Memaki Adam dan Hawa
Pada submisi column kali ini, Alissa Wiranova berkaca pada deretan kejadian-kejadian penuh sengsara di dunia dan bertanya mengapa Tuhan tega membiarkan ini semua terjadi?
Words by Whiteboard Journal
Di tengah segala kesulitan yang ada, beberapa gugur dan yang lainnya bertahan. Pandemi, polemik demokrasi, korupsi, kesulitan ekonomi, dan ribu juta krisis lainnya tak kunjung habis, tak kian berlalu. Hemat listrik, kata ibu. Tabung uangmu, ujar ayah. Umur masih jauh, semester masih panjang. Belum lagi magister. Belum keluarga. Belum anak cucu.
Tetangga sebelah belum makan dari Senin. Sebelahnya lagi terdakwa korupsi. Kisah terkenalnya, tiga ratus juta masuk polisi. Warawiri sana sini, gaya necis tapi najis. Jikalau ada kriminal berjas rapi, hobinya tutup mata. Ratusan Papua mati, semua diam seribu bahasa. Satu pimpinan tentara mati, konferensi pers di stasiun ini itu. Teroris klaimnya. Sekeluarga pemulung puasa nyaris setiap hari, tak ada yang pernah menoleh. Sepasang artis baru menikah, satu negara menyimak. Mana keadilan? Mana kemakmuran? Mana hal-hal yang katanya akan kunjung membaik?
65. Tanjung Priok. Trisakti. Petamburan. Kinipan. Belum lagi yang di negara nun jauh di ujung sana. Saya jelas marah. Tapi apa yang bisa saya lakukan sejauh ini? Nyaris tak ada. Hanya hal-hal kecil, mendekati nol. Dan saya menjadi makin marah, melewati murka. Katanya hal mungil pasti berujung besar, tapi sampai kapan? Mengapa saya harus merasakan ini itu, hidup di antara kesedihan dan kekecewaan, mengupayakan kanan dan kiri, tapi keadaan tak juga berangsur membaik?
Andaikan Hawa tetap diam, andaikan Adam tak mengiyakan. Andaikan keduanya tak mendekati pohon khuldi, mungkin semua bisa hidup tentram sekarang. Mungkin tetangga saya tak lagi menahan perut keroncongannya. Mungkin krisis ekonomi tak pernah ada, dan saya boleh saja menyalakan lampu 24 jam sehari—atau mungkin surga tak perlu lampu? Mungkin aparat tak lagi brutal, mungkin orang Papua hidup aman tanpa rongrongan senjata lagi. Korupsi tak ada, bencana nihil, pandemi tak pernah ditemui. Andaikan saja.
Mungkin hidup di surga akan jauh lebih indah, atau setidaknya jauh lebih baik daripada menjejak di bumi. Mungkin tak akan ada kejahatan, tak ada kelaparan, kemiskinan, penggusuran, dan lainnya. Mungkin tak ada kosakata kesengsaraan. Mungkin manusia tak pernah mengenal ketidakadilan. Semua kenyang, semua bahagia, dan tak lagi saya berair mata hanya karena ditinggal pasangan. Tak ada lagi rasa kecewa, gamang, bimbang, marah yang selama ini dirasakan manusia.
Kemudian terlintas di benak saya, mengapa Tuhan tega membiarkan ini semua terjadi? Mengapa Tuhan membiarkan keburukan dan kejahatan mengambil alih, menguasai dunia tempat manusia tinggal? Mengapa Tuhan tak mencegah buah khuldi memasuki mulut Adam juga Hawa? Mengapa Tuhan tak membiarkan manusia tetap tinggal di surga? Mengapa Ia memilih untuk mengirimnya ke bumi, dan malah menjadikannya pemimpin di sini? Mengapa manusia, yang licik dan hobi berbuat kerusakan ini tetap disebut-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna?
Saya tak bisa tidur nyenyak memikirkan hal-hal tadi. Tentang Jokowi, proyek food estate, Tuhan, Adam, Hawa, dan 1001 (pangkat dua) ragam masalah lainnya. Mengapa Tuhan tak mengirimkan malaikatnya saja—yang jelas tunduk dan baik budinya—menjadi pemimpin di bumi ini? Mengapa yang dilantik-Nya sebagai makhluk paling sempurna adalah manusia, alih-alih malaikat? Mungkinkah segala dalil dan dalih ini hanya upaya manusia menjustifikasikan dirinya sendiri, atas nama Tuhan?
Atau mungkin saya yang salah mengira?
Pertanyaan yang berputar terus di kepala saya selama berbulan-bulan ini terjawab hanya dengan semalam saja. Kecenderungan saya untuk terus mencaci Adam dan memaki Hawa, serta mempertanyakan ketidaklogisan Tuhan membiarkan manusia berbuat kejahatan, menurunkannya ke bumi, dan tetap menyebutnya sebagai makhluk yang paling sempurna, terjawab sudah. Setidaknya bagi saya.
Mulanya dari definisi sempurna terlebih dahulu. Kesempurnaan, bila ditilik dari perspektif saya berarti segala yang serba positif. Serba baik. Serba bisa. Serba mulia. Serba adil. Serba sama. Serba kaya. Serba kenyang. Serba puas. Serba makmur. Oleh karenanya, saya kerap mempertanyakan—berulang-ulang—mengapa Tuhan justru menyebutkan kesempurnaan dimiliki oleh manusia yang jelas-jelas serakah ini? Mengapa manusia yang biasa berlaku jahat dan hobi membangkang ini dijadikan pemimpin, dan dibiarkan berbuat kerusakan oleh Tuhan begitu saja? Mengapa bukan malaikat yang serba baik dan serba tunduk yang menyandang status ini?
Tetapi, bagaimana bila kesempurnaan menurut Tuhan berbeda dari yang saya pikirkan selama ini?
Bagaimana bila yang disebut oleh Tuhan sebagai makhluk sempurna adalah mereka yang bebas? Mereka yang dapat menentukan pilihannya sendiri? Mereka yang memiliki ego masing-masing? Mereka yang hidupnya berimbang, tidak melulu tergerak karena putusan-Nya? Mereka yang memiliki satu set akal dan paham betul bagaimana cara menggunakannya? Mereka yang memiliki kehendak dan kendali penuh atas dirinya sendiri? Dan makhluk apa lagi dengan karakter seperti ini, bila bukan manusia?
Mungkin memang benar keputusan Tuhan membiarkan Adam juga Hawa memakan buah terlarang di surga. Mungkin memang benar putusan Tuhan tak mencegahnya. Mungkin bukan sebuah kesalahan bahwa Tuhan menurunkan mereka berdua ke bumi, menjadikannya pemimpin pula. Mungkin semua dilakukan-Nya demi menunjukkan bahwa manusia, bebas melakukan apapun yang dikehendaki, dan menjadikannya sempurna karena hal itu. Mungkin saja.
Memang benar ada konsekuensi, memang benar ada akibat yang akan ditimbulkan dari kebebasan pada diri manusia. Tetapi setidaknya, manusia tidak didikte dan digerakkan sejak awal. Manusia masih mampu melakukan hal-hal yang ia kehendaki, entah baik entah buruk, entah menjaga entah merusak, entah tunduk entah membangkang.
Dan mungkin sudah waktunya saya berhenti memaki Adam dan Hawa.