Kolektif Sebagai Solusi Masalah Kota bersama Putra Hidayatullah
Kami berbincang dengan Putra Hidayatullah untuk mengetahui pendapatnya mengenai kolektif sebagai platform edukasi dan penyadaran sosial, serta pentingnya mengangkat isu lokal untuk menuntaskan masalah kota.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Ibrahim Soetomo
Sebuah kolektif akan menemukan permasalahan sosial dan budaya di wilayahnya masing-masing. Dalam menangani isu ini, kolektif tersebut memerlukan pendekatan lokal dan kontekstual agar dapat mendorong masyarakat menyadari isu-isu lokal yang tengah dihadapinya. Kami berbincang dengan Putra Hidayatullah untuk mengetahui pendapatnya mengenai kolektif sebagai platform edukasi dan penyadaran sosial, serta pentingnya mengangkat isu lokal untuk menuntaskan masalah kota.
Bagaimana pola kolektif di kota-kota kecil berbeda dengan kolektif di kota-kota besar?
Memang agak beda ya. Karena kalau saya bilang satu kata yang cukup membedakan adalah ketidakseimbangan modernitas. Kalau di daerah urban saya pikir sudah cukup clear soal modernitas, sudah full. Sementara di wilayah daerah, misalnya, — sebenarnya konsep Jakarta dan daerah ini sudah tidak relevan lagi — seperti di Jatiwangi, mereka masih ada upaya menarik dalam mengawinkan beberapa hal. Ada unsur lokal yang dikawinkan, misalnya ada dapur bata yang diubah jadi museum, kemudian ada alat musik yang terbuat dari tanah. Saya melihat ada suatu — saya tidak tahu apakah istilah ini cukup mewakili — suatu rekayasa dalam membangun kesadaran baru di abad 21 yang serba digital. Artinya mereka bisa beradaptasi dengan baik. Di tempat lain, mungkin lain lagi polanya.
Perbedaan lain mungkin tingkat literasi. Akses terhadap buku yang lebih luas, misalnya. Saya sering bercanda dengan teman-teman di Aceh, bahwa kita sedikit banyak kena dampak situasi perang pada akses literasi dan pengetahuan. Sekarang kita hidup di dunia digital dimana semua orang bisa mengakses pengetahuan, jadi pintunya mulai terbuka. Di tempat-tempat lain geliatnya sudah lebih maju di segi literasi. Di Aceh masih baru memulai. Saya sangat mengapresiasi kerja kawan-kawan di sana.
Di daerah yang tingkat literasi masih harus dibangun, bagaimana peran komunitas bisa jadi platform edukasi untuk itu?
Saya sering bercanda dengan teman-teman di Aceh, bahwa kita sedikit banyak kena dampak situasi perang pada akses literasi dan pengetahuan.
Saya melihat edukasi itu soal kesadaran. Bahkan kadang-kadang edukasi itu sangat mungkin kita dapatkan di luar jalur pendidikan formal. Dari Tikar Pandan sendiri, saya pribadi bisa punya referensi dan akses terhadap sastra atau literasi penulis dari Mexico dan Afrika misalnya. Itu sedikit banyak karena bantuan komunitas. Saya jadi punya referensi penulis bagus yang bisa saya baca, yang tidak saya dapatkan di kuliah. Jadi memang menurut saya komunitas ini memang satu hal yang sangat dekat dengan grassroot, lebih memahami kondisi grassroot. Istilah yang saya biasa gunakan adalah lebih dekat dengan realitas.
Lalu bagaimana komunitas bisa jadi platform edukasi? Selama di Tikar Pandan dan juga melihat geliat kawan-kawan komunitas di Aceh, dan juga mungkin di Jatiwangi dan Mollo, di situ kita melihat bagaimana komunitas dapat membaca kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kemampuan membaca krisis. What is missing? Kemampuan mempertanyakan what is missing in our society? Kemampuan mendeteksi masalah itu sangat penting yang harus dimiliki para pekerja komunitas. Kemudian tidak hanya mendeteksi masalah, tapi juga mampu melakukan intervensi dan rekayasa. Otomatis kalau kita yang membawa sesuatu yang tidak berdasarkan kebutuhan agak susah diterima. Apa problem di masyarakat? Dari situ sebuah komunitas ada signifikansinya. Tikar Pandan tidak berbasis kebudayaan yang mencoba mengembangkan sesuatu, tapi melihat apa problem dan bagaimana kita mengintervensi problem ini dengan pendekatan kebudayaan. Jadi kebudayaan menjadi approach, misalnya soal mitigasi atau trauma healing. Bagaimana kita menggunakan teater sebagai trauma healing dengan mempertemukan anak-anak dari dua pihak yang bermusuhan, misalnya. Ini semacam metode atau cara yang tidak dalam perspektif konservasi, tapi aktivisme. Bagaimana membaca masalah dan bagaimana kebudayaan bisa dirumuskan, dibikin ramuannya.
Saya pikir kita sebagai bangsa memang punya kebiasaan komunal. Misalnya di Aceh ada meuramin. Meuramin itu makan bareng. Anak-anak muda berkumpul bikin kenduri dan makan bersama. Elemen-elemen ini bisa digunakan atau digabungkan dengan persoalan literasi, bagaimana sebelum membaca kita meuramin dulu. Ini yang dipakai oleh kolektif seperti Gerakan Surah Buku, kolektif di Kem Biawak, atau beberapa kolektif baru di Aceh. Saya melihat mereka cukup berhasil menggunakan metode itu.
What is missing? Kemampuan mempertanyakan what is missing in our society? Kemampuan mendeteksi masalah itu sangat penting yang harus dimiliki para pekerja komunitas.
Jadi kolektif juga harus berangkat dari masalah di lokal mereka ya?
Ya. Kadang-kadang masyarakat juga lebih sadar dan tahu problem mereka apa. Katakanlah problemnya soal kemiskinan, dan lain sebagainya. Mereka sadar itu.
Hal ini sudah dilakukan di Jatiwangi, seperti membangun keramik, atau sesuatu yang bisa mensugesti kreativitas untuk kemudian ikut mengintervensi persoalan finansial atau kemiskinan. Kalau di Aceh saya pikir masih belum mencapai ke situ. Ini jadi semacam PR bagi kawan-kawan. Bagaimana kesenian tidak sekadar seremonial tapi ada unsur-unsur intervensi terhadap kerja-kerja pengetahuan, kerja-kerja penyadaran, dan bagi saya yang paling penting adalah kerja kemanusian juga. Baru-baru ini di Aceh ada konflik antar agama misalnya, atau konflik antar ras. Ada dinding atau sekat yang jadi problem. Persoalan identitas yang jadi PR. Bagaimana membicarakan ini melalui kegiatan-kegiatan komunitas.
Bagaimana kolektif bisa membangun relasi dengan warga lokal?
Ini kembali ke apa yang kita bahas. Kelas menengah berbicara dengan sesama kelas menengah itu ada bahasa sendiri, atau elit dengan berbicara sesama elit itu punya bahasa sendiri. Lalu bagaimana kelas menengah bisa berbicara dengan bahasa masyarakat? Bagaimana kita memahami mereka? Bagaimana kita hidup bersama? Di situ soal bahasa, bagaimana kita berinteraksi. Soal kesadaran bahwa kita punya masalah bersama. Kadang-kadang ini tergantung masyarakatnya di mana. Di Aceh terkenal dengan kultur ngopi. Dari elemen ngopi itu bisa jadi bahasa yang menjembatani. Di tempat lain mungkin ada kebiasaan berkumpul, bercerita dengan dongeng. Elemen itu yang dipakai sebagai bahasa mendekati mereka.
Dari elemen ngopi itu bisa jadi bahasa yang menjembatani.
Dari pengalaman saya, bahkan cara kita mendesain poster itu berpengaruh juga. Misalnya kita bikin event tapi posternya terlihat formal dan ada logo sebuah institusi. Masyarakat bawah berkata “Ah, itu bukan kita, itu orang-orang elit.” Desain poster itu juga soal bahasa. Sehingga bagaimana caranya kalau di satu kebudayaan itu masyarakatnya senang ngopi, di poster itu ada gambar gelas kopi, atau pisang rebus misalnya (tertawa).
Jadi itu soal bahasanya. Itu yang saya amati dan saya lihat. Termasuk bagaimana caranya menghancurkan tembok pembatas. Saya juga sempat heran mengapa kalau bikin diskusi di kampus orangnya sedikit, tapi kalau di pinggir kali itu ramai. Itu juga persoalan sudah duluan memasang mental block. Makanya penting untuk memanfaatkan elemen-elemen yang sudah ada di mereka.