mental. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Ada beberapa hal yang terjadi di masa pandemi ini yang amat sangat mempengaruhi kesehatan mental. Yang pertama di masa ini kita mengalami banyak banget kehilangan. Kehilangan orang terdekat, kebebasan, koneksi sosial, mungkin pemasukan, pekerjaan, dan apapun yang berhubungan dengan kehilangan itu pasti akan berdampak pada kesehatan mental. Yang kedua situasi yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan. Jadi apapun ketika kita harus merubah kebiasaan, melakukan sesuatu diluar comfort zone kita tentu itu akan mempengaruhi kesehatan mental. Kemudian pandemi ini juga situasi yang penuh dengan keterancaman. Terancam untuk kena virus, kehilangan pekerjaan, keluarga yang disayangi kena virus, kestabilan finansialnya, serta segala macam. Dan apapun dengan keterancaman ini amat sangat bisa membuat kita itu jadi cemas, paranoid, dan of course mempengaruhi kesehatan mental.
Salah satu dampak karena pandemi ini pada kesehatan mental yaitu munculnya pandemic fatigue. Bagaimana cara untuk pulih dari situ?
Fatigue itu terjadi ketika kita sudah amat sangat lelah dengan kondisinya dan kita sudah mengalami kesulitan untuk bisa menyesuaikan dengan situasinya. Pandemic fatigue ini kembali ke penjelasan saya di nomor 1, kalau sekarang ini yang membedakan dengan pandemi di awal yaitu kalau sekarang kita sudah mulai lelah atau capek. Kalau dulu masih ada harapan, “Oh mungkin enam bulan selesai, mungkin 8 bulan selesai, mungkin 1 tahun selesai,” tapi ternyata gak ada ujungnya. Dan ini amat sangat bisa menimbulkan kelelahan. Sebetulnya cara-cara yang bisa dilakukan adalah, tetap harus mencari kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang paling tidak bisa menyemangati atau menyenangkan di masa pandemi ini. Hal-hal baru seperti tantangan-tantangan baru yang kecil-kecil saja, misalnya yang biasanya gak pernah olahraga pagi, coba untuk olahraga pagi. Yang biasanya hobinya selalu itu-itu saja, sekarang coba untuk melakukan hobi baru. Jadi ada sesuatu hal yang memotivasi atau bisa menyemangati diri. Kemudian yang bisa dilakukan lagi adalah mencoba untuk melihat pada segala usaha-usaha baik yang sudah dilakukan. Karena sering kali, yang bisa membuat kita lelah atau fatigue ketika kita merasa sudah berusaha tapi kok keadaannya begini-begini saja, sehingga jadinya mengalami kelelahan. Yang bisa dilakukan adalah coba untuk benar-benar apresiasi, mencoba untuk berterima kasih atas segala kebaikan dan usaha yang sudah dilakukan dalam menghadapi situasi pandemi ini. Sesimpel misalnya ‘ngeh-in’ bahwa saya sudah jaga kesehatan, melindungi keluarga saya, makan sehat, dan olahraga. Hal-hal kecil seperti ini adalah bentuk apresiasi diri kita sendiri, sehingga mood kita tetap terjaga.
Kini berita buruk hadir di mana-mana, bagaimana kita bisa menemukan ketenangan di situasi yang seperti ini?
Yang sebetulnya bisa kita lakukan adalah mencoba untuk mengusahakan dan mengendalikan hal yang memang bisa kita kendalikan, serta melepaskan hal yang diluar kendali kita. Karena kalau segala hal kita coba untuk raih dan kita kendalikan, yang ada kita akan mengalami kelelahan. Apa yang kita pikirkan, emosi kita, dan perasaan kita itu sesuatu yang bisa kita kendalikan, maka fokusnya kesitu. Termasuk kalau kita menghadapi virus corona, yang bisa kita lakukan adalah menjaga kesehatan kita sebaik mungkin. Sisanya di luar itu berarti perlu kita lepaskan, karena gak sepenuhnya ada di dalam kendali kita. Mau seberapapun kita mencoba atau berharap pandemi cepat selesai, tapi tuh gak sepenuhnya dalam kuasa kita juga. Jadi benar-benar fokus pada hal-hal yang memang bisa dikendalikan. Yang kedua yang bisa dilakukan adalah sebisa mungkin kurangi asupan, bacaan, atau tontonan yang bisa memancing perasaan takut, cemas, serta resah tentang situasi pandemi ini. Kalau dirasa berita-berita ini sudah terlalu too much, kita juga gak tau yang mana yang hoaks mana yang gak, coba sebisa mungkin untuk kurangi. Jadi boleh mulai atur main gadget-nya, atau misalnya di cek Whatsapp group kalau yang dirasa ada Whatsapp group yang jatuhnya jadinya bikin gak nyaman, boleh ditinggalkan dulu. Ada waktu-waktu tertentu untuk bermain sosial media, supaya bisa menjaga ketenangan.
Berita kematian semakin sering terdengar, bagaimana kita bisa memberikan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan?
Sebetulnya proses berduka atau grieving itu perlu dialami oleh orang yang mengalami grieving-nya. Yang bisa kita lakukan adalah sekedar menemani, mengatakan bahwa kita akan selalu hadir buat mereka kapanpun mereka membutuhkan, kapanpun mereka bisa meluapkan emosi, atau bahkan sama-sama berdoa bersama. Dan yang paling penting untuk tidak menambahkan luka, duka, serta perasaan bersalah dari orang yang ditinggalkan. Misalnya, banyak terjadi di saat ketika kita bertemu dengan orang yang sedang berduka terus bilangnya, “Kamu harus kuat ya, ini kan buat anak kamu dan orang tua kamu,” kata-kata seperti ini justru akan membuat mereka yang sedang berduka menjadi susah untuk melalui proses grieving-nya. Jadi yang bisa lakukan adalah kita ada di samping mereka, menerima mereka apa adanya di segala emosi dan pikirannya kita dukung mereka semampunya, serta menjadi suporter baik selama mereka melewati proses grieving-nya.