Yogya Dulu, Sekarang dan Pameran Virtual untuk Masa Depan bersama Uji “Hahan” Handoko
Kami berbincang dengan seniman Uji “Hahan” Handoko tentang karyanya, bagaimana budaya Yogyakarta memengaruhi karyanya, serta harapannya bagi virtual exhibition untuk berkembang di masa depan.
Words by Whiteboard Journal
Foto: Uji Hahan
Uji Hahan dikenal dengan karyanya yang warna-warni dan personanya yang selalu ceria. Kami berbincang bersama Hahan untuk melihat bagaimana iklim seni Yogyakarta, proses ia berkarya dan apa pendapatnya tentang virtual exhibition sebagai bentuk seni di masa depan.
Sejak kapan Hahan mulai berkarya sebagai seniman dan bagaimana prosesnya bisa sampai situ?
Dulu pertama ikut pameran itu bareng teman-teman himpunan. Ikut pameran karena ingin ngerasain sensasi pameran, juga ingin nunjukin kalau bisa bikin karya. Dari situ sebenarnya. Karya yang dipamerkan ketika itu bentuknya drawing, karena memang sedari dulu ingin belajar cara menggambar yang benar. Walau di kemudian hari sadar bahwa nggak ada itu yang namanya cara menggambar yang benar. Lalu karya-karya awal tuh lebih banyak drawing di atas kertas, banyak menggunakan arsiran, kalau belajar melukis tuh di tahun 2004, awalnya mural di tembok dulu. Karena dulu mendalami seni grafis, ada beberapa juga bikin karya woodcut. Kalau di pameran itu seingatku aku bikin karya satu drawing sama satu woodcut.
Hahan ada di tengah pusaran saat booming art market, bagaimana situasi saat itu? Bagaimana keadaan saat itu jika dibandingkan dengan masa sekarang?
Saya dan teman-teman angkatan tahun 2002 cukup sering nongkrong di komunitas/kolektif seni. Jadi kami sudah punya jejaring dengan beberapa komunitas seni seperti Daging Tumbuh, Yayasan Seni Cemeti yang sekarang jadi IVAA, dan kenal juga sama Kedai Kebun Forum, dan MES56. Nah sebetulnya dari situ sih, kita banyak ke luar, nongkrong di komunitas atau kolektif seni di luar, lalu dari situ sih biasanya karena nongkrong dan punya ketertarikan yang sama kadang-kadang menginisiasi project berupa pameran.
Kebetulan generasi kami punya bahasa visual yang saat itu boleh dibilang nggak biasa. Bahasa visual yang kita pakai saat itu, dan terus kita pakai sampai sekarang dengan pengembangannya ini mungkin sekarang sudah cukup umum karena banyak seniman yang memakainya, tapi sebenernya tahun-tahun itu nggak umum di skena seni rupa kontemporer di Indonesia. Kalau kita runut ada Eddie Hara, ada Apotik Komik, lalu secara individu di Apotik Komik itu ada Arie Diyanto, Bambang Toko, lalu ada Popok Tri Wahyudi, dan Samuel Indratma. Ada juga yang di luar Apotik Komik tetapi karena sering bikin karya mural jadi masuk ke beberapa project-nya Apotik Komik, contohnya ada Soni Irawan, juga Wedhar Riyadi. Di karya mereka secara bahasa visual memang ada transisi dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih baru. Nah generasi kita yang adalah generasi 2000an, sebenarnya punya bahasa visual yang bisa dirunut dari mereka, bahwa sebelumnya itu sudah ada, tetapi mungkin dengan referensi yang baru.
Lalu dengan kesadaran itu, sebenarnya kita juga enggak membayangkan akan masuk di skena seni rupa kontemporer Indonesia yang lingkarannya kecil itu, jadi kesadaran itu yang membuat kita sebenarnya akhirnya udahlah karena pilihan bahasa visual kita kayak gini, akhirnya kita mutusin untuk ya kalau kita mau jadi seniman ya karena kesenimanan kita belum bisa menghidupi kita akhirnya kita harus memilih salah satunya dengan bekerja di bidang yang lain. Jadi tetap bekerja di bidang yang lain dengan sadar menghidupi kesenian kita. Akhirnya hampir rata-rata kerjaannya ya kerja-kerja commision mural, lalu kerja-kerja lain seperti penyebar poster, leaflet distro atau event musik, pameran dan sablon kaos.
Untuk berkarya, kami juga punya kesadaran bahwa paling nggak kita harus dapat sesuatu dari karya ini selain dipamerkan secara independen, jadi kita emang muter salah satunya ke kontrakan temen-temen kita bikin pameran dan presentasi di sana atau ada temen yang kenal dengan satu kafe di sana yang aksesnya di pinggir jalan dan tengah kota bisa dilobi buat bikin pameran nah itu bisa, kita menggunakan tempat-tempat itu. Ketika itu masih belum populer mengadakan pameran di kafe, tapi ada satu tempat di Jogja itu di “ViaVia,” karena pemiliknya memang suka dengan seni rupa jadi dia memberi satu slot setiap bulan ada pameran di restorannya dia.
Saat pameran, kami punya kesadaran kalau audiensnya adalah teman-temen kita segenerasi, jadi nggak mungkin kalau kita jual karya dengan harga fantastis, jadi kita bayangin karya-karya kita saat itu tuh ya lukisan atau drawing kecil di atas material yang tidak kepake, dari potongan kayu atau mungkin bekas packaging, kalau kanvas pun pake yang kecil, kita jual dengan harga 300 ribu, 150 ribu, di barter pulsa telepon, atau mungkin aku pengen punya sepatu karena sudah jelek, ya sudah aku tukar sepatu.
Itu berjalan cukup lama, sampai 2007. Lalu saat itu kita menyebutnya dengan booming seni rupa Asia. Jadi itu gila-gilaan gede banget, ketika itu gencar-gencaran di tiap kota di Cina harus ada satu museum kontemporer jadi mereka tuh membeli sangat banyak karya-karya seniman kontemporer Cina, nah itu salah satunya. Lalu efek lainnya saat itu aku pikir ya ekonomi Indonesia sedang bagus-bagusnya, nah itu juga yang mendorong beberapa orang yang mempunyai modal akhirnya memutuskan untuk membuat galeri sebagai bisnis yang lain. Nah kondisinya saat itu karena kita nggak pernah membayangkan ada pasar yang seperti itu, ya ajaib saja bikin karya, dibeli 10 juta, itu langsung mengubah kita, istilahnya bisa beli apa saja, agak kaget juga karena kita biasa hidup dalam kondisi pas pasan. Generasi kami juga nggak siap dengan booming pasar, jadinya shock untuk menghadapi hal yang tak terbayangkan sebelumnya.
Itu fenomenanya cukup luar biasa di sana. Dulu ada yang namanya Global Art, dia menyebutnya institusinya Global Art, jadi ada satu orang yang dateng mampir ke kos-kosan, ke kontrakan temen-temen gitu spesifiknya memang lukis dia mencarinya, jadi dia nanya karyamu ada apa aja? Jadi dikeluarin tuh karya-karya tugas, karya-karya eksperimen, ada sepuluh, dia beli 20 juta. Wah saat itu gimana, kamu dapat 20 juta di depan matamu dengan karya-karya eksperimenmu buat tugas. Ajaib itu. Kemudian di tahun berikutnya, tiba-tiba generasi kita yang punya bahasa visual seperti ini yang sekarang jadi tren dan banyak banget yang merayakan ini tiba-tiba diajak pameran group exhibition di galeri komersial pertama di Jogja, lalu terjual.
Nah itu mungkin sneak peek buat kondisi pasar pada saat itu memang segitunya. Tapi selalu ada sisi positif dan negatifnya karena semua orang tiba-tiba ingin menjadi seniman, semua orang tiba-tiba ingin melukis, karena lukisan menjadi barang yang mudah diakses, lukisan menjadi benda seni yang paling mudah orang mengimajinasikan itu ke arah seni gitu dan otomatis buat mereka banyak hal lah yang menjadi alasan untuk mengoleksi lukisan. Lalu selain itu sebenarnya pada tahun itu bukan hanya lukisan yang mudah diakses, karya-karya print, sculpture, fotografi, video art itu sebetulnya punya market juga, jadi lebih luaslah saat itu.
Setiap kota memiliki warna dan iklim seninya, termasuk di Yogya, bagaimana iklim seni Yogya membentuk karakter Hahan sebagai seniman?
Di Yogya, saya justru lebih banyak belajar dari komunitas atau kolektif ketimbang dari institusi seni yang formal. Nah yang menarik di Yogya sebetulnya karena semua itu berjalan dengan pertemanan, saat seorang teman bikin sesuatu, teman yang lain akan mendukung kamu. Dan transformasi ilmu pengetahuan itu ditemukan dari nongkrong gitu bener-bener dari main.
Yang menarik juga mungkin di festival besar seperti Artjog yang muncul di tahun 2008. Mereka banyak mengundang volunteer, dan banyak dari kami kemudian juga mendaftarkan diri jadi volunteer karena kita bisa ketemu seniman idola kita. Dari yang pertama ketemu mereka, bisa ngobrol, bantuin mereka display, lama kelamaan kita secara tidak langsung jadi deket, bisa mampir studio dan bertanya-tanya. Prosesnya kan memang secair itu, dan biasanya tidak ada senioritas di hubungan yang ada. Format obrolannya pun sangat cair, junior bisa mengkritik senior, senior bisa memberi masukan dan mengkritik junior.
Dengan kemunculan-kemunculan kelompok seni atau kolektif di Jogja, akses kita untuk belajar melalui nongkrong jadi semakin terbuka. Sampai ada kesadaran bersama teman-teman seangkatan yang membayangkan bahwa nonton pameran itu bukan main, tapi belajar. Kita belajar dengan menguping, mendengarkan, dan bertanya. Saat itu juga Yayasan Cemeti banyak sekali program, nah itu untuk kita menjadi salah satu tempat belajar kami. Jadi bukan dari institusi formal, tapi kelompok-kelompok seniman, di studio seniman, di angkringan itu jadi tempat kita belajar. Di situ sih dinamikanya. Jadi yang menurutku kalau aku bisa ngomong yang membentukku ya kota ini, dengan pertemanannya, dengan jaringannya, di situ sih.
Karya Hahan banyak bermain dengan visual dan nuansa yang lekat dengan imaji jalanan, apakah ini usaha untuk Hahan untuk mengangkat imaji-imaji jalanan? Atau ada motivasi lain?
Seniman itu punya selera atau karakter, selera itu sebenarnya sangat melekat dengan kita, bagaimana kamu dibesarkan, bagaimana kamu makan, bagaimana kamu minum, bagaimana kamu berpakaian, bagaimana kamu mengonsumsi sesuatu, baik itu majalah, komik atau apapun itu yang membentuk kita di depan. Dengan landasan itu kita berkarya.
Kalau aku, awalnya karena akses karya seni yang aku dapetin sejak kecil yang paling gampang sampai ke tangan ku paling kan cover kaset, lebih besar dikit baru kenal skateboard, deck grafis di skateboard, lalu film animasi itu kan hal paling pertama aku ketemu sebelum aku ketemu namanya lukisan, sebelum ketemu sculpture, atau performance art, atau video dan yang lainnya. Lalu pilihan-pilihan apa ya imaji atau warnanya sangat bright atau cerah itu ya karena, kalau aku sih, membayangkan kalau warna itu jadi salah satu pilihan untuk menarik audiens. Jadi, kalau warnamu ngejreng itu mau ditaruh di mana pun juga tetep kerasa, warna tabrakan itu kan sebenernya efeknya nggak enak banget, tapi permainan itu yang menarik buat aku untuk menunjukkan rasa visualku, lalu memang visual adalah langkah awal untuk memikat audiens, setelah itu audiens baru dibawa ke gagasan di belakang karyanya.
Jika dulu karya Hahan identik dengan karya di kanvas, belakangan karya Hahan masuk ke bentuk-bentuk lain, apakah yang dicari dalam perkembangan karya ini? Dan apa yang ditemukan dalam perjalanan eksplorasi ini?
Sampai sekarang masih bisa ngomong kalau karyaku pertama itu drawing, karena dari drawing itu berikut-berikutnya mengikuti gagasan yang aku bayangkan saat pengerjaan. Soal medium apa nantinya, itu mengikuti gagasan saja. Kalau misalnya gagasan kita butuh dimensi lain, mungkin akan coba dengan pendekatan sculpture, tapi kalau cukup di drawing, ya sudah drawing saja.
Beberapa karya mungkin bisa lebih maksimal kalau bentuknya performatif atau bahkan dalam bentuk sistem, karena itu mungkin yang paling bisa mentransfer gagasan ke audiens. Jadi pilihan medium itu adalah keputusan politis sebenarnya. Tapi, kesadaran yang seperti ini juga tak langsung saya pahami. Ada proses-proses belajar, dan proses-proses membuat karya. Baru ada kesadaran penting ini lahir sekitar 2010 atau 2011-an lah.
Hahan juga menginisiasi Ace House Collective, apa motivasinya? Bagaimana perjalanan Ace House Collective sampai sekarang?
Ace House itu sebetulnya bukan aku saja, aku cuma salah satu anggota. Ace House itu awalnya diinisiasi oleh 21 orang di tahun 2011, karena 2009 saat awal market turun, tiba-tiba banyak proyek harus batal. Kita dihadapkan dengan ambruknya pasar booming seni rupa. Aku melihat bahwa market masih ada, tapi nggak segila kayak dulu. Infrastruktur sudah mulai terbentuk, ada profesi-profesi baru seperti art handler, artisan, atau manajer galeri atau manajer seniman yang tumbuh saat itu.
Di saat kondisi seperti itu, kita menemukan teman-teman tongkrongan itu malah memilih untuk tinggal di sini dan berkesenian, Itu jadi pertanyaan besar, gimana melihatnya kalau kondisinya saat ini kayak gini, berarti itu ada hal lain yang kita perlukan. Yang kita perlukan adalah sosok yang bisa menemani dan kita juga butuh ditemani di situlah akar dari Ace House. Kami banyak berdiskusi tentang gagasan ini sejak tahun 2010 sampai tahun 2011, kita pake warung kopi gitu, yang tiap hari Minggu kita dateng buat ngobrol, minggu depannya kita dateng buat ngobrol, bayang-bayang kita ada yang oke, ada yang enggak, dan akhirnya menemukan visi misi bersama.
Lalu 2011 kebetulan itu Biennale Yogya yang pertama dengan seri ekuator. Kami apply untuk kompetisi di paralel event, dan ternyata menang. Kita ngerjainnya setahun, dari membayangkan pendanaannya gimana, karyanya seperti apa. Sampai kita menang walaupun hadiahnya sebenarnya nggak sebesar modal yang kita keluarkan, tapi seenggaknya kita merasa obrolan yang kita lakukan selama ini bisa diaktualisasikan ke dalam bentuk karya kita yang baru.
Nah akhirnya justru setelah menang itu kita merasa seharusnya kita jangan menang, karena kalau menang itu kita jadi merasa puas. Nah karena menang itu akhirnya kita merasa ah yoweslah nanti aja. Jadinya setahun itu Ace House setelah 2011 nggak ngapa-ngapain. Jadi kayak bener-bener hilang, maksudnya hilang itu nggak jadi obrolan bareng-bareng, nggak diomongin, kita nggak ngomongin.
Kebetulan 2012 akhir, kita ketemu sama Ade Darmawan, saat itu kebetulan Ade Darmawan yang memegang Jakarta Biennale. Saat ngobrol, Ade bertanya “Ace House lagi ngapain nih?” Kami lalu menjelaskan beberapa ide, dan ternyata ide tersebut dipilih untuk pameran Jakarta Biennale.
Ternyata hasil kita mengumpulkan dana untuk karya itu ada sisa, “Wah sisa nih, mau gimana nih, mau dibagi sebagai fee buat temen-temen atau mau gimana?” Akhirnya banyak muncul dari teman-teman kalau kita sepertinya butuh ruang, di mana kita akan berkomitmen dengan ruang tersebut, mau gak mau kita akan membikin program dan otomatis dari situ waktu aktivitas kita jadi lebih jelas karena kita nggak numpang tempatnya. Lalu, kalau sudah punya tempat kamu harus ikut produktif bikin karya atau bikin project. Akhirnya dari 2013 itu kita mutusin dari sisa uang itu kita ngontrak satu rumah buat ruang yang sebenarnya dari awal kita memaknai ruang itu sebagai project kita.
Sampai tahun 2018, Ace House berjalan cukup aktif dengan beberapa residensi. Tapi karena kebutuhan individu yang mengelola Ace House semakin lama semakin berumur dengan tanggungan yang semakin banyak, jadi waktu-waktunya itu sudah nggak sefleksibel dulu. Sampai pada titik kita memutuskan, 2020 sebagai tahun akhir penutupan program ruang ini.
Ternyata saat kami bercerita bahwa ruang ini akan ditutup, ada beberapa teman yang merasa bahwa tempat kami penting untuk terus ada, “Wah ya jangan dong, ini penting nih. Harus ada ruang kayak gini”, kami membalas, “Ya kalau penting, ya dipatungin lah”. Akhirnya kita patungan.
Sekarang ruang Ace House dibagi jadi beberapa ruangan. Ruangan depan untuk Kedai Kerjasama yang menjual kopi, snack, dan semacamnya, ada ruang untuk studio musik tempat anak-anak band The Trengginas latihan, studio Prontaxan untuk produksi musik, podcast hingga video, lalu ada galeri yang dikelola oleh Ace House Collective, kebetulan kami baru habis bikin pameran dari program Broken White Projects yang baru kita inisiasi sebagai program setahun ini. Dan di sisi belakang ada Mimbar Si Baud yang jualan se’i sapi. Kami lalu menamai ruang ini Ace CBD, Ace Creative Business District (tertawa).
Selain di visual, Hahan juga bermain di musik, apakah Hahan juga melihat itu sebagai bentuk karya atau cara untuk menyegarkan isi kepala?
Ya bisa dibilang kalau itu istilahnya bentuk rekreasional estetik. Kita membayangkan project band atau musik sebagai project seni rupa dengan media musik gitu.
Salah satu trigger buat saya adalah band Seek Six Sick, bandnya Jinmy Mahardika sama Sony Irawan. Bandnya keren dan yang menjalankan juga seniman. Saya lalu bikin proyek bersama teman-teman setongkrongan yang namanya The Taylor, karena untuk performance, kami biasanya jahit kain untuk kostum. Karena saya suka musik yang pumping kayak disko, house, di tahun 2004 awal, saya bertiga dengan Iyok Prayogo (Irama Peluru dan Grave Digger) dan Krisna Widyatama (Liwot dan Soda Dosa) membentuk DJ Kaset yang mencampurkan musik disko dan Noise. Saya muter kaset, Iyok main scratch tapi pakai kaset, dan Krisna main frekuensi radio SW yang dimodifikasi serupa alat musik theremin. Ini menjadi cikal bakal Black Ribbon YK bersama Prihat ‘Moki’ Catur di perkusi ( Siksri dan Airpot Radio). Kami juga sempat bereksperimen dengan keyboard yang dimodifikasi sedemikian rupa buat bikin suara-suara aneh. Setelahnya Black Ribbon YK bercampur dengan band Demi Tuhan (proyek musiknya Wok The Rock dan Edwin ‘Dolly’ Roseno), merger dua proyek musik ini kita namai The Spektakuler.
Ketertarikan saya terhadap musik elektronik dan live PA membuat saya menginisiasi Hengky Strawberry di tahun 2005/2006 bersama Uma Gumma dan Lintang Enrico yang aktif di Sound Boutique. Di akhir tahun 2005 beberapa personil dari band atau project musik dari kampus seni ini digabungkan oleh Danius Kesminas seniman yang tinggal dan berkarya di Melbourne, gabungan ini menjadi proyek musik dan seni rupa yang masih aktif sampai sekarang bernama Punkasila.
Yang terbaru di Prontaxan. Di Prontaxan awalnya kita main happy hardcore remix-nya Aqua dan Vengaboys, tapi kami kemudian tertarik untuk mengeksplor musik funkot. Saat melihat bahwa tempat di mana kami biasa bermain ternyata kurang familiar dengan musik funkot, kami memodifikasi lagu-lagu indie seperti Barasuara, Efek Rumah Kaca dan semacamnya untuk di-remix jadi musik funkot. Ternyata banyak yang suka dan jadi ramai. Cuma ya setahun kemarin kami stop main dan banyak main di online-online saja.
Tahun kemarin membuat kita berhenti, pentas musik berhenti, seni juga terdampak. Bagaimana mengakali situasi seperti ini supaya tetap produktif?
Walau pentas musik berhenti, kami masih bermain di online. Kami juga menginisiasi beberapa inisiatif seperti “Balai Lelang Prontaxan” untuk menyiasati interaksi dengan publik saat bermain online. Kami juga beberapa kali mendapat ajakan untuk mengisi di radio-radio online seperti untuk NTS, sampai Noods Radio.
Di seni rupa ya kita memang harus mengikuti situasi juga. Saat ini yang jadi solusi adalah virtual exhibition, maka kita belajar di situ. Tapi situasi tahun lalu juga memberiku waktu untuk lebih banyak di studio, lebih banyak berkarya dan mencoba hal-hal baru.
Situasi tahun lalu juga jadi inspirasi karyaku. Hal-hal baru yang kita temui sekarang jadi aku kumpulin untuk merepresentasikan kondisi saat ini dalam objek karya seni. Di Yogya juga ketika itu mulai aktif, karena komunitas yang ada nggak diam saja. Seperti yang dilakukan oleh MES56 dengan membagi bagikan masker dan membuat dapur umum kolektif bersama jejaring seniman maupun kolektif seni yang lain agar dapat membantu teman-teman yang terdampak.
Kebetulan sejak tahun 2019, aku mengangkat tahun-tahun yang kita lewati sebagai tema seri karya. Di tahun 2020 aku cukup banyak bikin karya, karena studio harus tetap jalan, banyak yang harus dihidupi.
Apa yang paling menantang saat seni harus semakin integral dengan teknologi? Dan Bagaimana Hahan bisa belajar dari situasi yang demikian?
Yang paling menantang adalah konsisten untuk membuat karya seni. Karena seharusnya dalam kondisi apapun, kita punya kesadaran untuk tetep bikin karya, apapun itu. Saat kita harus mengadaptasi teknologi, ya kita harus belajar. Mungkin tidak mempelajari bidang teknis sampai mahir, tapi setidaknya kita paham cara kerjanya, supaya kita tahu bagaimana kemungkinannya untuk karya kita nanti.
Apa yang rewarding dari pengalaman belajar ini?
Sebenarnya yang paling menarik adalah untuk belajar ini kita harus banyak bertemu orang dari bidang lain untuk mewujudkan karya di bidang virtual exhibition ini. Karena sebenarnya kita berangkat dari gagasan yang mungkin buat kita sudah oke, tapi karena bertemu orang, membuka kemungkinan lain yang membuat gagasan itu semakin meruncing, dan semakin tajam.
Bagaimana harapan Hahan pada model pameran virtual exhibition?
Sepertinya upayanya sudah banyak ya. Upaya yang mendekatkan tentang pengalaman ruang itu sudah ada. Upaya untuk memindahkan agar sedekat apapun audiens dengan karyanya itu juga sudah ada. Jadi akan ada dua kemungkinan, pameran bentuk virtual itu ada karena ini akan membuka kemungkinan orang lain untuk melihat karya-karya seniman di satu tempat yang mungkin berjauhan, yang mungkin akan membuat mereka penasaran untuk melihat karya langsungnya dan akhirnya mereka datang ke pameran gitu. Jadi tetap ada dua. Jadi mungkin men-display karya di ruang pamer itu masih tetap penting. Mengalihmediakan adalah salah satu upaya untuk menemukan audiens-audiens yang baru.