Kabar dari Tenaga Medis di Saat Pandemi Kembali Memasuki Fase Kritis
Kami berbincang dengan tenaga medis mengenai kabar dari garda terdepan perjuangan melawan pandemi, lonjakan kasus positif, dan keraguan masyarakat mengenai efektivitas vaksin.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Shadia Kansha dan Hanindito Buwono
Desain: Mardhi Lu
Setahun lebih kita telah menjalani hari-hari dalam keadaan pandemi. Ditengah kegentingan melonjaknya pasien positif, distribusi vaksin yang menggebu-gebu, dan virus varian baru yang menyerbu; para tenaga medis harus tetap siap siaga. Alih-alih semakin berhati-hati, keraguan terhadap keberadaan virus dan efektivitas vaksin semakin menjadi-jadi. Mewakili garda terdepan perjuangan melawan virus COVID-19, kami berbincang dengan para tenaga medis untuk mengetahui perspektif mereka mengenai fenomena yang tengah terjadi saat ini.
Corona Rintawan, Sp.EM
Dokter RS Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur.
Sudah setahun lebih sejak virus COVID-19 masuk di Indonesia, bagaimana perbandingan keadaan pandemi ketika baru dimulai dengan keadaan saat ini?
Kondisi sekarang jauh lebih buruk. Karena penambahannya signifikan dalam waktu dekat.
Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah beberapa minggu ini. Bagaimana tanggapan Anda mengenai fenomena tersebut?
Sangat mengkhawatirkan, karena pertambahan yang banyak tentu akan mengganggu layanan kesehatan.
Dengan adanya peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terjadi di tengah berlangsungnya program vaksin, masyarakat banyak yang meragukan efektivitasnya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal tersebut?
Vaksin tidak membuat kita menjadi tidak tertular. Vaksin tetap sangat bermanfaat untuk mengurangi dampak akibat virus, sehingga tidak jatuh dalam kondisi sedang atau berat. 5M tetap harus dijalankan untuk mencegah penularan.
Apa pandangan Anda dengan banyaknya berita bohong beredar di masyarakat mengenai COVID-19 yang membuat keraguan akan keberadaan virus ini?
Geram sekali. Seharusnya ada tindakan hukum secara tegas untuk oknum-oknum tersebut. Karena akibat mereka banyak yang tertular dan meninggal.
Bagaimana melihat stigma terhadap nakes yang sering disepelekan publik dan pemerintah, dan saat bercerita tentang tantangan saat menangani pandemi, dianggap memancing iba semata?
Sangat sedih dan miris, menunjukkan ada yang salah dengan mental bangsa ini akhir-akhir ini. Rasa simpati dan empati sudah hilang, bahkan ketika sudah ditunjukkan hal yang nyata.
Jika boleh berbicara atas nama seluruh tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat?
Hargailah kerja keras kami, percayalah bahwa wabah ini nyata. Kami hanya bisa merawat sebisa dan semampu kami dan tenaga kami terbatas. Jika pemerintah dan masyarakat tidak bisa memahami ini, akan makin banyak korban jiwa.
dr. Jane Lorens
Dokter & Penyintas COVID-19
Sudah setahun lebih sejak virus COVID-19 masuk di Indonesia, bagaimana perbandingan keadaan pandemi ketika baru dimulai dengan keadaan saat ini?
Jika saya harus membandingkan keadaan pandemi ketika baru mulai dengan saat ini, tentu sangat berbeda ya. Pada saat baru mulai itu, banyak dari masyarakat kita harus beradaptasi, harus menyesuaikan dengan keadaan saat COVID baru masuk. Banyak yang panik, dan juga waktu itu APD-nya terbatas, jadi membuat semua orang itu menjadi rebutan lah ya istilahnya. Untuk saat ini, setelah setahun tentunya sudah berbeda, orang sudah lebih menyesuaikan, dapat beradaptasi, dan tentunya juga termasuk terutama pada bagian APD. Jadi, dari APD kita tau udah banyak sekarang, sudah terpenuhi khususnya untuk masker, dan juga untuk protokol kesehatan masyarakat juga sudah mulai tau harus menggunakan masker kemanapun, terutama saat berpergian. Menerapkan social distancing, lalu membawa hand sanitizer itu menurut saya adalah suatu perubahan proses adaptasi yang perlu ditandai. Karena itu hal yang baik menurut saya.
Jumlah pasien Covid-19 terus bertambah beberapa minggu ini. Bagaimana tanggapan Anda mengenai fenomena tersebut?
Jujur saya tidak kaget melihat pasien COVID yang terus bertambah beberapa minggu ini. Karena saya juga melihat banyak dari sarana publik yang kembali beroperasi, seperti bioskop tentunya dengan prokes yang baik. Tapi, dengan banyaknya sarana publik yang kembali normal, dan juga mobilisasi kembali normal, itu membuat masyarakat juga menjadi lengah, menjadi “oh sudah seperti normal dulu, sudah biasa,” seperti itu, dan mana kita tau ini belum normal. Kita tau pada saat dari awal mulai pandemi pun, saya sudah merasa “wah akan masuk ke dalam perang COVID ini bisa bertahun-tahun, ini bukan sesuatu hal yang gampang untuk diselesaikan dan dilalui,” dari awal saya sudah merasa seperti itu. Jadi, saya kecewa tapi tidak kaget.
Dengan adanya peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terjadi di tengah berlangsungnya program vaksin, masyarakat banyak yang meragukan efektivitasnya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal tersebut?
Saya rasa hal ini disebabkan karena masyarakat tersebut masih banyak yang bingung dengan program vaksin ini. Memang benar program vaksin ini merupakan salah satu cara agar suatu populasi itu dapat mencapai herd immunity tanpa menghasilkan korban. Jadi kalau misalkan kita terkena penyakit COVID, semuanya serentak mungkin kita bisa kena herd immunity, tapi pertanyaannya adalah berapa banyak korban yang harus dikorbankan. Nah, dengan vaksin ini diharapkan kita bisa mencapai herd immunity tanpa kita mengorbankan korban jiwa. Tapi, perlu diingat bahwa herd immunity tuh hanya bisa dicapai jika 80% dari populasi itu sudah di vaksin. Sedangkan pada saat sekarang ini, walaupun memang vaksin dari kemarin sudah mulai gencar di masyarakat perlahan-lahan secara bertahap dilakukan, tetap belum cukup untuk mencapai yang kita mau, sesuai dengan target kita. Jadi, mungkin ini menjadi salah satu misinformasi di masyarakat.
Selain itu kita juga perlu ingat sebenarnya vaksin ini juga dia tidak menjamin 100% kita tidak akan terkena COVID, tetapi pada orang yang sudah di vaksin itu dia akan mencegah terjadinya COVID berat, dia mencegah terjadinya rawat inap, hospitalisasi di rumah sakit yang mana itu merupakan salah satu sumber masalah kita juga. Seperti kita lihat di berita-berita sekarang, banyak sekali kejadian rumah sakit penuh, orang-orang menunggu ruangan di rumah sakit, mengantri di IGD, hal ini yang ingin dicegah oleh vaksin. Jadi, kalaupun kamu kena COVID, kalau misalkan kamu sudah di vaksin, itu tidak akan menjadi suatu masalah untuk hospitalisasinya. Karena kamu kenanya di gejala yang ringan, yang mana bisa home care di rumah.
Apa pandangan Anda dengan banyaknya berita bohong beredar di masyarakat mengenai COVID-19 yang membuat keraguan akan keberadaan virus ini?
Tentunya saya sangat sedih ya, mendengar ada banyak berita bohong, berita hoaks yang beredar di masyarakat apalagi yang memprovokasi dan meragukan virus ini. Saya sedih dan saya juga rasanya marah gitu misalkan saya baca. Karena, kalau misalkan nih ya jika saya, teman sejawat, para tenaga kesehatan, perawat, petugas garda terdepan dan semuanya kalau ditanya: “Maunya COVID-nya naik atau turun?” Saya rasa semua orang pasti jawabnya turun. Tidak ada orang di dunia ini yang mau COVID tuh naik, tidak ada yang diuntungkan dari COVID itu naik. Semuanya juga rugi, even rumah sakit pun juga saya rasa sih gak berharap covid itu naik. Tidak ada yang diuntungkan dari sini. Seperti contoh saya melayani dengan senang hati, saya senang sekali dapat berpraktek dan melayani menjadi dokter, saya melayani dengan sungguh-sungguh, tapi saat saya melayani terutama di era pandemi seperti ini saya harus stop untuk berkunjung kepada keluarga, harus stop bertemu dengan orang-orang yang saya sayangi dan cintai.
Menurut saya, waktu yang bisa saya spend dengan keluarga tuh, saya korbankan untuk melayani masyarakat. Waktu itu sebenarnya benar-benar berharga yang tidak ternilai, bahkan tidak bisa dibeli oleh uang. Dan saya sedih karena istiliahnya bukan cuman saya, semua tenaga kesehatan udah mau dan rela untuk melayani masyarakat, tapi kok malah dituduh bohong, dituduh mengada-ada, dituduh di COVID-kan. Saya rasa sih cukup miris ya.
Hal yang saya mau sih, dan saya rasa teman sejawat juga semuanya mau, itu mungkin bentuk pengertian. Ya sudah gak apa-apa kalau misalkan memang kita tenaga kesehatan sebagai resiko pekerjaan ya memang gak apa-apa, kita terima. Tapi at least, please do your job, please do your part. Kalau kamu harus kerja, oke tapi lakukan prokes-nya. Kalau misalkan kamu bisa stay di rumah, stay di rumah. Kalau misalkan kamu bisa vaksin, vaksin lah. Kalau misalkan keluarga kamu yang kena, jangan ketemu dulu. Jadi maksudnya, gak apa-apa kita sama-sama saling pengertian aja, ya udah kita kerja tapi jangan mengkontribusi hal yang malah merugikan.
Bagaimana melihat stigma terhadap nakes yang sering disepelekan publik dan pemerintah, dan saat bercerita tentang tantangan saat menangani pandemi, dianggap memancing iba semata?
Menurut saya, kadang-kadang tenaga kesehatan itu dia suka share cerita tentang rumah sakit itu sebenarnya bentuk frustasi atas keadaan sekarang. Karena balik lagi yang saya bilang, pandemi COVID ini gak bisa cuman diselesaikan oleh tenaga kesehatan, tidak bisa oleh cuman pemerintah, tapi butuh juga peran masyarakat disini. Karena masyarakat itu merupakan rantai sosial ya, sedangkan COVID ini dia menyebarnya dari keluarga, jadi dari kluster-kluster. Mau pemerintah bikin peraturan sebagaimana hebatnya, mau tenaga kesehatan kerja sampai gak tidur, itu gak bakal solve kalau misalkan dari masyarakatnya juga tidak kontribusi.
Makanya biasanya kalau misalkan tenaga kesehatan share karena ini yang kita lihat di lapangan, ini loh yang mungkin orang gak kasih lihat, ini loh yang kamu gak lihat di mall dan di bioskop, yang kamu gak lihat di tempat-tempat publik, ini kenyataannya. Bukan untuk memancing iba sih, maksudnya mungkin kesannya seperti memancing iba, tapi menurut saya itu adalah bentuk frustasi dari teman-teman sejawat saya. Dan saya rasa sih, mungkin stigma itu semakin besar juga karena mungkin orang bosan ya, mungkin “aduh ini udah satu setengah tahun masih itu-itu aja,” sama sih kita juga bosan, tenaga kesehatan juga bosan. Tapi ya mau gimana, ini kenyataannya, ini yang kita hadapi sekarang. Menurut saya, alangkah baiknya kita bisa hadapi sama-sama. Karena, it’s not us against them, tapi it’s us against the virus.
Jika boleh berbicara atas nama seluruh tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat?
Saya cuman mau bilang sama masyarakat: Iya capek, iya bosan, kami juga capek, dan kami pun juga bosan dengan semua ini. Tapi tetap ada harapan kok, dan harapan itu hanya bisa ada di saat kita sama-sama berjuang. Para nakes berjuang di bidang kita dengan segala resiko yang kita tanggung, dan masyarakat pun juga bertanggung jawab dengan semua resiko yang dilakukan dan diperoleh. Seperti contoh kalau misalkan tetap mau jalan-jalan, ya beresiko dan resikonya merugikan satu komunitas semua orang. Dan juga, para government tentunya harus bisa mengarahkan terutama dengan mengoptimalkan program vaksin ini. Saya cuman berharap disini kita diingatkan bahwa, kita disini tidak ada yang saling musuh, manusia disini tidak ada yang saling berlawanan. Kita satu musuhnya sama, yaitu pandemi COVID-19 ini. Dan hanya kerja sama ini lah, kita bisa memerangi pandemi ini bersama-sama. Tetap menjalankan prokes, jaga kesehatan, dan tingkatkan semangat. Saya juga berdoa untuk semua masyarakat agar kita tetap sehat dan tetap hidup normal lagi seperti dulu.
dr. Jessica Gosal
Dokter Relawan RSDC Wisma Atlet
Sudah setahun lebih sejak virus COVID-19 masuk di Indonesia, bagaimana perbandingan keadaan pandemi ketika baru dimulai dengan keadaan saat ini?
Pada awal kasus COVID-19 merebak, masyarakat termasuk para tenaga kesehatan (nakes) tentu banyak yang takut dan khawatir hingga sempat menimbulkan panic buying dan krisis APD, karena virus baru ini menyebar dengan cepat dan membuat kekacauan di berbagai bidang. Kasus positif pun semakin meningkat dan setiap hari kita dihadapkan dengan begitu banyaknya berita kematian, termasuk berita kematian nakes. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kasus perlahan-lahan semakin menurun seiring dengan adanya program vaksinasi. Lelah mungkin dirasakan oleh sebagian masyarakat untuk tetap patuh terhadap protokol kesehatan (prokes). Namun sekarang, bisa dilihat jika kita lengah, kasus bertambah banyak, apalagi ditambah dengan varian baru yang muncul, varian Delta. Kapasitas RS di berbagai daerah juga sudah mulai penuh, hampir sama seperti keadaan awal pandemi, bahkan mungkin akan lebih parah jika tidak ditekan dari sekarang.
Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah beberapa minggu ini. Bagaimana tanggapan Anda mengenai fenomena tersebut?
Kita semua turut berpartisipasi dan bertanggung jawab atas peningkatan kasus ini. Semua golongan masyarakat, tidak memandang status sosial, ekonomi, dan pendidikan, berperan dalam meningkatnya kasus ini. Hal ini dapat dilihat dari liburan lebaran kemarin, dimana pergerakan (mobilisasi) manusia tinggi, bukan hanya karena mudik saja, berlibur, berwisata, dan kumpul bersama dilakukan tanpa prokes yang benar. Masyarakat seakan “lupa” bahwa virus ini masih ada di sekitar kita semua. Belajar dari kasus-kasus di India dan beberapa negara lain, yang kasusnya sempat melonjak tinggi, seharusnya kita tetap waspada menghadapi lonjakan kasus yang sewaktu-waktu bisa kembali tinggi akibat munculnya varian virus baru. Sekarang beberapa RS sudah mulai kewalahan, khususnya di daerah dengan zona merah. Namun hal ini masih dapat kita cegah bersama sebelum menjadi lebih parah dengan 5M (Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, Membatasi mobilisasi dan interaksi) dan 3T (Testing, Tracing, Treatment).
Dengan adanya peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terjadi di tengah berlangsungnya program vaksin, masyarakat banyak yang meragukan efektivitasnya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal tersebut?
Pertama, vaksin tidak membuat orang kebal 100% terhadap COVID-19. Vaksin bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19. Sehingga meskipun sudah divaksin apabila kita tidak menjalankan prokes yang benar, bisa saja kita tertular tanpa gejala lalu menularkan ke orang lain yang saat itu belum tervaksin sehingga menjadi bergejala berat. Meningkatnya jumlah pasien bukan karena vaksin tidak efektif, namun masih banyak juga masyarakat yang belum tervaksin dan abai terhadap prokes beberapa bulan ini.
Kedua, vaksin diharapkan menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) agar masyarakat dapat lebih produktif dan dapat menjalankan kesehariannya dengan baik. Akan tetapi cakupan vaksin COVID-19 di Indonesia belum juga mencapai 30%, dimana untuk mencapai herd immunity dibutuhkan minimal 70%. Sehingga seharusnya kita sadar, cakupan vaksinasi belum tercapai maksimal ditambah dengan prokes yang tidak dijalankan dengan benar dalam beberapa bulan ini, apakah bisa menurunkan kasus COVID-19?
Apa pandangan Anda dengan banyaknya berita bohong beredar di masyarakat mengenai COVID-19 yang membuat keraguan akan keberadaan virus ini?
Saya kurang mengerti apa tujuannya membuat berita bohong di tengah pandemi sekarang, menyebarkan berita bahwa COVID-19 ini konspirasi, rekayasa, atau bahkan ada istilah di-endorse. Hal ini tentu dapat mempengaruhi dan membahayakan masyarakat di sekitarnya. Padahal seperti yang kita ketahui, kasus COVID-19 yang meninggal sudah banyak. Apakah perlu mereka yang menyebarkan berita bohong terinfeksi COVID-19 untuk merasakan penyakitnya dulu baru percaya dan bertobat? Sebagai orang berpendidikan seharusnya kita percaya dengan adanya virus ini karena sudah terbukti secara ilmiah dan berkaca dari kasus-kasus yang sudah ada. Banyaklah membaca dari sumber yang terpercaya dan bertanyalah kepada para ahli. Pesan yang kita terima di media sosial tidak seluruhnya benar. Selalu pastikan kembali kebenaran informasi tersebut sebelum disebarluaskan sehingga kita juga tidak berperan dalam menyebarkan berita bohong.
Sejumlah negara sekarang sudah mulai melonggarkan peraturan prokes-nya, namun bukan berarti COVID-19 tidak ada dan tidak berbahaya. Kita tidak bisa membandingkan negara lain dengan Indonesia sekarang. Cina dapat menggelar konser dan melonggarkan prokes-nya sewaktu bebas kasus COVID-19, namun pemerintahnya dapat menjamin kebutuhan pokok warganya di masa lockdown dan kepatuhan masyarakat terhadap prokes tinggi. Australia berani melonggarkan peraturan penggunaan masker, namun dapat menerapkan lockdown setelah didapati 30 kasus di negaranya. Malta sudah mulai melonggarkan prokes-nya karena cakupan imunisasi sudah mencapai 70%. Jadi jangan samakan negara kita dengan negara yang memiliki fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai, anggaran pemerintah yang cukup untuk semua warga negaranya, kemampuan testing dan tracing yang tinggi, cakupan vaksinasi yang tinggi, dan kepatuhan warganya terhadap protokol kesehatan.
Bagaimana melihat stigma terhadap nakes yang sering disepelekan publik dan pemerintah, dan saat bercerita tentang tantangan saat menangani pandemi, dianggap memancing iba semata?
Tentu saja sedih. Kami mengerti bahwa virus ini menular dan dapat mematikan, bisa saja kami menghindar dan memilih untuk berdiam di rumah. Namun kami sadar, kami sudah mengambil sumpah untuk melaksanakan tugas ini atas dasar kemanusiaan. Cerita yang beredar di media bukan tujuannya untuk memancing iba, tetapi untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kami juga manusia biasa, bisa juga merasakan lelah dan sedih dalam menghadapi situasi seperti ini. Kami juga punya keluarga yang harus kami lindungi, dan beberapa dari kami mungkin menjadi tulang punggung keluarga. Kami juga manusia yang sewaktu-waktu dapat tertular virus COVID-19 dan tidak dapat menghindari kematian sama seperti yang lainnya.
Jika boleh berbicara atas nama seluruh tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat?
Kami sebagai tenaga kesehatan tetap akan berjuang melayani masyarakat dalam pandemi ini. Namun kami juga manusia yang sewaktu-waktu bisa merasakan lelah dan juga kapasitas RS tidak akan memadai apabila kasus semakin terus meningkat. Sehingga marilah KITA berjuang BERSAMA dalam menanggulangi COVID-19 di negeri kita. Taatlah pada protokol kesehatan dan tingkatkan cakupan vaksinasi. Saringlah informasi yang beredar di media sosial, selalu cek kebenarannya sebelum disebarluaskan. Karena menyebarluaskan berita hoaks dapat membahayakan orang-orang di sekitar kita. Salam Sehat!
dr. Veresa Chintya
Dokter Relawan RSDC Wisma Atlet
Sudah setahun lebih sejak virus COVID-19 masuk di Indonesia, bagaimana perbandingan keadaan pandemi ketika baru dimulai dengan keadaan saat ini?
Tentunya kalau melihat ke belakang, banyak hal yang berbeda dari sejak awal kita memasuki pandemi sampai dengan pada hari ini. Pertama, pada awal pandemi, kita mungkin cuma kenal penyebab infeksi COVID itu cuma 1, yaitu SARS-CoV-2. Sekarang, kita kenal ternyata sudah ada kira-kira 10 varian dari virus ini yang menginfeksi orang-orang. Kedua, jumlah teman sejawat yang berperang bersama-sama saya sejak awal pandemi sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan waktu awal pandemi. Karena satu dan lain hal, baik karena pada saat ini ada yang sedang isolasi mandiri karena sedang terpapar atau sudah duluan menghadap Tuhan YME. Terakhir, tingkat kepatuhan masyarakat sejak awal pandemi dan sekarang juga jauh berbeda. Masa-masa sekarang ini kepatuhan masyarakat jauh lebih rendah ketika awal pandemi. Awal pandemi, kita disuguhi berita dan tentunya mungkin mengalami sendiri, banyak yang panik buying, menimbun obat, masker. Sekarang kita bisa liat banyak yang keluar tidak pakai masker, ada yang pasien yang disarankan untuk isolasi malah berjalan-jalan dan berinteraksi dengan orang lain.
Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah beberapa minggu ini. Bagaimana tanggapan Anda mengenai fenomena tersebut?
Saya sendiri sebenarnya sangat menyayangkan, karena beberapa waktu sebelum angka kasus ini naik, jumlah kasus sudah mulai berkurang. Tapi, karena banyak orang-orang yang tidak patuh dalam menjalankan protokol kesehatan, kasus Kembali naik malah melampaui laju pertambahan pasien di waktu-waktu sebelumnya. Dari awal kan sudah disarankan, baik dari pemerintah, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, influencer, dan masing-masing orang tentunya, bahwa untuk membantu menurunkan laju penularan COVID, kita harus melakukan protokol kesehatan.
Sampai akhirnya keluar slogan “Stay at Home” yang saya yakin sebenarnya masih relevan dan masih disuarakan banyak pihak sampai detik ini. Dengan menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah, pakai masker kalau keluar, tidak menghadiri atau berkerumun dengan banyak orang, sebenarnya sudah bisa diprediksi bahwa angka kasus COVID berpotensi naik kembali. Padahal, protokol kesehatan sudah terbukti efektifitas-nya dalam memproteksi kita sendiri dan orang lain, yang tentunya bisa membantu menurunkan laju pertambahan jumlah pasien COVID.
Dengan adanya peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terjadi di tengah berlangsungnya program vaksin, masyarakat banyak yang meragukan efektivitasnya. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal tersebut?
Hal ini sudah sering disuarakan, baik dari pemerintah dan teman-teman sejawat saya yang berkesempatan untuk sosialisasi ke masyarakat lewat wawancara di TV maupun membuat konten tentang vaksinasi COVID di sosial media. Semua sudah menjelaskan, kalau mendapatkan vaksin bukan berarti kita 100% tidak akan mendapat infeksi virus COVID selamanya. Vaksin itu ada supaya kita bisa terhindari dari mendapatkan gejala yang berat dari infeksi COVID yang bisa berujung pada kematian.
Nah, dari pernyataan saya ini, saya bisa memperkiraan, orang-orang yang dengar ini akan beranggapan bahwa pernyataan saya ini maksudnya vaksin itu tidak efektif. Tidak, vaksin itu efektif, tapi akan jauh lebih efektif kalau setelah vaksin, kita tetap jalankan protokol kesehatan, jadi kita juga tidak akan tertular virus COVID dan tentunya tidak menjadi sumber penularan virus buat orang lain.
Jadi jangan takut untuk mendapatkan vaksin ya. Dengan mendapat vaksin, kita memproteksi diri sendiri dan juga orang di sekitar kita.
Apa pandangan Anda dengan banyaknya berita bohong beredar di masyarakat mengenai COVID-19 yang membuat keraguan akan keberadaan virus ini?
Memang belakangan ini banyak beredar isu, kalau virus COVID-19 itu hoax, tingkat keparahan COVID tidak separah yang diberitakan media-media, ada yang juga berkata kalau COVID itu adalah virus buatan manusia.
Adanya isu-isu tersebut bukan berarti kita boleh lengah dan akhirnya mengabaikan protokol kesehatan. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan dan ikuti perkembangan COVID dari sumber yang terpercaya. Ketimbang melihat dan membaca berita dari sumber-sumber yang tidak terpercaya, dari grup whatsapp misalnya, lebih baik melihat perkembangan COVID dari sumber yang terpercaya, misalnya WHO, website pemerintah covid19.go.id, dan lihat sekeliling kit. Berapa banyak tetangga, sahabat, keluarga yang tertular, sedang isolasi, sedang berjuang supaya bisa sembuh dari COVID ini.
Bagaimana melihat stigma terhadap nakes yang sering disepelekan publik dan pemerintah, dan saat bercerita tentang tantangan saat menangani pandemi, dianggap memancing iba semata?
Dalam hal berperang melawan COVID-19 ini, kami ini bertugas di lini terdepan. Sudah setahun lebih, kami mengemban tugas untuk menyembuhkan orang-orang yang tertular virus COVID-19. Yang saya sayangkan adalah terkadang masyarakat dan pemerintah melupakan, bahwa pada akhirnya tenaga kesehatan adalah manusia yang bisa merasakan lelah dan tentunya bisa sakit. Kalau kami bercerita tantangan dalam menangani pandemi, apakah kami bermaksud supaya masyarakat dan pemerintah mengasihani kami? Tidak! Kami bercerita untuk menekankan, terlepas dari segala isu terkait COVID-19, apa yang kami saksikan, apa yang kami lakukan, orang-orang yang kami periksa itu bukan sekedar isu belaka. Kami bercerita supaya kita sama-sama aware kalau situasi saat ini di Indonesia, itu serius. Jadi tolong jangan buat situasi ini semakin buruk dari yang sekarang. Tentunya, kami bercerita supaya memberikan gambaran kepada masyarakat dan pemerintah, untuk berjuang bersama-sama kami, supaya pandemi ini cepat selesai.
Jika boleh berbicara atas nama seluruh tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat?
Tenaga kesehatan juga manusia. Tenaga kesehatan juga punya keluarga di rumah yang merelakan kami untuk berperang disini. Kami berjuang untuk menyembuhkan pasien-pasien kami dan mencoba untuk mencegah anggota keluarga kami yang menunggu di rumah supaya tidak ketularan apapun virus yang menempel saat kami kembali ke rumah. Kami berhak untuk merasa lelah dan wajar kalo kami jatuh sakit. Jadi jangan menganggap kalau hanya kami yang maju melawan COVID-19, ini sudah cukup. Tolong, jangan biarkan kami berjuang sendiri. Pandemi tidak akan selesai kalau hanya kami atau pemerintah saja yang berjuang. Supaya pandemi ini cepat tertangani, semua harus melakukan bagiannya masing-masing. Tolong jangan buat situasi pandemi di Indonesia semakin buruk. Jangan dengarkan isu-isu yang belum tentu benar, ikuti perkembangan pandemi di Indonesia dari sumber yang terpercaya, dan tetap jalankan dan patuhi protokol Indonesia. Ayo, berjuang sama-sama.