We Discuss: Apakah Komunitas Kita Ramah Bagi Semua?
Masih dalam program #DirektoriKota, kami bergabung dengan Camelia Harahap dari British Council untuk membahas pentingnya akses dan inklusivitas dalam komunitas-komunitas kita, bersama Hasna Mufidah (Fantasi Tuli), Ratu & Ryan (SUBSTitute Makerspace), Surya Sahetapy (Handai Tuli)
Words by Emma Primastiwi
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Moderator: Camelia Harahap (British Council)
JBI: Ephi Sudirman, Andhika PratamaNarasumber: Surya Sahetapy, Hasna Mufidah, SUBSTitute Makerspace
Transkripsi: Adinda Mutiara
Camelia Harahap (British Council):
Acara hari ini merupakan rangkaian program dari Direktori Kota, hasil kerja sama Whiteboard Journal dengan British Council. Hari ini pembicaraan kita akan mencoba untuk highlight mengenai isu disabilitas dan inklusivitas di ruang hubs maupun kolektif dan komunitas seni kita. Mungkin aku bisa kasih gambaran juga, sudah banyak juga yang sudah tahu ya, bahwa sebenarnya Indonesia juga sudah punya undang-undang terkait penyandang disabilitas, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016. Sejak itu pun, banyak dari pemerintah pusat dan kota, mencoba untuk berkomitmen untuk menggalakan inklusivitas. Walaupun mungkin penyelenggaraannya di lapangan masih belum fully inklusif. Nah buat kita, di level komunitas, kolektif dan hubs, kita mau ngeliat apakah sebetulnya peran hubs, komunitas, maupun kolektif, itu sudah mengarah ke inklusivitas?
Dan jika belum, apa aja sih yang bisa kita lakukan. Hari ini kita sudah ajak diskusi 3 narasumber dari berbagai sektor dan memiliki peran yang berbeda-beda. Ada Surya Sahetapy, Hasna Mufidah atau biasa dipanggil Mufi, dan Mbak Ratu dari SUBStitute Makerspace.
Halo, apa kabar semuanya? Mungkin aku minta dari masing-masing sumber untuk perkenalkan singkat dulu
Surya Sahetapy (SH):
Perkenalkan nama saya Surya. Saya Tuli. Saya mahasiswa di Rochester University. Awal Covid menyebar disini, ada banyak kesulitan. Di Amerika, banyak orang-orang melakukan pertemuan online seperti zoom. Tetapi, teman-teman di Indonesia masih susah menggunakan akses online. Bukan masalah teknologi. Tapi, teman-teman Tuli masih sulit memahami teknologi tersebut. Seharusnya harus ada interpreter bahasa isyarat yang dapat diakses. Itu sebenarnya adalah akses yang harus diberikan ke semua orang juga, maksudnya itu juga penting untuk membuat orang-orang dapat berkomunikasi dengan teman-teman Tuli. Mungkin awalnya masih sulit ya, tapi karena sudah terbiasa mengakses online setiap hari, saya berharap teman-teman Tuli sudah mulai paham dengan teknologinya. Orang-orang udah mulai paham tantangannya apa, dan mungkin bisa mencari solusinya.
Hasna Mufidah (M):
Perkenalkan nama saya M-U-F-I, Mufi. Saya dari Fantasi Tuli. Mungkin teman-teman belum tau ya Fantasi Tuli itu apa. Fantasi Tuli adalah organisasi Tuli yang berkonsen di dunia seni, atau teman-teman Tuli yang memang tertarik di dunia seni, seperti teater, film, design, dan lain-lain. Situasi Covid ini sangat berpengaruh besar, betul sekali. Pengalaman saya, bulan ini diberi kesempatan untuk performing arts secara online. Karena sebelumnya, sampai berbulan terakhir ini, selama Covid ini tuh belum ada kegiatan. Mulai dari situ, saya mulai berfikir bahwa bagaimana ya Fantasi Tuli ini dapat terus berkarya, dan tentunya terus mendukung teman-teman Tuli di luar sana, dan untuk membuat teman-teman Tuli tuh bersemangat dalam berkegiatan, dan lain sebagainya. Contohnya, Fantasi Tuli mempunyai ide dan mencoba photoshoot dengan situasi virtual. Ketika Fantasi Tuli melakukannya itu hasilnya sangat bagus dan sekarang kami sedang fokus dengan ide tentang fashion, seperti membuat pernak-pernik. Jadi, fashion-nya itu kita jual itu semua secara online. Terus, ini juga menjadi kesempatan bagi teman-teman Tuli untuk berkegiatan di situasi Covid-19 ini. Tapi, itu tergantung dengan situasi sih. Seperti kemarin PSBB, dan sekarang PSBB lagi. Bagaimana sih kami berkegiatan? Contohnya harus tetap di rumah, dan tidak bisa keluar, tidak bisa seperti dulu lagi, seperti meeting, atau shooting. Seperti itu sih yang saya masih harus beradaptasi lagi, tantangannya disitu sebenarnya. Terima kasih.
CH:
Terima kasih banyak Mufi, Surya, dan Mbak Ephi atas translation-nya. Mungkin Mbak Ratu bisa memperkenalkan diri?
Ratu (R) :
Halo, saya Ratu dari SUBStitute Makerspace. Saat ini, kami bertempat di Surabaya. SUBStitute Makerspace adalah ruang karya bersama yang mengusung semangat inklusivitas pada pembuatannya. Kenapa? Karena kami menegaskan bahwa dari awal kami itu adalah an access to tools and knowledge. Jadi, misalkan kita bilang access, tapi tidak bisa diakses oleh semua orang, ya berarti kita bukan ruang yang bisa diakses kan? Nah, saat ini kami memang menyediakan workshop tidak berbayar untuk teman-teman disabilitas atau memang teman-teman dari kelompok marginal, seperti itu. Untuk saat ini, kami juga masih berusaha untuk mengenalkan tempat kami sebagai safe space to everyone, karena agar orang-orang bisa maksimal menggunakan tempat kami untuk berkarya atau berproduksi. Seperti itu Mbak, terima kasih.
KM:
Oke, makasih banyak Mbak Ratu. Kita balik lagi ke sesi ngobrol-ngobrol-nya nih. Tema besar dari acara ini kan buat ngeliat apakah hubs kolektif atau komunitas seni kita sudah menjadi ranah bagi semua kalangan. Contohnya, di webinar sebelum ini, kita juga sempat berdiskusi dari perspektif gender. Namun, di hari ini kita akan ngomongin dari perspektif teman disabilitas. Jadi, aku pengen denger dari kalian, kira-kira tanggapan kalian seperti itu?
SH:
Tema ini sangat penting sekali karena kita harus membuat tempat yang inklusif. Tema inklusif itu memang banyak orang belum paham ya. Sebelumnya, awal kata disabilitas dulu mungkin orang-orang berpikir itu hanya disabilitas fisik saja, tidak bisa lihat, tidak bisa dengar, dan lain-lain. Sebetulnya, kata disabilitas itu artinya berbeda. Contoh, lebih pada lingkungan. Contoh aja ya, dalam suatu pertemuan, semuanya berbicara dengan bahasa Perancis, ada satu orang lagi yang dari Indonesia datang, ikut dalam rapat tersebut. Tapi, dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi dalam situasi itu. Padahal sama-sama orang dengar, bukan? Nah, itulah sebenarnya kenapa satu orang itu butuh penerjemah French-Indonesia kan. Sebenarnya siapa yang disabilitas disini? Artinya, disabilitas itu apakah satu orang ini disabilitas? Atau yang disabilitas itu adalah orang yang Perancisnya yang butuh penerjemah tersebut?
Misalnya, teman-teman Tuli ini menggunakan bahasa isyarat full dan ada satu orang yang dengar yang tidak tahu bahasa isyarat masuk dalam lingkungan tersebut dan tidak tahu teman-teman Tuli sedang bicara apa. Di sini siapa yang sedang disabilitas? Apakah Tulinya atau orang yang tidak bisa dalam menggunakan bahasa isyarat? Nah, orang ini membutuhkan satu penerjemah bahasa isyarat. Artinya apa? Artinya, sebenarnya semuanya ini adalah lingkungan dan kalian semua membutuhkan akses. Dan saya berpikir bahwa, oh, sebenarnya yang butuh akses itu hanya teman-teman disabilitas saja, tidak, semua orang itu punya resiko untuk menjadi disabilitas. Nah, itu butuh edukasi, bukan hanya teman-teman disabilitas fisik yang memiliki hambatan.
Ya, sebenarnya yang membuat itu jadi hambatan adalah orang lain yang mungkin membuat kita menjadi disabilitas. Tapi, ketika orang tersebut itu sudah diberikan pemahaman bahwa “Tidak, kita tidak disabilitas”, nah itu memperlihatkan diri kita bahwa kita tidak disabilitas, kita sama dengan yang lain. Saya dan teman-teman Tuli saya itu bekerja sama untuk advokasi, caranya bagaimana seluruh dunia ini, dunia Tuli dan dunia dengar bisa bekerja sama. Karena, saya melihat masih banyak diskriminasi. Sebab karena adanya ketidaktahuan. Sebenarnya itu bukan diskriminasi, tapi hanya ketidaktahuan saja dan butuh edukasi saja. Artinya apa? Ini butuh sebuah kesadaran dan ini butuh sebuah edukasi ke masyarakat. Beberapa sekolah inklusif itu menerima teman-teman disabilitas sekolah disitu, tapi tidak memberikan akses. Contohnya ya, ini hanya contoh saja, ada acara, dia menerima “Ayo, Tuli bisa ikut di acara ini” dan ini acara inklusif. Betul, tapi, aksesnya tidak bisa, aksesnya tidak ada. Berarti acara tersebut belum inklusif. Jadi, inklusif itu bukan hanya menerima saja, tapi juga memberikan akses.
CH:
Oke, terima kasih banyak Surya. Menarik banget, karena yang aku lihat berarti tugas kita sebenarnya bagaimana membuat tempat menjadi lebih inklusif dan banyak diskriminasi dan ketidaktahuan itu muncul karena perspektif mengenai disabilitas itu berbeda. Mungkin yang sebenarnya membuat kita disabilitas itu bukan orangnya, tapi lingkungannya yang tidak memberikan akses. This is really interesting. Sangat menarik buat kita bahas lebih lanjut. Apakah Mufi punya pandangan atau tanggapan terhadap ini sebagai pencetus Fantasi Tuli?
M:
Betul bahwa teman-teman Tuli itu memang disabilitas, tapi sebenernya teman-teman Tuli itu hanya berbeda dalam berbudaya saja. Secara fisik, teman-teman Tuli tidak terlihat disabilitas. Otomatis, itu membuat pemerintah melihat kami, melihat kemampuan kami di seluruh Indonesia itu seperti belum berkembang. Sebenarnya, jika masyarakat Indonesia bisa terbuka menerima kami, kemampuan teman-teman Tuli di seluruh Indonesia itu bisa berkembang. Artinya, bahwa teman-teman Tuli di seluruh Indonesia bisa berkembang dan bisa maju dan pastinya berharap bahwa masyarakat di Indonesia bisa ramah disabilitas. Biasanya, banyak sekali terjadi diskriminasi karena sesuatu yang tidak nyaman contohnya. Banyak yang bilang teman-teman Tuli tidak bisa apa-apa, teman Tuli itu bodoh, padahal sebenarnya, kita itu hanya butuh mengedukasi orang-orang tersebut aja.
Contohnya misalkan, ada seorang dancer Tuli, tapi banyak orang yang bilang “Kamu kan Tuli, apakah kamu bisa nge-dance? Apakah kamu bisa ngikutin musik?” Padahal masalahnya bukan disitu. Tapi itu hanya masalah perbedaan budaya cara bagaimana merasakan musik. Temen-temen Tuli itu sekarang mempunyai kesempatan yang sangat bagus dan motivasi yang sangat bagus untuk bisa menunjukkan kepada masyarakat atau kepada orang dengar, bahwa kita bisa menunjukkan kemampuan kita.
Sebenarnya, ini akan sangat bagus sekali ketika melibatkan teman-teman Tuli dalam setiap kegiatan yang dibuat oleh teman-teman dengar. Saya pikir, mungkin, hal biasa yang bisa dilakukan adalah belajar berkomunikasi. Misalkan kayak sebenarnya bahasa isyarat itu bisa dipahami oleh teman Tuli dan teman-teman dengar. Maka, antara dunia ini, antara teman Tuli dan teman dengar, itu bisa bersatu. Nah, disitulah bisa terjadi yang namanya inklusif.
CH:
Terima kasih banyak, Mufi. Jadi, menarik banget ya, karena menurut Mufi, kita harus bisa melibatkan teman-teman Tuli dalam program dengan teman-teman dengar. Dan salah satu cara untuk breaking barriers-nya itu adalah dengan cara belajar berkomunikasi. Disitu akhirnya kita bisa menciptakan ruang yang lebih inklusif. Mbak Ratu sebagai SUBStitute Makerspace yang punya program bersama teman-teman disabilitas, kira-kira tanggapannya seperti apa, Mbak?
R:
Pertama, SUBStitute Makerspace kan mencoba mengenalkan diri sebagai ruang yang inklusif, dan orang-orang selalu berkata “Kenapa sih kamu repot-repot kok menyematkan nama inklusivitas?” Itu memang hal yang baru di Indonesia, apalagi di Surabaya, di mana orang-orang beranggapan bahwa tidak ada masalah, everything’s okay di Surabaya, seperti itu. Lalu, kami mencoba mengenalkan kata-kata itu “Emang apa sih itu inklusivitas?”. Bahkan ada sebuah sekolah inklusif yang wali muridnya komplain, “Sekolah ini bagus, tapi sayang kok ada anak disabilitas juga diikutkan di proses belajarnya”. Masih seperti itu ternyata di Surabaya, itu di SMA negeri. Nah, di saat kami mencoba memperkenalkan diri sebagai ruang yang inklusif, kami juga mengoreksi diri kami. “Bagaimana sih caranya supaya kita bisa inklusif?”. Pertama, tentu dengan membuat desain-desain ruang yang bisa mempermudah teman-teman untuk mengaksesnya. Seperti, ruang geser, sliding doors, atau mungkin toilet yang non-binary gender.
Di saat kami mencoba untuk merekrut pegawai, yang kami tanyakan selalu, “Apa kebutuhanmu untuk efektif dalam bekerja?” Karena bisa jadi, ternyata dia tidak tahu bahwa mungkin dia ada kebutuhan khusus yang tidak umum untuk diaplikasikan di ruang kerja, seperti bisa jadi dia kidal, atau bisa jadi dia bener-bener butuh ruang yang sepi. Itu cara kami pertama kali menanamkan nilai inklusif di tempat kami. Lalu, kedua, dengan kita stating bahwa kita inklusif, kita terus menerus mengoreksi apa sih yang kurang. Di saat kita sedang mengajak teman-teman kita yang disabilitas, entah itu yang tampak atau tidak tampak, dengan menuliskan nama kita sebagai inklusif, kami terus mengoreksi apa yang kurang. Seperti sahabat saya yang saya udah kenal lama, ikut bikin plant shelf di woodworking area kami dan ternyata dia tidak bisa menggunakan peralatannya. Kenapa? Karena dia kidal. Jadi, ternyata kami juga baru tau, “Oh ternyata, peralatan-peralatan perkayuan itu tidak didesain untuk teman kidal.”
Terus ada juga, salah satu pegawai lepas kami yang ternyata dia itu protes di status Whatsapp-nya, kalau ada ruang khusus untuk asi, kenapa tidak ada ruang khusus untuk anxiety. Jadi, justru dengan kita stating kalau kita itu inklusif, kita semakin mencoba untuk mengenali atau berusaha peka untuk kebutuhan orang lain dan tentu saja itu empathy kita akan semakin terasa. Selain kita assessment untuk diri kita, program ini kan hampir gak ada di Surabaya, dan untuk mengajak teman-teman mengikuti program kami, kami pun sampai masih harus mengatakan “Ini program khusus untuk kalian.” Itu kan jadinya gak inklusif, gitu kan (ketawa). Tapi, di saat akhirnya bergabung dengan teman-teman yang lain, mereka akhirnya merasa percaya dirinya tumbuh, dan mereka merasa tidak ada masalah, dan mereka naturally akan membantu memenuhi kebutuhan teman-teman disabilitas. Saya juga selalu menanamkan, penuhi apa yang memang jadi kebutuhan dasarnya. Karena saya ingat kata-katanya Mas Rubi dari kerja disabilitas, justru yang menjadi disabilitas itu adalah kita. Dan dari situ saya belajar, cukup penuhi kebutuhan dasarnya yang tidak umum, atau memang tidak ada fasilitas seperti biasanya. Dari situ, kemudian mereka sebenarnya bisa apapun. Itu sih yang saya pelajari dari Mas Rubi, itu yang selalu saya coba terapkan di ruang karya saya.
CH:
Terima kasih banyak Mbak Ratu. Jadi, lewat SUBStitute Makerspace ini, Mbak Ratu dan SUBStitute mencoba untuk menanamkan value-value yang inklusif ya. Mungkin dimulai dari yang pertama adalah memberikan kebutuhan dasar dan fasilitas akses-akses yang mungkin memudahkan untuk teman-teman disabilitas. Tapi, juga dalam proses ini, masih terus berusaha mengenal semua kebutuhan untuk orang lain dan ini proses yang terus berkeMbakng dan dikoreksi. Dan mungkin mengajak teman-teman lainnya juga untuk ikut dan mikirin soal inklusivitas yang masih jadi PR kedepannya ya, masih terus berjalan proses dan kebutuhan-kebutuhannya.
Aku pengen tanyain ke temen-temen semua yang hadir di sini sebagai narasumber, sebetulnya bagaimana sih untuk Surya dan Mufi sebagai teman disabilitas, melihat dari pola dari kolektif dan komunitas kita? Apakah kira-kira komunitas dan kolektivitas kita sudah memberikan ruang bagi para teman-teman disabilitas yang lain? Dan kira-kira apa sih stigma yang biasanya didapatkan oleh teman-teman saat bergabung atau bekerja di ruang kolektif dan komunitas?
SH:
Betul sekali bahwa komunitas itu banyak sekali. Sebetulnya itu adalah sebuah kesempatan, betul. Nah, kesempatan ini adalah yang harus diberikan untuk teman-teman disabilitas. Tapi, ada beberapa kesempatan ini yang belum bisa diambil karena adanya hambatan. Contohnya, biasanya itu masalah aksesnya. Kesempatan ini bisa menjadi kesempatan belajar, tapi oh butuh akses, oh butuh JBI, tapi gak bisa ada JBI karena gak dana, dan sebagainya. Ini adalah hambatan-hambatan yang sering terjadi dan ini seperti sebuah pencarian interpreter yang sulit dicari. Biasanya, teman-teman Tuli itu berjuang sendiri untuk mendapatkan akses tersebut. Artinya apa, sebetulnya misalkan ada acara, itu harusnya ada akses, dan itu adalah tanggung jawab si pembuat acara untuk memberikan akses untuk teman-teman disabilitas.
Misalnya, ketika membuat acara, orang itu belum memikirkan masalah akses ini. Hanya sebuah tagline bahwa “Oh, iya acara ini dapat diakses oleh teman-teman disabilitas semua”. Begitu daftar, dan itu zonk. Tidak ada akses. Ini adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi acara inklusif. Kalau saya pikir, apakah semua orang memahami tentang akses tersebut? Harusnya memang kita harus mulai dari mana sih untuk memahami ini? Nggak harus mulai dari pendidikan, bagaimana tentang dunia Tuli, harus peka terhadap disabilitas, harus tau tentang teman-teman Tuli. Misalkan kayak kita bingung nih kita harus komunikasi kayak gimana sih? Oh, bisa pakai teks. Kalau misalkan sama teman-teman netra itu komunikasinya pakai apa sih? Oh, pakai braille. Misalkan bertemu dengan disabilitas lain di masa depan, di kemudian hari. Ketika anak dari kecil sudah diajarin, mereka tumbuh dewasa dan ketemu sama teman-teman disabilitas, abis itu merasa biasa aja, merasa nyaman. Karena mereka waktu kecil sudah diajarin, tapi ketika anak-anak di sekolah ini tidak tahu dan tidak peka tentang disabilitas atau tidak pernah mengenal siapa itu disabilitas, nah di situ mereka tumbuh dewasa, mereka tuh akan seperti kayak kagok gitu.
Contoh, misal, di sini kan dipisah ya antara sekolah umum dan sekolah SLB. Nah, sebetulnya, inklusivitas itu artinya apa sih? Sekolah umum dan sekolah disabilitas itu harusnya itu kayak ada seperti ada program pertukaran, oh saling kenal, ada anak-anak yang saling kenal satu sama lain. Seperti, melihat disabilitas biasa aja gitu. Tapi, sebab Indonesia melihat disabilitas itu kayak, “Ah, orang-orang disabilitas itu kaku” dan sebagainya. Padahal mereka tidak diberi ruang untuk saling berkenalan. Tapi sekarang, sebenarnya teknologi kan sudah sangat membantu sekali, bahwa orang-orang yang sebelumnya belum pernah bertemu teman-teman disabilitas, justru mulai terbuka berkenalan dengan teman-teman Tuli atau mulai buat video call atau membuat video edukasi atau konten. Sebab konten ini, membuka dunia dan akses dan sebenarnya ada banyak sekali yang dapat dipelajari di sini. Nah, sebenarnya ini tinggal praktek saja. Memang situasi agak sedikit berbeda. Contoh misalkan, kita buat video tapi teksnya tidak ada, itu biasanya kan banyak orang yang minta teks gitu. Tapi, kalau di Amerika, Universitas Harvard ada kelas online tapi tidak ada akses. Terus bagaimana? Organisasi Tuli itu menuntut Harvard, meminta teks. Sebab, ada peraturan yang melindungi hak-hak teman-teman disabilitas. Artinya apa? Ya saya gak mau tau berapa jumlah uang yang harus dilakukan, terserah. Karena itu memang ada hukumnya, dan saya bisa menuntut. Nah, hukum yang melindungi tentang masalah teks ini di Indonesia belum ada ya. Tapi, saya memang tidak berusaha cepat-cepat merubah hukum. Tidak. Tapi itu seperti sebuah edukasi.
Contoh, misal, ada teman satu kelas saya tanya “Gimana sih pengalaman teman-teman Tuli buat film?”. Jadi saya ingin bertukar-tukar pengalaman dengan teman bahwa kalian harus merasakan pengalaman saya. Menonton film, itu ada suara tapi teksnya itu ada. Nah, itu menurut orang dengar itu aneh gitu. Nonton film nggak ada suaranya tapi hanya teks aja. Karena buat teman-teman Tuli nonton film, musik gak ada, suara gak ada, tapi teks ada, itu biasa saja. Sebenarnya, dunia tahu bahwa film itu harus selalu memberikan teks. Tapi, orang-orang suka bilang oh kalau teks itu mengganggu visual lah, selalu membuat tidak enak. Artinya, perspektif dia tuh memang harus diperbaiki, kayak ayolah, berarti itu harus mulai mengedukasi anak-anak di sekolah bahwa film itu juga bisa tidak menggunakan suara dan harus ada teksnya. Itulah yang membuat anak-anak memunculkan respon yang beragam. Nah, itu sebetulnya merupakan akses untuk semua.
CH:
Ada pertanyaan, apa bedanya istilah inklusif dan ramah untuk semua atau kelompok tertentu? Disabilitas misalnya
R:
Kalau menurut saya pribadi, untuk term ramah untuk semua dan inklusif. Ramah untuk semua atau ramah untuk disabilitas itu belum tentu dalam perencanaan atau dalam pengonsepan itu melibatkan seluruh lapisan dalam programnya. Karena, sekali lagi inklusivitas tidak hanya berkaitan disabilitas, tapi ada juga dengan sistem ekonomi yang berbeda, atau usia yang berbeda. Tapi, untuk ramah disabilitas, menurut saya lebih mengacu kepada fasilitas untuk aksesnya ya. Untuk pemilik ruang selama ini, tidak ada kebutuhan bagi mereka untuk menjadi ruang yang inklusif. Terutama mungkin karena kita tidak membutuhkan mereka secara langsung, karena kan untuk kebutuhan ruang itu kan bisa jadi perspektifnya profit, dan untuk menjadi ruang yang inklusif, mungkin di mata mereka tidak profitable saat ini. Tapi kalau kita mengacu pada pemberdayaan masyarakat secara jangka panjang, sebenarnya lebih banyak lagi, jika bisa memang tercipta masyarakat yang inklusif. Pertama, bisa jadi untuk penelitian perspektifnya lebih banyak, dan bisa berguna untuk lebih banyak orang. Lalu, memiliki teman-teman sumber daya manusia dari beragam latar belakang, dari beragam kemampuan, itu dipandang mereka ya “why should I?”, kenapa aku harus punya yang seperti itu jika aku lebih gampang untuk bergabung dengan teman-teman yang seperti aku. Bisa jadi juga saat ini kenapa belum banyak yang inklusif, karena pertama itu mungkin merepotkan. Harus berfikir bagaimana desainnya, programnya, seperti itu.
Padahal, untuk kedepannya, mungkin beda pandangan ya. Padahal kedepannya, kita memiliki ruang yang inklusif, itu buah kita sendiri. Kita suatu saat nanti juga pasti tua, dan mungkin kemampuan kita berkurang, mereka mungkin masih berfikir bahwa tua di rumah saja, tidak bekerja, bersantai-santai. Padahal kita juga ingin berproduktif. Seharusnya kita produktif juga di masa tua. Atau mungkin juga keturunan kita ke depannya memiliki ruang yang inklusif supaya toleransi terjadi, supaya mereka lebih fleksibel saat bergaul, saat berkata-kata. Itu banyak sekali gunanya dalam penciptaan ruang yang inklusif untuk pembangunan masa depan. Siapa sih yang gak pengen punya ruang yang bisa diakses untuk semuanya, termasuk jika ada kemampuan kita sendiri yang berkurang, entah kita kena kecelakaan atau gimana. Mereka tidak berfikir seperti itu dan seharusnya saat ini minimal dari ruang publik itu sudah bisa diakses oleh semua orang.
CH:
Kira-kira untuk Mufi dari Fantasi Tuli, melihat pola dari komunitas dan kolektif kita itu seperti apa? Biasanya apa sih stigma yang didapatkan dari teman-teman saat bergabung atau bekerja di ruang kolektif?
M:
Di Indonesia itu menurut saya, memang belum memberikan kesempatan secara full untuk teman-teman Tuli, ya. Surya pernah cerita juga kepada saya bahwa tentang kesempatan itu. Di TV dan di berita biasanya ada kotak interpreter, ya. Waktu itu kami pernah liat di sebuah TV, sedang ada perlombaan desain, award untuk desain. Tapi, tidak tahu kenapa, award itu tidak ada kesempatan untuk teman-teman disabilitas. Padahal sebenarnya kami, teman-teman disabilitas atau teman-teman Tuli, banyak sekali yang punya kemampuan into kayak fashion, musik, dan yang lain-lain. Tapi kenapa di award itu tidak ada teman disabilitas? Setelah saya lihat di peraturannya itu ada, kayak “Oh, jadi yang harus mendaftar di gelaran tersebut tersebut adalah kelompok seni yang sudah berbentuk PT atau CV. Tapi, sedangkan untuk teman-teman disabilitas, membentuk PT dan CV itu adalah sebuah hal yang sangat sulit. Akhirnya kami sampai sekarang masih berusaha untuk mengadvokasi pemerintah dan sebagainya. Contoh misalkan kita datang ke museum, terus lihat gambar dan sebagainya, tapi akses tidak ada. Biasanya kan ada teksnya atau keterangan kecil gitu kan di bawah sebuah lukisan, tapi sebenarnya yang kami butuhkan adalah interpreter atau video JBI-nya. Saya pernah datang ke museum di Singapura, dan waktu itu cuma ya datang saja tanpa ekspektasi apapun. Tapi, ternyata saya diberikan akses ketika datang kesitu. Ada interpreter nya, ya walaupun isyaratnya konvensional, tapi gapapa, dan itu menurut saya sudah diberikan akses. Itu membuat saya sangat nyaman dan sangat senang ketika saya berjalan-jalan di museum tersebut. Pengalaman saya lainnya itu saya pernah ikut lomba festival film pendek, acaranya itu melibatkan pemerintah waktu itu. Waktu saya berfikir ini wah ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk semuanya, adanya film yang melibatkan teman-teman disabilitas dalam festival tersebut.
Teman-teman Tuli punya hak untuk menonton film yang ada teksnya, tapi gimana dong, kesempatan untuk mendapatkan teks itu memang masih sangat sulit. Tapi sekarang baru ada Netflix yang disitu ada teksnya dan kayak membuat kita merasa tenang. Nah, sebenarnya kita kan sudah membayar pajak dan sebagainya, tapi kami tidak mendapatkan akses, buat apa saya membayar pajak kalau ternyata negara tidak hadir dalam kehidupan saya.
CH:
Ini pertanyaan untuk Surya. Kira-kira apa sih yang dibutuhkan oleh teman-teman disabilitas di ruang kolektif atau komunitas? Jadi misalnya, ada gak sih guides atau step by step aksesibilitas yang bisa di-share kepada teman-teman yang lain jika mereka mau bikin program atau ruang yang lebih inklusif?
SH:
Memang butuh waktu untuk memahami ya. Contoh misalnya di ruangan ini ada komunitas seperti saya sendiri, kan bervariasi tuh orang-orangnya. Nah, kalian harus ditanya dulu ke masing-masing, seperti kebutuhannya apa, kan pasti kebutuhannya beda-beda. Jangan langsung “Oh, kamu netra pasti kamu butuhnya ini” jangan seperti itu, tanya langsung ke masing-masing, dan tanya kebutuhannya. Lalu mungkin, setelah dilibatkan dalam proses karya, setelah itu, kalian harus evaluasi. Kalian tanya ke teman-teman semua yang disabilitas, “Kita tuh masih kurang apa sih? Apa yang harus kita perbaiki?”. Nah, itu sangat penting sekali. Contoh, maaf ya ulang ya. Contoh misalkan, dalam suatu ruang kolektif saya melibatkan teman-teman disabilitas, ketika kalian sudah melibatkan tentang hal menanyakan kebutuhan, kalian harus dievaluasi dan ditanyakan masih kurangnya dimana. Dan ini itu sangat penting sekali.
Contoh misalkan, teman-teman lihat ada poster, jangan lupa pikirkan, apakah teman-teman netra dapat melihat poster tersebut? apakah bisa mendapatkan informasi dari poster tersebut? Nah, artinya apa, di poster tersebut itu butuh transcript to audio jadi teman-teman netra bisa mendapatkan informasi dari poster tersebut. Contoh ya, saya pernah masuk ke dalam virtual group disabilitas. Jadi, saya masuk ke dalam grup Whatsapp yang sebenarnya di situ banyak disabilitas. Lalu, saya asal kirim poster aja tanpa mengetahui bahwa ada teman-teman netra yang ada di grup tersebut. Akhirnya, saya kan nggak tahu bagaimana untuk bisa menyelesaikan problem tersebut. Akhirnya saya pas itu saya chat dan saya isi dengan penjelasan dalam bentuk audio. Berarti, tanggung jawab terpenting untuk membuat sebuah kolektif sebagai inklusif dan ramah disabilitas itu adalah akses. Dan yang kedua, kita butuh saling memahami dan dari situlah kita baru bisa bergerak lebih inklusif lagi, dengan ditambah evaluasi itu. Itu mungkin yang bisa Surya jelaskan.
CH:
Terima kasih Surya. Berarti digaris bawahi ya, bahwa kebutuhan utama adalah aksesibilitasnya itu sendiri. Aku punya pertanyaan buat Mbak Ratu sebagai organisasi dan hubs yang sudah mulai duluan untuk mencoba ruang yang lebih inklusif. Punya tips atau guidelines yang kira-kira membantu Mbak Ratu pada saat pertama kali menciptakan ruang inklusif itu?
R:
Kalo guidelines untuk ruang inklusif, pertama sih biasanya banyak tanya ke temen-temen kira-kira yang dibutuhkan apa. Tapi untuk kebutuhan fasilitas dan lain-lain itu yang riset-riset Ryan. Ryan lagi online sih ini, sebenarnya bisa ditanyain juga. Mungkin mau dilempar ke Ryan?
CH:
Boleh. Ryan, mungkin mau menambahkan?
Ratu:
Sebentar, Mbak. Kami cukup lama menanyakan itu. It took months untuk kira-kira research apa sih yang dibutuhkan, workshop apa sih yang kira-kira ramah, dan sampai sekarang masih berlangsung. Tapi, saya rasa ketemu project dari Bali sudah ada guideline-nya bukan, ya? Untuk membuat acara yang inklusif, mungkin bisa di-share nanti oleh Mbak Ceceh untuk di chat box-nya, untuk hasil dari temen “Ketemu Project”. Kayaknya Ryan udah siap deh.
Ryan:
Halo, selamat malam semuanya. Salam kenal saya Ryan, Head of Programme dari Substitute of Makerspace. Kebetulan untuk desain tempat untuk dapat menjadi ruang yang inklusif, sebelum membuka Substitute Makerspace, saya dan temen-temen browsing. Bagaimana kita bisa membuat tempat yang inklusi, dimana temen-temen bisa dapet akses. Seperti misalnya kira-kira untuk temen tunadaksa kebutuhannya apa? Kayak misalnya, mereka butuh ram dan kursi roda. Jadi, baru beberapa minggu ini juga kami baru dapat kursi roda, dan kita bisa gunakan kursi roda itu sebagai salah satu akses untuk teman-teman tunadaksa. Terus, untuk teman-teman netra, kebetulan kita juga ada temen-temen dari Kartu (Komunitas Arek Tuli Surabaya) yang memang salah satu temen-temen dari situ juga pernah ikut kerja sama saya. Nah, kita bareng-bareng ngobrolin tentang apa sih kira-kira kebutuhannya.
Nah dari situ, ternyata butuh JPI (Jurnal Pendidikan Inklusi). Oke, jadi pas ada beberapa kali workshop, kita berusaha untuk membantu dengan adanya JPI. Seperti misalnya untuk pengguna kursi roda, kita juga memberikan akses pintu geser. Jadi, dengan lebar hampir dari 2 meter, dimana akses itu juga dapat dilewati dengan kursi roda. Terus, untuk akses kabel, itu juga harus diperkirakan. Jadi, tidak mengganggu orang yang menggunakan kursi roda ketika melewati jalannya itu. Terus, kita juga yang belum mengakomodir dengan baik salah satunya adalah dari temen-temen tunanetra. Karena untuk harus bikin guiding blocks untuk mereka bisa lebih mengakses untuk misalnya, arah ruangan wood working atau ke arah ruang jahit, atau pun ke toilet. Jadi, masih banyak kita kekurangannya, tapi kita mencoba untuk lebih accessible sebisa kami. Kami pun juga tidak hanya memberikan akses berupa fasilitas, tapi ya misalnya kemarin kita belum punya kursi roda, akses sosial sama apa? Ya, kita bantu gendong teman-teman daksa yang memang kesulitan dengan jalan. Kita bantu gandeng atau pun temen netra kita bantu tangannya ditepuk di belakang, jadi kita tunjukkan arahnya, pas guide kita ngomong “belok kiri,” “belok kanan,” “lurus di depan ada tangga.” Jadi tuh termasuk akses sosial yang disampaikan ke temen-temen. Jadi gitu sih untuk sementara ini.
CH:
Terima kasih banyak Mas Ryan. Berarti memang harus banyak riset dan ngobrol sama temen-temen disabilitas lainnya, ya. Tapi, tadi Mbak Ratu dan Mas Ryan juga sempet mention mengenai tool kit atau guide yang sudah dibuat oleh “Ketemu Project”. “Ketemu Project” ini adalah sebuah komunitas dan hubs yang based di Bali. Mereka kebetulan baru saja menyelesaikan sebuah accessibility tool kit yang nanti mungkin bisa sangat berguna untuk teman-teman yang memiliki kolektif atau hubs yang ingin membuat program atau ruang yang lebih inklusif. Jadi, disitu ada guide, steps by steps-nya, apa saja yang dibutuhkan oleh dari teman-teman masing-masing disabilitas. Jadi, link-nya tadi sudah di-share oleh teman-teman panitia di chat box.
CH:
Alright, kalau begitu mau bertanya ke Mufi sekarang. Mufi dan Mbak Epi ini pertanyaannya ada 2. Pertanyaan pertama adalah mengenai sebenarnya ada gak sih bentuk referensi kolektif yang telah menerapkan kebijakan yang lebih inklusif bagi semua? Kira-kira kalau ada kolektifnya itu seperti apa? Dan bagaimana kolektif lain bisa belajar darinya? Pertanyaan kedua, dari teman-teman peserta, yang menanyakan mengenai 2 macam bahasa isyarat. Ada SIBI dan BISINDO. Dan dua-duanya ini kan dipakai, jadi apakah kita perlu mencantumkan kedua pilihan tersebut pada saat kita melakukan form pendaftaran? Atau apakah kita langsung menghubungi saja JPI Indo? Bagaimana sebetulnya baiknya?
M:
Tadi yang pertanyaan pertama, aku mau jawab. Jadi, aku mau cerita dikit dulu ya. Jadi, saya pernah ke tempat konser, dan itu konsernya konser umum. Tapi, pas saya datang saya merasa nggak masalah gitu lho, gapapa, gak pernah berharap-harap untuk di konser tersebut. Tapi, sebelumnya, aku kenal sama satu orang dan aku minta dia untuk jadi JBI. Tapi, pas datang ke tempat tersebut, ada akses JBI-nya. Akhirnya, aku bisa berekspresi melalui bahasa isyarat dari akses JBI tersebut. Jadi, itu adalah kesempatan. Kedepannya, aku bisa menjadi sebuah kesempatan menunjukkan bahwa Tuli itu bisa berekspresi juga, sama dengan orang-orang dengar. Ada acara lain juga, tempat konser lain juga, dan tempat itu bilang bahwa dia itu ada akses inklusif. Terus aku datang ke tempat tersebut, tapi ternyata apa? Aksesnya nggak ada, dan juga akses untuk disabilitasnya juga ga ada.
Jadi, aku bilang ke panitia, “Disini bilang tempatnya inklusif, tapi kok kita gak ada akses untuk berkomunikasinya? Jadi, bagaimana? Kalian bilang bahwa kalian adalah konser inklusif, tapi kok gak ada akses untuk Tulinya?”. Jadi, saya datang untuk menunjukkan diri aku di konser itu, dan akhirnya aku ditanya aku butuh apa. Akhirnya aku bilang aku butuh akses isyarat dan akses teks, gitu. Dan seperti itulah jadinya, saya harus menunjukkan diri saya dulu untuk menunjukkan bahwa tempat tersebut bisa lebih inklusif. Nah, disini, di seluruh Indonesia, orang-orang itu butuh banyak sekali SDM, supaya bisa membantu untuk memberdayakan SDM-SDM tersebut. Sehingga, tujuannya adalah supaya bisa menyadarkan semua masyarakat dan bisa memperkenalkan ke dunia Tuli kepada masyarakat awam tersebut. Sebetulnya teman-teman Tuli itu butuh untuk bekerja sama untuk menyebarkan aksesibilitas yang kami butuhkan, dan kita juga perlu memberitahukan ke masyarakat bahwa teman Tuli itu butuh porsi informasi yang sama dengan orang-orang dengar. Karena kekurangan dari informasi yang kami dapatkan, ada pengalaman banyak sekali teman-teman Tuli tuh yang banyak sekali project sesuai kemampuannya yang didapatkan dari kebutuhan informasi itu.
Untuk pertanyaan kedua, tadi tentang masalah SIBI dan BISINDO ya? Jadi, SIBI itu biasanya dipakai di sekolah SLB. SIBI itu sebenarnya yang membuat adalah orang dengar, nah jadi sebenarnya SIBI itu mengikuti struktur atau SPOK bahasa Indonesia. Dan ketika itu strukturnya bahasa Indonesia, menurut kami di bahasa isyarat itu konsepnya nggak ada. Itu adalah bahasa yang memang dari budaya teman-teman Tuli, yang muncul dari situ. Dan bahasa ini memang sangat jelas sekali konsepnya, sangat jelas sekali maknanya. Contoh, aku bangun. Tapi, kalau SIBI, jadinya itu isyaratnya seperti tangan saya ke atas gini (memperagakan), jadi saya seperti ini tuh seperti membangun rumah. Tapi, ketika saya tadi menggunakan tangan saya seperti bangun tidur itu kan sebenarnya sangat jelas sekali, kan. Sebenarnya, saya sangat nyaman sekali menggunakan BISINDO. Dan BISINDO ini sebenarnya butuh di edukasikan ke masyarakat bahwa ini sangat penting untuk teman-teman Tuli. Kalau misalkan ada acara, dan kalau ada yang menyebutkan ada akses interpreter, coba bisa menggunakan BISINDO atau kalian bisa kontak ke PLJ (Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat) untuk membutuhkan interpreter BISINDO. Dan sebenarnya teman-teman Tuli itu sudah paham sih biasanya, interpreter-interpreter dari PLJ tersebut.
Saya mau menambahkan yang tadi disampaikan oleh Mufi. SIBI itu bukan variasi, tapi Itu sistem isyarat bahasa Indonesia. Artinya apa? Itu sistem, itu bukan bahasa. BISINDO itu apa? Bahasa Isyarat Indonesia. Bahasa isyarat itu mempunyai struktur sendiri. Dan ini berbeda ya, contoh, bahasa Indonesia teks “saya makan pisang”, seperti itu Tulisannya, ya. Tapi, dalam isyarat jadi seperti ini. Bukan “saya makan pisang”, tapi pisang dimasukkan ke dalam menulis. Seperti itu konsepnya. Biasanya seperti itu. Nah, untuk ketika memang ada acara, harusnya ketika awal, kalian harus tanya dulu. Ketika di pendaftaran, di poster kegiatan itu harus mencantumkan ada akses, dan kalian harus mengisi di formulir, kalian butuh akses apa? Contoh, akses JBI oke, kalian butuh akses JBI atau teks? Kalau teman-teman Tuli, harus ditanya dulu butuhnya aksesnya apa, JBI atau teks?
CH:
Terima kasih banyak atas masukan-masukannya. Kita sepertinya sudah mulai memasuki penghujung acara. Tapi, sebelum kita sampai situ, mungkin aku mau menanyakan kepada para panelis kita, Mbak Ratu, Mas Surya, dan Mufi. Ada gak sih last words atau yang harus diingat oleh teman-teman yang ingin membuat program atau ruang yang lebih inklusif? Apalagi mungkin sekarang, kita tahu juga dengan pandemi ini, banyak program-program yang pindah ke online. Apa saja yang harus diperhatikan dan mungkin sebagai penutupnya, tips-tips terakhir untuk para teman-teman yang ingin jadi lebih inklusif? Bisa dimulai dengan Mbak Ratu dulu?
R:
Untuk tips saya, yang pertama saya selalu menyarankan untuk menanyakan kebutuhan dari temen-temen. Sebagai peserta, sebagai panitia, atau mungkin sebagai pengisi acara, apa kebutuhan mereka masing-masing? Bagaimana mereka lebih nyamannya? Kenapa? Karena ini tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk perkembangan sumber daya manusia, terutama Indonesia untuk kedepannya.
CH:
Dan berikutnya, untuk Surya atau Mufi? Mau Mufi dulu? Silahkan, Mufi dulu.
M:
Jadi memang masih sulit ya antara orang dengar dan orang Tuli itu untuk membaur bersama, Itu seperti kayak kurang koneksi dan sebagainya. Misalkan, ketika ngobrol atau berkomunikasi itu masih ada hambatan. Nah, padahal sebenarnya, ketika kita sama-sama memahami bahasa isyarat itu akan terkoneksi, sebenarnya. Tapi, dalam situasi Covid ini memang untuk teman-teman Tuli hambatan itu banyak. Tapi, jangan menyerah, kita harus tetap semangat dan ide kalian harus tetap dicurahkan. Karena biar kegiatan kalian bisa terus berlanjut. Karena ketika kalian terus berkegiatan di situasi seperti ini, sebenarnya banyak sisi positif yang bisa kalian ambil. Walaupun kalian di rumah saja, kalian harus tetap berkreativitas dan harus tetap berkegiatan karena itu akan sangat bagus sekali.
S:
Sama dengan Ratu dan Mufi, pentingnya untuk teman-teman Tuli. Mungkin orang-orang banyak belum paham bagaimana sih ketika membuat acara inklusif dan sebagainya. Tapi, kita harus patut jelaskan. Dan yang kedua, ketika membuat acara dan yang lain-lain, yang paling penting adalah tanya dulu. Harus kerja sama dan mau melibatkan ketika sebuah acara itu tidak hanya mengundang saja, tapi juga melibatkan teman-teman disabilitas. Padahal, sebenarnya, kalau dilibatkan, acaranya akan sangat lancar dan bisa belajar bersama.
CH:
Terima kasih banyak kepada teman-teman semua. Terima kasih Mufi, Surya, Mbak Ratu. Sayang sekali kita tidak punya waktu yang lebih untuk meneruskan sesinya walaupun kelihatannya sangat menarik diskusinya, ya. Saya ingin memberikan beberapa kesimpulan sesi hari ini. Dari bahan yang sudah dipaparkan oleh para panelis, kita dapat simpulkan bahwa kira-kira nih di saat pandemi ada tantangan di platform digital untuk teman Tuli. Tapi, sembari berjalan, bisa juga dicari solusinya dan mulai terbiasa. Situasi pandemi memang menantang teman Tuli untuk kembali berkarya, tapi ada caranya dan malah jadi lebih seru.
Lalu, untuk kedua, masalah yang biasanya ditemukan di komunitas adalah yang paling utama akses. Seperti kesulitan mencari interpreter, akhirnya teman disabilitas yang harus mencari sendiri. Padahal seharusnya kan itu menjadi tanggung jawab dari si penyelenggara acara. Nah, karena hal di atas terjadi karena kita masih ada minim edukasi soal disabilitas dan akses apa saja yang diperlukan untuk membuat apapun kegiatan yang dibuat itu bisa untuk dinikmati oleh publik yang inklusif.
Yang juga menjadi tantangan adalah untuk mewujudkan ruang yang lebih inklusif adalah si pemilik modal yang tidak melihat akses untuk disabilitas itu perlu. Karena mungkin pandangan mereka, melihat itu tidak mendatangkan profit. Padahal, kedepannya, situasi yang inklusif itu juga bisa membuka pasar yang lebih luas dan juga mendorong produktivitas bagi semua. Nah, inklusivitas adalah sebenarnya masalah kita bersama, bahkan juga untuk publik dan umum, bukan cuman masalah untuk teman-teman Tuli dan disabilitas. Maka, kita harus bekerja sama untuk menciptakan agar situasi ini bisa jadi lebih inklusif.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan cara berkomunikasi dulu dengan teman-teman disabilitas. Karena itu juga bisa menghapus stigma negatif pada teman-teman disabilitas, dan dari situ bisa mewujudkan situasi yang lebih inklusif. Untuk perjalanan mewujudkan suasana yang inklusif, bukan hal yang mudah, tapi ini adalah perjalanan yang bermakna karena kita diajak untuk terus belajar. Dan kunci untuk situasi kolektif yang inklusif adalah akses untuk semua teman disabilitas. Cara untuk bisa memberi akses untuk semua adalah dengan banyak bertanya. Dan buat teman-teman dari komunitas yang kira-kira mau mencoba untuk membuat program dan ruang yang lebih inklusif, “Ketemu Project” juga sudah memberikan guideline untuk menggelarkan acara yang bisa di-download dari website mereka. Link-nya ada di chat tadi, yang sudah di-share oleh para panitia.
Begitulah mungkin kesimpulan dari sesi hari ini, moga-moga insights yang sudah didapat menjadi bermanfaat bagi teman-teman semua. Dan kita jadi punya ilmu baru, ilmu tambahan mengenai bagaimana membuat hubs, kolektif, atau komunitas kita lebih inklusif dan accessible. Sekilas informasi dengan acara hari ini rangkaian webinar session untuk program Direktori Kota sudah selesai. Namun, buat yang tertarik untuk mendapatkan buku Direktori, dapat email langsung ke tim Whiteboard Journal yang nanti akan membagikan ebook-nya.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai program British Council atau Whiteboard Journal, bisa langsung follow saja kami di media sosial, di Instagram dan di Twitter, mungkin nanti bisa di-share. Dan sekali lagi, saya ingin ucapkan banyak terima kasih kepada para speakers kami hari ini, juga kepada para teman-teman yang sudah hadir sebagai peserta. Terima kasih banyak. Terima kasih untuk waktunya, dan sampai jumpa di acara lain dan acara selanjutnya.