Melihat Bagaimana Royalti Musik Bekerja dari Mata Musisi
Berbincang mengenai royalti musik yang belakangan ramai dibahas, lalu bagaimana hal tersebut mempengaruhi kehidupan sehari-hari musisi dan proses serta esensi berkarya dengan beberapa orang yang bergelut di industri musik.
Words by Whiteboard Journal
Ilustrasi: Mardhi Lu
Teks: Daniet Dhaulagiri & Rifqi Ramadhan
Menjadi musisi pada era digital sekarang diatas kertas memang terlihat seperti pengalaman yang menyenangkan. Dengan mudahnya akses terhadap software, Platform, hingga pendengar, kini rasanya seperti bahkan nenek mu dapat mencoba untuk menjadi seorang musisi. Namun dengan kemudahan teknologi, datang juga berbagai rintangan baru, diantaranya seperti sulitnya bersaing, pembajakan yang merajalela, hingga yang terakhir sulitnya mencari uang dari hasil royalti karya. Dan belum lama ini pemerintah baru saja mengumumkan sebuah kebijakan baru yang akan mempermudah musisi untuk mendapat akses dari properti intelektual mereka. Akan tetapi, kebijakan ini berhasil menciptakan sebuah perbedaan pendapat yang lumayan sengit antara masyarakat awam dan musisi. Sebenarnya apa dan bagaimana kebijakan baru ini bekerja, mari kita simak sedikit sudut pandang baru dari beberapa musisi ini.
Fadil Fikriawan
Musisi – Feast.
Bagaimana hidup dengan musik sebagai profesi? Apakah sudah bisa menghidupi?
Alhamdulillah menghidupi. Walaupun gue pribadi juga ada daily job di label Sun Eater. Dan baru 2-3 tahun porsi bermusik sebagai profesi utama, sebelumnya gue bertahan hidup dengan menjadi pekerja kantoran juga. Cuma balik lagi, Sun Eater kan munculnya secara nggak langsung juga karena hasil menjadikan musik sebagai profesi hahaha.
Bagaimana pandangan kalian mengenai kebijakan baru ini?
Bagus sih, walaupun ini bukan aturan baru sebenarnya dan di luar negeri pun sudah berjalan dan menjadi hal yang lumrah. Hampir semua venue/resto dan bar pun paham hal ini. Tinggal eksekusinya aja paling yang diperhatiin. Aliran dananya beneran sampe ke musisi, atau nyangkut di pihak-pihak yang katanya menaungi atau memberikan jasa penarikan uang royalti itu hehe.
Saat kebijakan ini dirilis, banyak protes dari masyarakat yang terlanjur terbiasa menikmati musik tanpa memikirkan royalti, bagaimana kalian melihat mentalitas seperti ini?
Agak bikin panas tapi ya mau gimana lagi, emang kultur apresiasinya belum ke sana. Dan sistem ini juga baru diketahui sama masyarakat awam. Karena konsep beli putus dan itung-itung promo Itu ya yang selama ini orang awam taHu, bahkan musisi sendiri (termasuk saya) banyak yang masih keblinger soal skema royalti ini.
Ada pandangan bahwa kebijakan ini nanti akan hanya menguntungkan musisi besar saja, bagaimana pendapat kalian?
Bisa jadi iya bisa jadi tidak, karena pasti yang banyak diputar di berbagai tempat (yang besar atau ramai) biasanya ya musisi yang lagi populer. Namun sebenernyan nggak menutup kemungkinan musisi kecil mendapat hasil dari sini juga. Selama sistemnya penyaluran dananya benar ya. Kan bisa aja sebuah band dengan genre yang segmented, diputar terus di sebuah kafe/bar yang segmented pula. Malah lebih terukur kayaknya? In my honest opinion.
Selain royalti dari kebijakan ini, bagaimana cara bagi musisi untuk bisa terus hidup di situasi sekarang ini?
Sebenernya royalti dengan kebijakan ini tuh hanya 1 dari beberapa tipe royalti. Performance rights kalo ga salah. Tapi selama lagunya ada di streaming service, harusnya songwriter royalty dan mechanical royalty juga masuk ke penyanyi & penulis lagunya rutin. Cuma ya balik lagi, siapa yang mengelolanya itu kan. Kalo sistem kelolanya baik mudah-mudahan ada pemasukan meskipun tidak seberapa. Cara lain bertahan hidup bagi musisi ya mau ga mau, suka ga suka, harus bisa kolaborasi dengan brand. Ntah barter valuenya apa namun setiap kolaborasi biasanya menguntungkan secara finansial, langsung ataupun ga langsung. Tapi kalau saya pribadi sih, kembali jadi freelancer balik ke dunia kerja lama saya untuk bisa bertahan hidup dan nambah-nambah jajan di situasi pandemi ini. Ga masalah juga kok, itung-itung bertahan hidup hahaha. Tapi kalo nantinya sistem royalti ini jalannya sudah mulus, ya salah satu tulang punggung kehidupan musisi harusnya datang dari sana, selain jualan merchandise dan hidup panggung ke panggung. Yang mana 2 poin ini agak sulit dilakukan di situasi sekarang ini.
Iksal Harizal
Band Manager
Bagaimana hidup dengan musik sebagai profesi? Apakah sudah bisa menghidupi?
Untuk band-band yang sedang gue manage sepertinya belum ya. Karena kita masih menggantungkan pendapatan utama pada pertunjukan langsung dan sepertinya band dan musisi yang gue manage itungannya masih kecil di industri. Jadi pendapatan kami masih fluktuatif, kadang rame kadang sepi. Meskipun merchandise dan aktivasi digital selama pandemi ini banyak membantu pada pemasukan tapi masih belum bisa bergantung kesitu selamanya ya.
Bagaimana pandangan kalian mengenai kebijakan baru ini?
Ini sebenarnya kan peraturannya sudah ada sejak lama dan sebenarnya sudah berjalan pula sejak lama hanya saja informasinya tidak transparan dan merata. Jadi gue melihatnya PP 56/2021 yang baru dikeluarkan Jokowi sifatnya hanya menguatkan peraturan yang sudah ada saja yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Kalau dibilang bagus, ya bagus, gue apresiasi. Kenapa jadi ribut? Balik lagi ke pendapat gue di awal, informasi mengenai royalti ini tidak pernah transparan dan disosialisasikan secara merata. Kalau boleh jujur, jangankan masyarakat, masih banyak kok musisi yang masih belum paham hak-haknya dan itu wajar melihat bagaimana ekosistem musik kita dan apresiasi kita terhadap karya (tidak hanya musik) selama ini berjalan begitu rendah.
Saat kebijakan ini dirilis, banyak protes dari masyarakat yang terlanjur terbiasa menikmati musik tanpa memikirkan royalti, bagaimana kalian melihat mentalitas seperti ini?
Yang mesti diinformasikan kan sebenarnya bahwa masyarakat itu tidak dibebankan langsung untuk membayar royalti. Maksud dari PP 56/2021 dan UU No. 28 Tahun 2014 kan yang harus membayar royalti itu tempat-tempat usaha yang ada aktivitas ekonomi di dalamnya dan aktifitas pengumpulan/pembayaran royalti itu sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Apabila ada tempat usaha yang tidak membayar royalti itu adalah masalah lain. Masyarakat bebas kok mendengarkan lagu selama itu personal used dan tidak dikomersialkan. Jadi ada informasi yang nggak utuh yang sampai ke masyarakat atau masyarakat yang nggak baca peraturannya. Pemerintah sudah bagus mengeluarkan PP 56/2021 ini menurut gue, cuma seperti kebijakan-kebijakan lain, pemerintah juga mestinya melaksanakan fungsi sosialisasi yang runut dan jelas terhadap semua kebijakan yang dikeluarkan. Tidak hanya untuk masyarakat tapi juga untuk musisi itu sendiri. Jadinya nggak ribut. Tapi kalaupun situasinya begini, akhirnya jadi ribut, setidaknya diskursus ini jadi dimulai dengan harapan semua jadi peduli dan mau mengerti hak dan kewajiban masing-masing stakeholders.
Ada pandangan bahwa kebijakan ini nanti akan hanya menguntungkan musisi besar saja, bagaimana pendapat kalian?
Itu sudah pasti. Semakin besar musisi, semakin besar pula nilai ekonomi yang ia dapatkan, dari apapun tidak hanya royalti. Ini bukan masalah musisi mana yang diuntungkan tapi bagaimana musisi diberikan hak atas karyanya dan negara menjamin dan memfasilitasi sistemnya, baik untuk musisi besar maupun kecil. Karena kalau haknya tidak dijamin, ekosistem pengumpulan royaltinya tidak dibangun, legalitasnya tidak ada, musisi paling besar sekalipun akan merugi dan tidak pernah bisa hidup dari karyanya.
Selain royalti dari kebijakan ini, bagaimana cara bagi musisi untuk bisa terus hidup di situasi sekarang ini?
Gue sebenernya berharap musisi kita di sini itu bisa hidup beneran dari musiknya. Tapi perjalanan ke sana rasanya masih jauh. Karena pemerintah mengeluarkan kebijakan itu adalah satu hal, pelaksanaannya dan pengawasan sistemnya berjalan sesuai peraturan itu hal lain lagi yang sangat jauh lebih komplek. Jadi kalau konteksnya gimana cara survive selain dari royalti di tengah pandemic seperti ini, cliché sih, tapi ya coba aja memanfaatkan platform digital semaksimal mungkin. Banyak yang bisa diulik dan dicoba. Mungkin nilai materinya belum bisa nutup pendapatan dari pertunjukan langsung tapi kan yang penting ikhtiar agar tetap eksis band dan karyanya.
Rully Shabara
Seniman, Musisi
Bagaimana hidup dengan musik sebagai profesi? Apakah sudah bisa menghidupi?
Selama beberapa tahun terakhir, kegiatanku bermusik akhirnya bisa mulai menghidupi meskipun standarnya berbeda kalau dibandingkan pekerjaan-pekerjaanku sebelumnya—jika tolak ukurnya adalah uang dan jaminan kemapanan. Tapi kan sebagian besar musisi yang sepertiku tidak banting setir menjadi musisi sebagai pilihan profesi, karena memang motivasinya sedikit berbeda dengan sekadar ‘mencari pekerjaan’. Ada tolak ukur lain yang tidak kalah pentingnya yang membuat banyak musisi sepertiku tetap melakukannya meski sudah tidak bisa `menghidupi`. Tapi ini pembahasannya bisa melebar jauh dari topik.
Bagaimana pandangan anda mengenai kebijakan baru ini?
Kebijakan ini masih lebih dulu memandang musik sebagai komoditas atau potensi ekonomi, bukan lebih dulu berdasar fungsi dan hakikatnya yakni sebagai pengetahuan atau gagasan. Memang benar dan setuju bahwa musik perlu dilindungi haknya, tapi sebenarnya sudah ada banyak bentuk lisensi yang sah dan kuat seperti Creative Commons dengan beragam pilihan jenis perlindungan sehingga lebih aksesibel, fair, dan tidak kaku.
Saat kebijakan ini dirilis, banyak protes dari masyarakat yang terlanjur terbiasa menikmati musik tanpa memikirkan royalti, bagaimana kalian melihat mentalitas seperti ini?
Menurutku sangatlah penting dan fundamental untuk memahami bahwa gagasan dan produk dari gagasan adalah dua hal yang berbeda. Seperti halnya ilmu dan buku adalah dua hal yang berbeda. Begitu kita menganggap bahwa ilmu hanya bisa didapatkan dari buku, akan mudah sekali akal kita memaknainya terbalik; bahwa buku adalah ilmunya. Produk menjadi lebih berarti daripada gagasannya. Ia lantas akan menjadi alat untuk memanipulasi, mengendalikan, mengeruk keuntungan, tergantung siapa yang memproduksinya. Perspektif yang sama berlaku pada bentuk gagasan yang lain, seperti musik. Intinya, ada musisi yang memang merancang musiknya untuk menjadi produk atau mesin pencetak uang tapi ada musisi yang bertujuan membuat musik sebagai ilmu atau gagasan yang menginspirasi. Pembuat kebijakan sebaiknya memahami terlebih dahulu perspektif ini bila ingin menciptakan kebijakan yang adil sehingga tidak hanya akan semata-mata melindungi dan mengakomodir kelompok pertama saja, yang justru akan menghalangi dan mengekang kelompok musisi yang ingin gagasannya mudah diakses, tersebar, dan bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Mentalitas masyarakat tidak bisa disalahkan. Mentalitas yang baik terbentuk dari kebijakan yang adil.
Ada pandangan bahwa kebijakan ini nanti akan hanya menguntungkan musisi besar saja, bagaimana pendapat kalian?
Bisa dibilang begitu. Banyak juga yang bilang bahwa sistem royalti seperti ini sudah diterapkan dengan baik di negara-negara maju. Itu benar, tapi itu bukan alasan kita pun berarti harus menganut sistem yang sama. Alasan menggunakan negara `maju` sebagai benchmark sudah saatnya dihapus dari logika berpikir kita di zaman sekarang. Setiap tatanan masyarakat memiliki nilai budaya yang berbeda. Budaya barat sangat berbeda dalam memahami konsep `berbagi` dan mereka sangat asing dengan konsep `rejeki`. Jika niat kita adalah mengikuti sistem mereka, dua konsep yang cukup tertanam di budaya kita ini otomatis tidak layak diperhitungkan, dong. Untuk menjawab pertanyaan, aku kasih analogi: “Apakah debt collector masih diperlukan apabila sebenarnya tidak ada konsep hutang?”
Selain royalti dari kebijakan ini, bagaimana cara bagi musisi untuk bisa terus hidup di situasi sekarang ini?
Jualan kembang, berdagang online, kerja di warung kopi, membuat kerajinan tangan, membuat inovasi baru, menulis buku, menerjemahkan buku, membuka kursus online, menggiatkan promosi Bandcamp, mendaftar jadi supir online, mengubah strategi memasarkan karya, freelance di bidang lain yang dikuasai, menawarkan jasa desain, seliweran mencari peluang sana-sini, dan masih banyak lagi. Oh, kecuali beberapa hal: tidak bisa lagi dapat tawaran main di kafe karena bawain lagu orang, tidak bisa kreatif mengcover lagu di YouTube, tidak bisa menggunakan sepenggal lagu orang di vlog, dan tidak bisa menjual seleksi playlist. Intinya, selama setahun ini, terlepas dari sulitnya kesempatan panggung, sebagian besar musisi tetap berusaha bertahan dengan caranya masing-masing, dengan potensi diri dan skill masing-masing. Di satu sisi, kita lihat musisi-musisi papan atas yang mapan juga ternyata bertahan dengan cara yang lain, yaitu royalti. Dengan kata lain, sistem royalti itu sebenarnya sudah ada. Dan kebijakan ini tidak akan signifikan manfaatnya atau justru akan mempersempit ruang gerak musisi yang tidak punya basis pengikut yang besar, khususnya musisi yang baru akan memulai karirnya dengan mengcover lagu musisi-musisi papan atas tadi.
Endah Widiastuti
Musisi / owner Earhouse
Bagaimana hidup dengan musik sebagai profesi? Apakah sudah bisa menghidupi?
Sejauh ini, sudah sejak 2008 kami bisa menjalani musik sebagai profesi utama dan bisa menghidupi.
Bagaimana pandangan anda mengenai kebijakan baru ini?
Cukup memberikan angin segar bahwasanya ada perhatian pemerintah untuk nilai-nilai Hak Kekayaan Intelektual dari sebuah lagu. Semoga pada praktiknya, lembaga dan mekanisme serta pelaku industri musiknya bisa bersinergi.
Saat kebijakan ini dirilis, banyak protes dari masyarakat yang terlanjur terbiasa menikmati musik tanpa memikirkan royalti, bagaimana kalian melihat mentalitas seperti ini?
Menurut saya wajar dan tidak apa-apa. Malah bagus karena bisa mengukur tingkat kesadaran masyarakat mengenai nilai-nilai HaKI. Berarti ada tantangan-tantangan berkaitan dengan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, bahkan mungkin juga ke pelaku (industri) musiknya juga. Nggak apa-apa, pelan-pelan kita semua sama-sama belajar.
Ada pandangan bahwa kebijakan ini nanti akan hanya menguntungkan musisi besar saja, bagaimana pendapat kalian?
Harus digarisbawahi bahwa kebijakan ini akan memihak ke “pencipta lagu”. Tidak semua pencipta lagu itu memainkan lagunya sendiri dan terkenal. Ada juga pencipta lagu yang memang hanya di balik layar, bahkan masyarakat tidak mengenalnya. Sebut saja misalnya pencipta lagu Andre Manika yang membuat lagu “Negeri Di Awan” yang dipopulerkan Katon Bagaskara. Semua orang tahu Katon Bagaskara tapi belum tentu tahu nama Andre Manika. Tentu saja ada nilai royalti/ ekonomi yang menjadi hak Andre Manika. Justru malah kebijakan ini akan sangat membantu pencipta lagu di balik layar yang bahkan namanya kalian belum pernah dengar sekalipun.
Selain royalti dari kebijakan ini, bagaimana cara bagi musisi untuk bisa terus hidup di situasi sekarang ini?
Di situasi sekarang ini tentu saja tidak hanya musisi yang mengalami kesulitan tapi juga semua lini profesi. Intinya harus kreatif dalam melakukan kegiatan, baik itu berkaitan dengan musik atau tidak. Bisa membuat daftar aset, skill, kebisaan/kemampuan yang bisa diberdayakan secara maksimal. Kemudian bisa juga berkolaborasi baik satu bidang maupun lintas bidang. Semoga dengan ikhtiar dan pemikiran yang optimis kita bisa melalui situasi sulit ini.