Extinction Rebellion: Pembangkangan Sipil Untuk Iklim dan Ekologi
Pada submisi open column kali ini, Syahrul Ramadhan membahas mengenai gerakan lingkungan bernama Extinction Rebellion (XR) yang melampaui sistem representasi politik formal.
Words by Whiteboard Journal
Seperti yang kita rasakan hari-hari ini, kondisi iklim kerap kali terjadi secara tidak menentu bahkan cederung ekstrem; mulai dari kekeringan, mencairnya es di kutub utara dan selatan, hingga punahnya berbagai flora dan fauna yang berada di dunia.
Mengingat laporan khusus dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 lalu, secara umum aktivitas manusia pada tahun 2017 telah menyumbangkan pemanasan global mencapai rata-rata 1°C dan diprediksi akan meningkat sebesar 0,2°C per dekade. Sejalan dengan hal tersebut, instansi pengamat iklim dari Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (CCCS) bahkan menyatakan pada bulan januari 2020 lalu menjadi bulan terpanas dalam sejarah dunia.
Tentu apa yang terjadi pada kondisi iklim dan ekologi kita hari-hari ini bukanlah suatu yang hadir begitu saja, akan tetapi merupakan sebuah sebab dari berbagai aktivitas kehidupan manusia sebelumnya.
Dalam merespons tersebut, hadir gerakan sosial yang diinisiasi oleh warga sipil di Eropa yang bernama Extiction Rebellion yang dikenal dengan singkatan XR. XR merupakan kelomok kampanye lingkungan yang memiliki logo jam pasir di tengah lingkaran, memiliki arti untuk mewakili waktu yang telah habis bagi spesies maupun kehidupan di bumi.
Dibuat dan diluncurkan pada tahun 2018 di Eropa, XR langsung mengambil tindakan di berbagai negara dengan tujuan ‘memaksa’ pemerintah untuk segera mendeklarasikan darurat iklim dan ekologi sekaligus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon secara ambisius. Berbagai langkah yang dilakukan oleh XR selalu menggambarkan diri sebagai gerakan aktivis pembangkangan sipil tanpa kekerasan berskala internasional, mengapa hal tersebut dilakukan?
Anti-Representasi sebagai Sebuah Representasi
Jika merujuk secara substantif apa yang XR lakukan dalam gerakannya, dilansir dalam website resminya, terdapat berbagai langkah taktis yang dilakukan pada gerakannya; tell the truth, act now, dan go beyond politics.
Suatu sorotan penting dalam hal tersebut adalah pada strategi gerak yang terakhir, go beyond politics. Dimana hal tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk membuat citizen assembly; dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai majelis masyarakat yang melampaui batas-batas politik representatif formal untuk memutuskan kebijakan terkait krisis iklim dan ekologi.
Sehingga dari hal tersebut dapat terlihat bahwa strategi gerak ataupun langkah taktis gerakan dari XR ini sejalan dengan apa yang dalam kajian-kajian sistem perwakilan politik sebutkan sebagai sebuah bentuk representasi non-formal (Hamilton, 2012).
Jika merujuk pada konsep representasi, selalu terkait dengan isu utama yang melekat bersamanya, yakni keterkaitan antara wakil dengan yang diwakili. Sehingga dengan demikian, representasi politik pada dasarnya berusaha menerangkan kepentingan dari subjek yang diwakilkan agar dapat dihadirkan pada berbagai proses politik oleh yang mewakilkan. Sehingga dengan demikian, representasi kerap kali berkaitan erat dengan kehadiran maupun ketidakhadiran (Pitkin, 1967).
Dari situ terlihat, bahwa jika berbicara mengenai representasi maka ada dua entitas penting; yang diwakili dan yang mewakili. Hal tersebut secara lebih detail menjelaskan bahwa tugas dari wakil adalah untuk menghadirkan kepentingan yang diwakilkan. Jika dalam konteks bernegara, yang diwakilkan artinya adalah konstituen (Ekawati, 2016).
Namun apa yang telah dipaparkan sebelumnya tergolong dalam sebuah representasi politik yang memfokuskan dirinya pada tataran konseptual semata. Pada praktiknya, seharusnya representasi politik ini patut dilihat konteksnya dengan aspek lain, seperti demokrasi, pemilu, aktor, partai, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan unsur kewarganegaraan (Darmawan, 2017).
Akan tetapi, hal tersebut pun masih terasa hubungannya antara representasi dengan negara; dimana pemilu, partai politik, relasi aktor, keterwakilan dalam parlemen, merupakan faktor-faktor yang patut untuk diperhitungkan. Padahal, apa yang dilakukan oleh XR justru ingin melampaui itu, melampaui batas-batas politik elektoral dan membuat majelis masyarakat untuk penanganan krisis iklim dan ekologis.
Disisi lain, justru datang sikap kritis pada konsep representasi politik dan menekankan pada tataran yang lebih praktis lagi. Seperti yang Bishin (2009) ungkapkan bahwa segala pemahaman mengenai representasi politik yang ada, hanya berfokus pada mayoritarianisme semata, dan mengabaikan perhatian pada minoritas.
Pada titik yang lebih radikal, kritik terhadap pemahaman representasi ini terlontar dari Tormey (2015) yang justru menyatakan jika representasi politik hari-hari ini telah terjadi krisis. Kritiknya dibuktikan olehnya melalui rendahnya terhadap partisipasi politik, menurunnya keanggotaan partai, tidak berjalannya konsep seperti diidealkan, dan sebagainya. Dimana itu terlihat dari berbagai fenomena perlawanan sosisal seperti Occupy Wall Street di Amerika, Zapatista di Mexico, hingga XR di Eropa dan seluruh dunia ini.
Demokratisasi Keterwakilan Sosial dan Lingkungan
Jika dikontekstualisasi pada berbagai tindakan gerakan yang dilakukan oleh XR pada hari-hari ini; mulai dari melakukan aksi demonstransi untuk kampanye lingkungan yang dikenal dengan general strike, melakukan aksi penyegatan lalu-lintas di jalanan yang dikenal dengan blocking traffic, sampai yang paling dekat penah dilakukan oleh XR Indonesia yakni melakukan aksi dengan sepatu yang dikumpulkan pada satu tempat, aksi shoe strike.
Berbagai aksi dan langkah taktis dari XR tersebut memiliki intinya sama, yaitu sebuah contoh konkret dari bagaimana sebuah entitas tidak perlu diwakilkan dan tidak perlu keterwakilan; semua bisa dan semua setara.
Hal tersebut secara nyata terjadi di realitas dan hidup dalam gagasan konseptual; bahwa sistem representasi formal tidak mampu mengakomodir kebutuhan manusia untuk dapat terlepas dari ancaman krisis iklim dan ekologis yang ada.
Sistem representasi yang dijalankan hari-hari ini, alih-alih demokratis, justru terjebak pada skema mayoritarianisme. Paling parahnya, hal tersebut justru menimbulkan aktor-aktor oligarkis yang cenderung mengakumulasi kekayaan dengan mengeksploitasi alam serta lingkungan sekitar. Namun hal tersebut menjadi sebuah substansi yang patut untuk disimpan pada bahasan lain.
Hal yang patut disoroti disini adalah bahwa strategi gerak dan langkah taktis yang dilakukan oleh XR dalam memperjuangkan isu krisis iklim dan ekologis merupakan sebuah bentuk representasi non-formal. Sebuah usaha untuk memikirkan kembali upaya kesetaraan sekaligus mengembalikan hakikat dari demokrasi secara utuh.
Berbagai bentuk alternatif bekehidupan bermasyarakat seperti yang digagas dan dipraktikan oleh XR ini dapat menjadi sebuah bentuk kritik yang teramat fundamental kepada sistem politik kita hari-hari ini. Baik dari sisi konseptual maupun praktik representasi politik, hingga corak pandang sistem representasi yang teramat antroposentrik sehingga menafikan fakta bahwa alam pun patut untuk diwakilkan eksistensi serta keberlanjutan hidupnya.
Anehnya, alih-alih menyesuaikan sistem yang ada, segala bentuk ‘perlawanan’ dari publik kepada sistem representasi politik seperti yang dilakukan XR ini justru membuat partai politik beralih fokus dari batasan pemikiran dan keanggotaan menjadi fokus pada resonansi isu yang sedang digandrungi publik (Tormey, 2015). Lagi-lagi, isu yang ada digunakan hanya untuk skema-skema politik elektoral semata.
Dengan kata lain, apa yang telah dilakukan oleh XR dengan nyata menggambarkan bahwa bentuk-bentuk sistem representasi politik lama telah usang, dan itu terbukti tidak berhasil mengakomodir dan mejangkau berbagai kepentingan konstituen maupun eksistensi alam.
Hal tersebut terjadi karena terdapat berbagai perubahan dalam kompleksitas relasi manusia dengan alamnya, pluralitas wilayah yang ada, hingga isu-isu yang mengancam kehidupan seperti krisis iklim dan ekologi yang tidak bisa ditangani semata-semata pada konstelasi elektoral tanpa komitmen bersama-sama.
Sehingga dengan demikian, apa yang menjadi strategi gerak dan langkah taktis yang Extinction Rebellion (XR) lakukan untuk memperjuangkan isu-isunya mengenai krisis iklim dan ekologis menjadi suatu hal yang tidak hanya menarik secara substantif, tetapi juga sebuah hal yang dapat dikatakan melampaui sistem representas politik formal yang ada.
Melalui langkahnya, yakni tell the truth, act now, dan go beyond politics, maupun pada setiap upaya-upayanya; seperti general strike, blocking traffic dan shoe strike, merupakan sebuah usaha independensi masyarakat untuk mewakili sendiri kepentingannya; dalam hal ini terkait dengan isu krisis iklim serta ekologis. Lebih dari itu, berbagai hal yang dilakukan oleh XR, seolah tidak hanya mewakili manusia saja, akan tetapi juga keberlangsungan hidup alam maupun ekologis secara utuh.
Referensi
Bishin, B. (2009). Tyranny of the minority: The subconstituency politics theory of representation. Temple University Press.
Darmawan, I. (2017). Menggugat (Praktik) Representasi Politik. Jurnal Politik, 2(2), 365-370.
Ekawati, E. (2016). Dari representasi politik formal ke representasi politik non-elektoral. Jurnal Penelitian Politik, 11(2), 8.
Hamilton, M. (2012). Literacy and the politics of representation. Routledge.
Pitkin, H. F. (1967). The concept of representation. University of California Press.
Tormey, S. (2015). The end of representative politics. John Wiley & Sons.